x

Iklan

Birgaldo Sinaga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wayang Kulit yang Diharamkan

Sebagai putra Batak yang pernah menonton wayang kulit, saya merasa sedih dan miris sekali melihat spanduk dungu itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wayang Kulit Yang Diharamkan
 
Seorang teman barusan mengirim foto spanduk penolakan acara menonton wayang kulit. Ada terpampang spanduk berisi pesan pengharaman menonton wayang kulit. Spanduk spanduk itu tersebar di beberapa titik Jakarta. Entah apa tujuannya. Spanduk itu berisi pesan menolak wayang kulit karena melanggar syariah Islam. Tertulis di pojok kanan bawah spanduk disebarkan oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Masyarakat Muslim Umat se-Jakpus.
 
Sebagai putra Batak yang lahir dan besar di Kota Medan, saya cukup akrab dengan wayang kulit. Keluarga saya tinggal di pinggiran Kota Medan yang saat itu masih penuh hamparan sawah ladang. Kami bertetangga kiri kanan dengan keluarga asal Jawa. Pak Sunarto dan Lek Atin adalah tetangga sebelah kiri dan kanan rumah. Mereka Jawa tulen yang sangat suka acara wayang.
 
Saban malam Pak Narto selalu memutar saluran radio yang khusus menyiarkan wayang kulit.Telinga saya bahkan sudah hafal langgam suara Sang Dalang dan penyinden gamelan Jawa. Tontonan wayang kulit sering hadir saat saya kecil, sekitar tahun 1980an. Atraksi budaya Jawa lebih sering saya saksikan dibanding tontonan drama Batak. Ludruk, ketoprak, kuda lumping atau jarang kepang sering saya lihat di kampung saya.
 
Meski Medan bukan tanah Jawa, tapi mayoritas penduduk Medan atau Provinsi Sumut berasal dari etnis Jawa. Mereka menyebut dirinya sebagai Pujakesuma Putra Putri Jawa Kelahiran Sumatera. Mereka beranak pinak menyebar ke pelosok Sumut karena pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1800an mengontrak mereka sebagai buruh kontrak perkebunan teh dan tebu di Deli Serdang, Simalungun dan Medan. Saat itu VOC membuka besar besaran lahan perkebunan gula, tembakau, teh dan karet. Itulah cikal bakal mengapa orang Jawa menyebar di Sumut. Sekalipun para buruh kontrak perkebunan ini meninggalkan Pulau Jawa, budaya dan tradisi mereka tidak mereka tinggalkan.
 
Sama seperti orang Jawa di Suriname Belanda. Meski sudah warga negara Suriname, akar budaya Jawa tetap mereka pertahankan. Tradisi dan kebiasaan itu terus dilestarikan orang Jawa kelahiran Sumatera. Tidak heran pagelaran wayang kulit, ludruk, ketoprak, jarang kepang, kuda lumping begitu akrab di mata dan telinga saya. Di tambah lagi masa itu saban minggu TVRI selalu menyiarkan acara wayang kulit tengah malam. Teman masa kecil saya Susilo Eko Pranowo suka mengajak saya menonton wayang kulit. Kadang kami pergi jauh hingga ke desa tetangga.
 
Menonton wayang kulit untuk anak Batak seperti saya sesungguhnya menjengkelkan. Bayangkan saja alunan nada dan ceritanya itu persis kayak kereta api Surabaya Jakarta dengan kecepatan 10 km perjam. Tuttttttt.....tutttttttttt....tuttttttttt. Belum sampai Semarang sudah terlelap duluan. Itu yang bikin saya takjub melihat banyak tetangga saya bisa melek semalam suntuk menonton Sang Dalang mendongeng wayang. Apalagi sang dalang bertutur dengan menggunakan bahasa Jawa halus yang sulit saya mengerti. Herannya teman temanku malah semakin asyik memelototi Sang Dalang saat alur cerita masuk di peperangan. Sementara aku, sudah ngantuk duluan. Pamit duluan.
 
Tapi dari sana saya mendapat ilmu bagaimana bertutur lisan dan mendongeng dengan baik. Saya termasuk anak yang suka meniru aksen penyiar TV dan Radio. Suka mendongeng juga. Menjadi dalang itu tidak mudah menurut saya. Bukan sekadar bisa mengubah aksen suara tapi harus bisa menghafal begitu banyak narasi kisah perwayangan yang panjang itu. Menakjubkan bukan? Asik juga mendengar Sang Dalang mendalang dengan memerankan beragam tokoh. Suara dan logatnya itu mengagumkan. Kok bisa berubah dan berganti ganti aksennya. Kadang suaranya dicemprengkan. Kadang dibesarkan ngebass. Apalagi kalau muncul tokoh Srikandi, Sang Dalang berubah menjadi perempuan. Hihihihihi. Hahahhahaa. Lucu.
 
Tapi jujur, saya lebih suka menonton ketoprak atau ludruk. Wajah pemain ludruk yang dihias seperti Petruk, Semar atau Gareng lebih bikin antusias buat anak kecil sepertiku. Gaya mereka kocak bikin ngakak. Lucu kala menonton mereka berlakon konyol saat di panggung. Kayak Srimulat lagi manggung. Bikin terpingkal pingkal.
 
Pak Sunarto tetangga saya menjadi tempat saya bertanya tentang wayang. Ia adalah sosok penikmat wayang kulit sejati. Radio sebagai satu satunya hiburan masa itu menjadi favorit Pak Narto. "Cerita wayang banyak mengajarkan filosofi hidup", katanya kepadaku di teras rumahnya sambil tangannya menjahit jala ikan miliknya. "Misalnya Urip iku urup ( Hidup itu Nyala ). Filosofi ini bermakna bahwa hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Hidup itu untuk menghidupi kehidupan. Bukan merusak apalagi membinasakan ciptaan Sang Pencipta toh", ujar Pak Narto sambil melotot seperti Semar. Semar adalah tokoh favorit Pak Narto dalam pewayangan. Bentuk Semar yang gempal bulat sepertinya cocok dengan bodi istrinya yang gempal dan gemuk. Mungkin gara gara bentuk istrinya yang gemuk gempal itu membuat Pak Narto menyukai Semar, pikirku saat itu.
 
"Ada banyak nasihat berperilaku hidup yang baik bisa kita teladani dari tokoh tokoh wayang", ujar Pak Narto semangat. Saya yang tidak begitu antusias diam saja pura pura manggut. Saya masih ingat sekali bagaimana kecintaan Pak Narto dengan wayang kulit. Sepulang kerja, sering Pak Narto nyinden dengan aksen Jawa kental. Mengasikkan mendengarnya bernyanyi dengan langgam Jawa yang datar panjang berulang ulang.
 
Hari ini, 33 tahun kemudian, wayang kulit sebagai kekayaan budaya bangsa hendak dilarang tampil di tempat dia lahir. Wayang kulit yang begitu bernilai kaya seni adi luhung hendak dikuburkan ke dalam sumur gelap. Kaum puritan agama merasa jijik melihat wayang kulit. Pemahaman sempit mereka memandang wayang kulit produk budaya yang melanggar nilai Islam. Haram seperti pesan spanduk spanduk yang bertebaran itu.
 
Sebagai putra Batak yang pernah menonton wayang kulit, saya merasa sedih dan miris sekali melihat spanduk dungu itu. Sebuah produk budaya adi luhung yang lahir pada abad ke 8 saat Dinasti Syailendra membangun Candi Borubudur hendak diberangus dan digantikan oleh budaya asing yang diklaim sebagai budaya surgawi. Di luar dari budaya surgawi itu berarti haram. Tidak boleh hidup. Harus dimusnahkan.
 
Kaum puritan atau radikal ini hendak menjadi penafsir tunggal mana boleh dan mana tidak boleh sebuah budaya ditampilkan. Kaum puritan pemurnian agama ini hendak menjadikan Indonesia hanya boleh punya budaya sesuai alirannya saja. Memonopoli budaya. Lamat lamat saya mendengar nasihat Pak Narto kembali. Nasihat ucapan Semar yang membuat bocah kecil seperi saya hanya bisa melongo karena dalamnya pengertian akan hakikat hidup dari nasihat Sang Guru Semar.
 
Inilah filosofi Jawa yang dilakonkan Semar dalam tontonan wayang kulit itu yang pernah saya dengar dari Pak Sunarto. Urip iku Urup. Hidup itu merupakan nyala jiwa. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi setiap orang disekitar kita. Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara. Harus dan wajib hukumnya mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak.
 
Sura dira jaya jayaningrat, leburing dening pangastuti.
(Segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar).
 
Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sakti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha.
(Berjuang tanpa perlu membawa massa, menang tanpa merendahkan/mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan/kekayaan/keturunan. Kaya tanpa didasari hal-hal yang bersifat materi).
 
Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan.
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah/hasutan menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
 
Pertanyaannya, di mana salah dan dosa dari wayang kulit yang berlimpah nasihat kebijakan akan hakikat hidup ini? Entahlah kawan, rasanya semakin gila dunia ini. Ya... dunia ini semakin gila, segila pesan adu domba spanduk spanduk bodoh itu. Tapi tenanglah kau kawan. Jangan naik tensimu. Jangan lepas kendali emosimu.
 
Ingatlah nasihat Semar ini "Sura dira jaya jayaningrat, leburing dening pangastuti". Segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar. Mantap bukan?
 
Pakk..pakkk..pakkk...bemmn...bemmn bemmm.....
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig saking tyas baliwur ong..
Wa wééé wong tuwa jé dièrèd-èrèd ah èh èh Hé hih hih hih bêgêgêg ugêg ugêg sadulita humêl humêl, hééé é, hé hé hè hè toblas toblas, hé ééé
 
Salam, 
 
Indonesian Kaya Budaya
 
Birgaldo Sinaga
 
#PeriplusCompetition

Ikuti tulisan menarik Birgaldo Sinaga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler