x

Iklan

Heri Andreas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Banjir Menjadi Alat Politik Pilkada DKI Jakarta

Sah-sah saja ketika banjir menjadi alat politik pilkada DKI Jakarta. Tetapi tolonglah reasoning-nya harus menggunakan dasar keilmuan yang benar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banjir alat politik jitu DKI

DKI Jakarta tidak lama lagi akan melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Untuk itu saat ini adalah masa-masa “seru”-nya kampanye para pasangan calon (Paslon). Ada tiga Paslon yang mendaftar dan terpilih serta dapat melaksanakan kampanye. Isu utama kampanye di Jakarta, selain masalah ekonomi dan masalah kemacetan lalulintas, adalah isu masalah banjir. Para Paslon berlomba menarik hati para warga dengan memberi janji akan membebaskan Jakarta dari banjir. Solusi banjir tanpa penggusuran, konsep rumah apung, normalisasi sungai dan relokasi warga, dialog dan pendekatan kemanusiaan, merupakan strategi-strategi pembebasan Jakarta dari banjir yang diungkapkan masing-masing Paslon. Mana diantaranya merupakan strategi yang benar atau setidaknya paling realistis tentunya dapat dianalisa berdasarkan pendekatan keilmuan. 

Menarik ketika melihat acara debat di televisi yang mempertemukan ketiga Paslon, yang masing masing saling bantah saling kritik terhadap strategi antar Paslon dalam pembebasan Jakarta dari banjir. Salah satu pasangan mengkritik upaya penggusuran ketika ingin membebaskan Jakarta dari banjir. Menurutnya ada cara membebaskan banjir tanpa penggusuran, yang dimungkinkan dengan konsep rumah apung. Pasangan lainnya mengkritik bahwa janji kampung deret dikhianati dengan penggusuran. Pasangan lainnya lagi menjelaskan bahwa normalisasi sungai adalah jalan terbaik membebaskan atau setidaknya mengurangi banjir di Jakarta, dimana dalam prosesnya harus ada pemindahan warga yang tinggal di bantaran-bantaran sungai. Pemindahan warga dari bantaran-bantaran sungai akibat normalisasi adalah bentuk relokasi bukanlah penggusuran, karena telah terlebih dahulu disiapkan area relokasi berupa rumah-rumah susun. Dari argumen saling bantah saling kritik tersebut, mana yang benar atau setidaknya paling realistis tentunya sekali lagi dapat dianalisa berdasarkan pendekatan keilmuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dalam mencermati analisa keilmuan untuk kasus di atas, kita ulas sedikit mengenai teori terjadinya banjir. Ketika air hujan dengan curah yang tinggi tidak dapat ditampung oleh sungai dan drainase serta bendungan/polder/situ sebagai “wadah” air maka terjadilah luapan, dinamakan banjir. Secara proses hidrologi, air hujan akan sebagian terserap tanah (infiltrasi) dan sebagian diteruskan (run off). Dengan demikian maka seberapa besar air yang terserap dan seberapa besar yang diteruskan akan menjadi faktor-faktor penentu banjir disamping “wadah”-nya. Infiltrasi dan run off akan bergantung kepada  land use di sekitaran sungai dan DAS (Daerah Aliran Sungai). Land use juga akan menjadi faktor bagi sedimentasi yang mempengaruhi “wadah” air, disamping sampah yang secara sengaja di buang ke sungai atau drainase. Berarti disini kalau kita urut, banjir akan dipengaruhi oleh curah hujan, wadah tampungan (sungai, drainase, bendungan/polder/situ), koefisien infiltrasi dan run-off yang tergantung land use, dan juga faktor sedimentasi serta sampah yang mempengaruhi kapasitas “wadah” air.

Di DKI Jakarta, kalau kita cermati teori terjadinya banjir seperti yang telah di jelaskan di atas, maka kira-kira terjadinya banjir dapat diakibatkan oleh air hujan yang tidak tertampung oleh 13 sungai yang ada di wilayah Jakarta, yang menjadi “wadah” tampungan air. Bisa jadi air hujannya terlalu banyak dan atau “wadahnya” terlalu sempit. Wadah yang sempit bisa bertambah sempit karena faktor sedimentasi serta sampah. Apabila ditambah faktor Infiltrasi kecil dan run off besar maka akan memperburuk banjir di Jakarta.  Faktanya land use di Jakarta sudah tidak bagus untuk menyerap (infiltrasi) air malah menambah besar koefisien run off. Kalau sudah begini mana strategi yang tepat untuk mengurangi banjir di Jakarta, apakah tanpa penggusuran dan merealisasikan konsep rumah apung? Normalisasi sungai dan relokasi warga? Atau dialog dan pendekatan kemanusiaan serta membangun kampung deret?

Kata kunci jawabannya kalau kita kesampingkan faktor curah hujannya, ada di kata “wadah” yang berarti geometri atau ukuran sungai, yang kurang cukup untuk menampung air. Nah supaya sungai itu menjadi cukup wadahnya untuk menampung air maka harus dilakukan normalisasi.  Bentuk riil kegiatannya adalah melakukan pelebaran sungai, pengerukan sungai (dreging), pembuatan sheetpile untuk mencegah besarnya sedimentasi, dan beberapa kegiatan lainnya, termasuh membersihkan sungai dari sampah. Proses normalisasi sungai tentunya akan melibatkan relokasi pemukiman yang ada di bantaran-bantaran sungai, dan itu tidak akan terelakan. Tidak mungkin kita tidak merelokasi atau bahasa kasarnya tidak menggusur untuk normalisasi. Pun demikian kita tidak juga dapat membangun kampung deret yang tidak akan membantu memberikan “wadah” yang cukup untuk tampungan air penyebab banjir. Jadi yang mana strategi yang tepat dapat kita simpulkan sendiri!

Sah-sah saja ketika banjir menjadi alat politik pilkada DKI. Tetapi tolonglah reasoning-nya harus menggunakan dasar keilmuan yang benar, dan yang terpenting janganlah masyarakat dicederai oleh janji-janji manis yang tidak ada ilmunya untuk direalisasikan atau sangat susah untuk direalisasikan. Kurang tepat apabila kita ingin mengambil hati rakyat dengan bilang tidak akan menggusur untuk membebaskan Jakarta dari banjir seperti yang dilakukan Paslon lain, sehingga image baik didapat, dan image buruknya ditimpakan ke Paslon lain, padahal teorinya justru dia lah yang tidak realistis dibanding Paslon lainnya tersebut.  Atau jangan juga menagihkan janji kampung deret seolah menunjukkan ingkar janjinya Paslon lain, demi janji kita yang paling amanah, namun tidak sesuai antara janji dengan ilmunya.  Secara objektif normalisasi adalah strategi yang paling realistis.  Ketika ada upaya penyiapan rumah-rumah susun untuk area relokasi sebelum merelokasi juga merupakan solusi paling realistis untuk saat ini.  Mari kita sama-sama mencerdaskan bangsa ini!

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Ikuti tulisan menarik Heri Andreas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler