x

Ilustrasi wanita dan ponsel pintar. Shutterstock

Iklan

Faisal Afiff Afiff

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Religiusitas SDM

Tradisi berdaring membuat sekat antara aktivitas bisnis dan kehidupan sosial semakin tipis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Don’t expect that your employees will have a heart for your business, if you don’t have a heart for your employees.” ~Theo van der Loo

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aktivitas perilaku berbisnis di masa sekarang sudah sedemikian memperlihatkan perubahan drastis semenjak hadirnya instrumen teknologi informasi yang menumbuhkan kebiasaan berdaring sebagai salah satu andalan penting menggerakkan kesuksesan perusahaan. Diadopsinya kebiasaan berdaring dalam kultur berbisnis tidak saja mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas atau produktivitas gerak perusahaan dalam melayani para pelanggan, tetapi sekaligus memperpendek jarak psikologis antara gerak kehidupan para pelaku bisnis di lingkungan internal perusahaan dengan denyut kehidupan warga masyarakat yang berada di lingkungan eksternal perusahaan. Tradisi baru berdaring ini telah membuat sekat ruang privasi antara aktivitas bisnis perusahaan dengan aktivitas sosial kemasyarakatan menjadi semakin menipis.

Sungguh jauh berbeda dengan era sebelum kelaziman berdaring menjadi keniscayaan zaman, di mana masa itu sangat terasa ada jarak psikologis ruang privasi yang sedemikian melebar antara kehidupan rutinitas bisnis perusahaan dengan kehidupan keseharian sosial kemasyarakatan. Masing-masing nampak sibuk sendiri, tidak saling berinteraksi. Masing-masing “nyaman” dengan dunianya. Masyarakat tidak terlampau peduli dengan aktivitas bisnis perusahaan dan perusahaan pun tak mau ambil pusing dengan situasi sosial kemasyarakatan.

Namun kini saat memasuki zaman berdaring ini, ketika sekat-sekat antarindividu, antarkelompok, maupun antarorganisasi semakin sirna, maka pola saling acuh tak acuh seperti itu tidak bisa langgeng dipertahankan, terutama oleh para pebisnis dalam mengelola perusahaannya. Sebab konsekuensi dari hadirnya media daring ini akan mendorong terbentuknya relasi dialektis sirkuler saling memengaruhi dalam pola pikir dan pola tindakan antara warga masyarakat dengan para pemangku kepentingan perusahaan, yang semakin dinamis. Apa-apa yang

tengah berkembang di masyarakat akan berpengaruh terhadap situasi kerja dan geliat produktivitas perusahaan. Demikian pula sebaliknya, apa-apa yang tengah berubah di perusahaan akan berdampak pula terhadap sirkulasi situasi sosial dan dinamika perilaku warga masyarakat.

Ini berarti seiring warna zaman sekarang, sudah selayaknya jika para pebisnis mulai aktif pula ikut mencermati tren perubahan dinamika sosial kemasyarakatan yang ada di sekelilingnya, walaupun tren perubahan dinamika sosial kemasyarakatan tersebut boleh jadi tidak terkait langsung dengan kalkulasi untung-rugi operasi bisnis perusahaan, namun bisa punya dampak signifikan terhadap kekompakan, kesetiaan, kegairahan dan kenyamanan kerja para pekerja di perusahaan.

 

Tren religiusitas

Salah satu tren perubahan sosial kemasyarakatan yang merata di semua strata sosial kita selama satu dekade belakangan ini adalah marak dan tumbuh kembangnya gairah mempelajari dan membahas soal-soal keagamaan. Di rapat-rapat, pertemuan-pertemuan informal, kampuskampus, birokrasi pemerintahan, perusahaan-perusahaan, media sosial, kelompok-kelompok diskusi maupun di perbincangan keseharian, sering kali agama menjadi materi yang dikupas dengan penuh antusias bahkan ada kalanya cukup panas.

Yang menarik dicermati, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin menonjol kecenderungan religiusitasnya, apa pun profesi ataupun pekerjaan mereka. Nampak gambaran kontekstual religiusitas di warga masyarakat saat ini, terlepas dari apa pun agamanya, semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin kuat motivasi pribadinya untuk mengenali, mendalami dan menjalani ajaran agama yang dianutnya.

Bagi para pebisnis yang jeli, tentu akan mencerap pula tren semakin meningkatnya religiusitas masyarakat pada umumnya dan juga para pekerja yang ada di perusahaannya. Pertanyaannya sekarang, respon apa yang hendak dikedepankannya? Yang sudah pasti, tren religiusitas masyarakat, termasuk SDM perusahaan, bukanlah tren yang bersifat negatif. Malahan ini tren yang sangat positif, jadi tidak perlu dikhawatirkan, sebab semua agama apa pun pastilah mengajarkan semangat kebaikan. Oleh karenanya, amatlah disayangkan jika perusahaan tidak bergerak merespon untuk ikut mendukung dan memperkuat tren religiusitas SDM ini!

Jika mengacu pada fenomena yang menyiratkan semacam "korelasi" semakin tinggi jenjang pendidikan individu semakin kuat motivasi pribadi untuk bergiat mendalami religi; maka salah satu langkah responsif yang bisa ditempuh perusahaan adalah dengan membuat program bantuan "dana kepedulian sosial" yang memberikan semacam fasilitasi jalan kemudahan bagi pekerjanya untuk memperoleh kesempatan meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Jika rata-rata tingkat pendidikan SDM di suatu perusahaan meningkat, maka dilihat dari tren sekarang, besar kemungkinan religiusitas mereka akan meningkat pula yang tentunya bermanfaat menumbuhkan citra positif bagi perusahaan baik di mata para pekerja maupun masyarakat luas. Langkah responsif lainnya, perusahaan bisa mengambil inisiatif dengan menggelar program-program inklusif yang menyemarakkan aktivitas nonformal perusahaan spesifik bernuansakan spirit keagamaan yang kental.

Tentunya respon positif perusahaan terhadap tren religiusitas diyakini mampu berdampak langsung menumbuhkan suasana guyub di lingkungan internal perusahaan dan secara tidak langsung pula dengan lingkungan eksternal terutama warga masyarakat sekitar yang sudah pasti

menyambut gembira atas perhatian perusahaan yang besar terhadap dimensi keagamaan. Apalagi belakangan ini kita sudah sering menyaksikan runtutan demo-demo para pekerja yang mengekspresikan perbedaan pandangan mereka dengan perusahaan maupun pemerintah menyangkut soal kebijakan pengupahan dan kesejahteraan sosial, belum lagi kerap berkembangnya persepsi diametral antara masyarakat dengan perusahaan menyangkut kelestarian lingkungan hidup. Hal-hal seperti ini acap kali memunculkan suasana rigiditas dan disharmoni di lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Tidak tertutup kemungkinan melalui pintu religi bisa bermanfaat ikut mencairkan suasana hati yang memudahkan terjalinnya pembicaraan solutif dan resolutif persoalanpersoalan sensitif seperti itu.

Mengingat hakekat agama mana pun yang senantiasa mengedepankan kesejukan dan kejernihan hati, maka tren religiusitas masyarakat termasuk SDM kita tentunya patutlah disyukuri, karena membuka jalan alami bagi para pebisnis, SDM perusahaan, dan warga masyarakat untuk mengusung komunikasi dari hati ke hati di bawah payung religi: saling menghormati, bekerja sama membuka diri menyelesaikan ragam permasalahan di lingkup perusahaan maupun di lingkup sosial kemasyarakatan tanpa letupan emosi. Berkah seperti itulah yang mudah-mudahan bisa diraih anak bangsa.

Viva religiusitas SDM Indonesia.***

 

Oleh: Faisal Afiff

Guru Besar Ilmu Ekonomi, Manajemen, dan Pemasaran Fakultas Ekonomi Unpad

Ikuti tulisan menarik Faisal Afiff Afiff lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler