x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Tangga Lebih Baik dari Lift~Cerita Cheta

Beberapa orang memilih cara konvensional, misalnya penggunaan tangga dari pada lift bagi seorang tuna netra, seperti saya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau bisa memilih cara yang lebih mudah tentu seseorang memilih cara yang lebih mudah untuk dijalani. Sesuatu yang lebih mudah biasanya dipengaruhi peran teknologi untuk membantu, tapi ada beberapa orang yang memilih cara konvensional sebagai cara yang lebih memudahkan. Misalnya penggunaan tangga dari pada lift bagi seorang tuna netra, seperti saya.

"Saya bisa menghitung langkah dengan lebih baik dan tahu patokan ordinat tempat di mana saya berdiri, meskipun capek," ujar Irma Hikmayanti, seorang tuna netra yang menjadi pengajar bahasa Indonesia bagi ekspatriat di bilangan Sudirman, Jakarta Pusat ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu saya dan Mbak Irma - begitu saya menyapa teman sesama tuna netra saya itu,  akan memilih menggunakan lift bila ada pendamping yang bersedia menolong mengantar ke lantai yang dituju. Bukan merasa takut atau manja malas ke atas sendiri ketika naik lift. Tapi menjadi sebuah tindakan sembrono bila tuna netra menaiki lift atau elevator tanpa suara sendirian.

Tanpa bantuan suara pembaca layar pada lift, tuna netra tidak akan tahu di lantai mana mereka berada. Bisa-bisa tuna netra terbawa ke lantai yang salah, bisa ke lantai paling atas atau malah sebaliknya terbawa turun kembali ke bawah. Tentu akan lain ceritanya bila landmark yang ada di dalam gedung sudah dihapal oleh si tuna netra, tentu ritual - lebih sering dari ibadah, naik lift jadi kegiatan mandiri yang bisa dilakukan tuna netra.

Begitu pula bila tuna netra menggunakan tangga berjalan atau eskalator sebaiknya didampingi. Bentuk anak tangga yang berundak dengan ukuran kecil serta berjalan cukup menyulitkan untuk dijadikan titik acuan dan berisiko  jatuh bagi tuna netra. Lain cerita dengan penggunaan elevator, yang bentuknya berbeda. Eskalator dengan lintasan datar. Ternyata istilahnya bukan eskalator melainkan travelator. Alat bantu naik ini lebih ramah dan aman untuk tuna netra. Dengan travelator tuna netra dapat berdiri dengan lebih stabil.

Travelator memungkinkan tuna netra menggunakannya secara mandiri. Tuna netra dapat menjadikan pegangan karet sebagai ordinat melangkah ke lintasan berjalan travelator. Seandainya titik untuk meletakkan kaki terlewat , tuna netra tetap aman di tempatnya berdiri. Pegangan juga dapat menjadi penanda bila tuna netra sudah sampai ke lantai yang dituju. Perbedaan topografi lintasan dan lantai yang tidak terlalu tinggi bahkan cenderung sejajar dapat melindungi tuna netra dari risiko jatuh ketika sampai ke lantai yang dituju, baik naik atau turun.

Semua alat bantu naik ini menjadi terasa tidak nyaman digunakan ketika tuna netra menemukan tangga biasa. Anak tangga menjadi alat bantu penanda yang baik menuju lantai atau tempat yang akan dituju. Pegangan dan anak tangga yang permanen memberikan rasa aman, apalagi bila tuna netra sudah hafal jumlah anak tangga. Bahkan saya -  saat itu  masih memiliki sedikit pandangan di mata sebelah kiri saya, pernah melihat salah satu teman tuna netra berlari menaiki tangga di Yayasan Mitra Netra.

Semua halangan rintangan menjadi tidak berarti bila tuna netra sudah familiar dengan tempat yang dituju. Tuna netra menjadi pribadi yang mandiri tanpa perlu dituntun.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB