x

Iklan

Susianah Affandy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Eksploitasi Ekonomi Anak

Artikel yang membahas tentang analisa masalah eksploitasi anak yang terjadi di Kota Tangerang Selatan khususnya dan di Indonesia masa umumnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Susianah Affandy

Ketua Bidang Sosial, Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga KOWANI dan Tim Pokja Rehabilitasi Sosial Korban Trafficking, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kemensos RI

PN Tangerang melepaskan T dari dakwaan melakukan eksploitasi anak untuk kepentingan dagangan cobeknya pada Kamis (12/1). Alasan PN melepaskan T dari dakwaan ekploitasi anak meski yang bersangkutan terbukti melibatkan anak-anak (dua anak dari 7 orang yang berdagang) karena T dinilai tidak terbukti melakukan eksploitasi, tidak melakukan tindakan kekerasan dan seizin dari orang tua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Media massa menyorot kasus ini sebagai kasus “kriminalisasi” sebagaimana opini yang dikembangkan oleh tim hukum T. Media tidak melihat, “apalagi” memberitakan kisah dan cerita kehidupan anak-anak yang mendapat eksploitasi ekonomi dengan T sebagai pelakunya.  Di satu sisi, penulis secara pribadi prihatin karena T adalah salah satu dari kelompok masyarakat miskin yang terjerat kasus eksploitasi ekonomi anak. Bagaimana dengan kelompok masyarakat menengah, pelaku usaha kelas menengah dan bahkan kelas kakap seperti di banyak kasus melibatkan anak-anak dalam dunia intertainment (production house) yang “seakan” bebas dari jeratan hukum? T sebagai representasi kelompok masyarakat miskin yang mendekam selama delapan bulan di penjara tanpa proses hukum (status hukumnya baru diproses pengadilan di bulan ke sembilan) adalah sesuatu yang menjadi ironi hukum di Indonesia sedangkan terdapat ironi lain yang publik tidak lihat yakni hukum perlindungan anak yang menjerat T.

Mengapa pubik melalui media massa tidak menyorot sedikitpun anak-anak yang telah dieksploitasi secara ekonomi oleh T. Bagaimana tumbuh kembang mereka saat ini? Mengapa media massa juga tidak melakukan investigasi dalam sudut pandang “perlindungan anak” pada anak-anak yang “diaku oleh T sebagai keponakan –bahkan dalam berita media online disebut sebagai anaknya-“. Dalam artikel ini, penulis ingin mendiskusikan konsep eksploitasi ekonomi anak.

Terminologi dan Ijin Orang Tua

Terminologi eksploitasi ekonomi anak kita temukan dalam UU 23 tahun 2002 pasal 13 ayat 1. Anak berhak atas pengasuhan. Selama dalam pengasuhan orang tuanya, wali atau pihak lainnya anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan, salah satunya dari eksploitasi baik ekonomi maupun seksual. Itu hak anak dan menjadi kewajiban orang tua, wali atau pihak lain yang memiliki hak asuh atas anak. Pada pasal 76 I UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan atau seksual terhadap anak.

Bagaimana dengan sangsi jika terjadi eksploitasi ekonomi anak? Pelanggaran pasal 76 I disebutkan dalam pasal 88 UU 35/2014 akan mendapat pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta.

Kita prihatin, dalam kasus bebasnya T dari dakwaan dengan mengacu pada pada “hal” yang dianggap “membudaya” di masyarakat yakni “anak dianggap biasa membantu orang tuanya bekerja”. Statemen tersebut dalam pandangan penulis jelas tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, yang harusnya hak-haknya dijunjung tinggi yakni hak untuk tumbuh dan berkembang, hak mendapat pendidikan, hak untuk istirahat dan lainnya.

Ironi dalam perlindungan anak ketika dalih yang digunakan “pengusaha” yang mempekerjakan anak-anak karena anak-anak tersebut dianggap telah mendapat ijin orang tuanya. UU 13 tahun 2013 padal 68 mengatur larangan mempekerjakan anak. Namun ketentuan pasal 68 memang dikecualikan pada anak-anak yang berusia 13 sampai 15 tahun pada pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan anak baik secara fisik, mental dan sosial. Pasal 69 menyebut pengusaha dapat merekrut anak usia 13 tahun sampai 15 tahun dengan syarat (1) ijin tertulis dari orang tua atau wali, (2) perjanjian kerja antara pengusaha dengan oprang tua atau wali, (3) waktu kerja maksimal 3 jam, (4) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, (5) keselamatan dan kesehatan kerja, (6) adanya hubungan kerja yang jelas, (7) menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

Pertanyaannya, apakah semua syarat tersebut telah dipenuhi? Kenyataan yang terjadi, dalam banyak kasus eksploitasi enomoni anak, tetaplah orang dewasa entah itu pengusaha atau orang tua atau wali dan lainnya yang mengeruk untung dari adanya eksploitasi ekonomi anak.

Psikologis Anak Yang Dieksploitasi

Kasus seperti T ini berulang kali terjadi di sekitar kita. Orang dewasa mempekerjakan anak-anak. Dalam diskusi penulis dengan tim P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Kota Tangerang Selatan, sebelum kasus ini mencuat ke ranah hukum, masyarakat yang tinggal di perumahan BSD Serpong dan Perum Villa Melati Mas Kota Tangerang Selatan kerap menyaksikan anak-anak (antara 2 dan 3 anak) berjejer berjualan cobek. Selain mereka, terdapat orang yang sudah tua juga menjajakan cobek. Pagi mereka didrop dan malam hari diambil lagi dengan kendaraan roda empat.

Pada kasus T, masyarakat menduga,  jualan dengan menggunakan anak-anak dan orang tua ini  merupakan strategi untuk menarik empati warga yang lewat di jalan tersebut. Sebagian besar warga karena belas kasihan banyak yang merogoh uang sebagai tali asih kepada mereka meski tidak membeli cobek.

Kasus seperti ini juga banyak kita jumpai pada profesi intertainmen di mana anak (harus) bekerja penuh waktu sebagai artis oleh keinginan keluarga. Dalam kehidupan di bawah kemiskinan kerap kita saksikan anak-anak yang menghiasi perempatan lampu merah, rel kereta api dan tempat keramaian lainnya. Mereka rata-rata anak Balita, digedong ke sana-kemari  untuk mengais belas kasihan warga yang lalu lalang.

Ketika T di ciduk oleh Polisi dan kemudian mendekam di penjara, Tim P2TP2A Kota Tangerang Selatan melakukan kunjungan ke Padalarang Jawa Barat di mana anak-anak itu tinggal. Dari data keluarga, dua anak yang terlibat perdagangan cobek bukanlah anggota keluarga T sebagaimana diberitakan media. Anak-anak ini dalam hasil tes psikologis memang tidak berada dalam tekanan atau paksaan saat ikut berjualan cobek bersama T, namun mereka adalah anak-anak yang terganggu tumbuh kembangnya. Dari hasil tes, dua anak tersebut merupakan anak yang minder dan tidak percaya diri. Selama berjam-jam lamanya di bawah terik mentari, siapa yang menjamin tumbuh kembangnya?

Edukasi Masyarakat

Kasus eksploitasi ekonomi anak mirip seperti kasus KDRT yang sulit sekali naik ke ranah pidana. Dalam kasus T, seperti juga kasus-kasus anak-anak bekerja di dunia intertainmen, anak-anak yang diajak turut serta mengemis oleh orang tuanya selama ini dianggap sebagai masalah domestik, masalah internal keluarga di mana orang lain tidak boleh tahu, apalagi menggugatnya. Masyarakat selama ini banyak yang tutup mata karena permasalahan ini dianggap bukan masalahnya, tidak terjadi di dalam keluarganya dan ironinya dianggap sebagai masalah privat keluarga yang bersangkutan.

Pemerintah, Pemerintah Daerah, Organisasi Kemasyarakatan dan juga dunia usaha memiliki tanggung jawab dalam melakukan edukasi perlindungan anak kepada masyarakat. Ketentuan tanggung jawab dalam perlindungan anak di atur dalam UU 23/2002 dan UU 35/2014. Bahwa ekploitasi ekonomi anak adalah pidana, hal tersebut harus dipahami oleh para orang tua atau wali. Masyarakat harus memahami makna “eksploitasi ekonomi” itu tidak melekat pada syarat “adanya kekerasan” sebagaimana di dalilkan oleh PN Tangerang untuk membebaskan T.  Terakhir, pesan penulis kepada penegak hukum negeri ini, pada kasus eksploitasi ekonomi anak seyogyanya hukum berlaku untuk semua, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jika penegak hukum berani angkat kasus T yang disorot publik sebagai orang miskin, beranikah penegak hukum angkat kasus “orang-orang kuat” yang jelas mengeksploitasi ekonomi anak dalam dunia intertainment dan lain-lain ? Wallahu ‘alam

Sumber foto : http://www.kompasiana.com/xiig1924/eksploitasi-anak-anak-dijadikan-mesin-uang_56d0305f717a6107145faf95

 

Ikuti tulisan menarik Susianah Affandy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler