x

Sebuah mobil ambulans beserta petugas dan polisi berada di luar fasilitas penyandang cacat setelah terjadinya penyerangan dengan menggunakan pisau di Sagamihara, Tokyo, Jepang, 26 Juli 2016. Setidaknya 15 orang tewas dan 28 luka-luka dalam penyeranga

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keselamatan Pasien Gawat Darurat~Aryono D. Pusponegoro

Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, ambulans harus tiba di tempat kejadian dalam 4-6 menit setelah permintaan diterima.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aryono D. Pusponegoro

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Musibah, baik bencana alam maupun kecelakaan, menjadi penutup akhir 2016 dan pembuka tahun baru 2017 di Indonesia. Setelah gempa Aceh, tahun ini dibuka dengan terbakarnya kapal motor Zahro Expres di perairan Muara Angke, Jakarta Utara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam beberapa peristiwa, penanganan korban bencana, baik yang besar maupun kecil, seperti serangan jantung mendadak, cenderung terlambat. Rata-rata pasien trauma (cedera) di Indonesia tiba di unit gawat darurat atau rumah sakit umumnya berkisar dua sampai empat jam. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, bisa lebih lama lagi karena tidak adanya layanan gawat darurat pra-rumah sakit.

Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, ada undang-undang yang mengharuskan ambulans tiba di tempat kejadian dengan waktu tanggap 4-6 menit setelah permintaan pertolongan mereka terima. Tanggapan secepat itu dimaksudkan agar pasien dengan henti napas dan jantung masih dapat diselamatkan. Apabila gagal dan terjadi kematian otak/batang otak pada pasien, dalam kurun tersebut masih memungkinkan dilakukan organ harvesting untuk transplantasi organ. Jika dalam 10 menit setelah kejadian masih bisa diselamatkan, korban tidak boleh meninggal.

Harus disadari bahwa dalam setiap menit jumlah kasus kegawatdaruratan sangat banyak. Tidak sedikit orang yang terlambat ditangani pada 10 menit pertama sehingga meninggal atau cacat. Inilah yang dinamakan the silent disaster. Kondisi ini terjadi karena aparat, dalam hal ini kepolisian, pemadam kebakaran, dan petugas ambulans, belum memiliki pengetahuan memadai dan kemampuan yang terlatih.

Keterpaduan, khususnya antara petugas keamanan, penyelamat (pemadam kebakaran), ambulans, serta masyarakat yang terlatih, menjadi kunci keberhasilan menyelamatkan nyawa manusia pada masa kritis dengan membawa pasien ke rumah sakit dengan ambulans pada waktu yang tepat. Itulah pentingnya di setiap titik strategis terdapat Pusat Pelayanan Masyarakat Terpadu (PPMT) yang secara bersama-sama bergerak dan bisa tiba di tempat kejadian dalam waktu kurang dari 10 menit, di mana pun bantuan itu dibutuhkan.

Pengetahuan bagi masyarakat awam, termasuk para relawan yang ingin terlibat dalam penanganan kegawatdaruratan, akan menjadi modal/bekal ketika terjadi bencana besar. Sebagai negara dengan banyak jenis bencana dan memiliki frekuensi bencana yang tinggi, seharusnya ini menjadi titik awal bagi Indonesia untuk bahu-membahu membantu satu sama lain dengan modal pengetahuan.

Sering kali, ketika bencana terjadi, masyarakat hanya menjadi "penonton". Kalaupun hendak membantu, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang prosedur bantuan hidup dasar. Biasanya mereka "hanya" mengumpulkan korban tanpa memberi bantuan hidup dasar, lalu menunggu kendaraan yang akan mengangkutnya ke rumah sakit terdekat. Kadang mereka mengangkutnya dengan kendaraan seadanya.

Dengan keterampilan dan kebijakannya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat ikut menangani kegawatdaruratan sehari-hari. Ini termasuk tiba dalam waktu 10 menit pertama, sehingga akan terjadi penurunan jumlah korban meninggal dan cacat. Alangkah ironisnya bila muncul kelakar bahwa di Indonesia nyawa korban kecelakaan/kebakaran/serangan jantung mendadak/dan kegawatdaruratan lainnya dianggap lebih murah ketimbang paket ayam goreng. Pasalnya, sebuah restoran cepat saji berani menjamin pesanan tiba dalam waktu 10 menit di hadapan pelanggannya.

Seharusnya ada upaya yang strategis sehingga layanan ambulans bisa lebih cepat. Misalnya, jika menggunakan mobil tidak memungkinkan karena macet, bisa dilakukan dengan ambulans sepeda motor. Tak sedikit yang mengusulkan agar anak-anak sekolah menengah atas, Pramuka, organisasi-organisasi massa, dan bahkan tukang ojek dilatih memberi bantuan hidup dasar agar bisa menangani korban bencana sehari-hari dan bencana besar. Kalau di kota-kota besar ojek berbasis Internet bisa tiba kurang dari 10 menit, mengapa pertolongan kegawatdaruratan tidak bisa?

Pelatihan untuk mereka tidaklah sulit. Ini investasi yang berharga karena datangnya bencana selalu tak terduga. Dan, inilh bagian penting dari sebuah revolusi mental yang pernah digaungkan, namun saat ini mulai redup. Jika ingin berhasil menangani bencana "besar", mulailah dari penanganan bencana "kecil" sehari-hari yang jumlah kumulatif korbannya tak kalah banyak dibanding bencana besar.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler