x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencegah Rezim Otoriter, Belajar dari Sejarah

Berdasarkan pengalaman Eropa, seorang sejarawan berbagi pelajaran penting mengenai tanda-tanda kemunculan otoritarianisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bertahun-tahun, Timothy Snyder—guru besar sejarah di Yale University, AS—mencurahkan waktu dan pikirannya untuk memelajari kebangkitan dan kejatuhan totalitarianisme pada 1930an dan 1940an. Sejumlah buku laris sudah ia tulis, di antaranya Bloodlands: Europe between Hitler and Stalin. Mengapa keduanya mampu membangun kekuatan yang menggetarkan langit Eropa dan menebarkan kegelapan?

Snyder, dalam buku mashur ini, berargumen bahwa paham Nazi atau Naziisme bukan sekedar gerakan nasionalis Jerman tanpa jejak global. Snyder menunjukkan, Naziisme punya asal-usul kolionialis dengan jejak di Rusia, Afrika, hingga AS—bangsa yang tidak bisa menghapus sejarah gelap masa lalunya ketika sebagian masyarakatnya mengembangkan metode dehumanisasi berbasis ras.

Hitler, tulis Synder, bahkan mengambil masyarakat AS sebagai inspirasi. Saat Jerman dirundung kesukaran, Hitler tampil dan menjanjikan kepada masyarakatnya ‘kehidupan layaknya orang-orang Amerika’ dengan populasi ‘yang secara rasial murni dan tak diselewengkan’, yang digambarkan oleh Hitler sebagai ‘berkelas dunia’.

Ideologi Hitler, kata Snyder, adalah mitos perjuangan ras yang di dalamnya ‘benar-benar tidak ada nilainya di dunia, kecuali kenyataan bahwa kita dilahirkan untuk mengambil sesuatu dari orang lain’. Seperti halnya banyak figur ‘kanan-jauh’ dari masa-masa sebelumnya, menurut Snyder, Hitler bermaksud memulihkan keadaan alam yang bagi dia merupakan ‘keadaan perang rasial terus-menerus untuk meraih dominasi imperial’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak sarjana mencemaskan kemunculan Donald Trump sebagai figur nomor 1 di AS, bahkan dengan kecemasan yang melebihi terhadap George W. Bush, Jr. yang dengan keras mengumandangkan frasa ‘perang melawan teror’. Setelah pemungutan suara dalam pemilihan presiden AS November lalu, Snyder menulis profil Hitler.

Sekalipun Snyder tidak membuat perbandingan langsung sosok Hitler dengan figur sekarang yang manapun (dalam konteks AS), tapi membaca fakta-fakta historis yang ia sajikan, pembaca merasa diperingatkan agar waspada. Hal serupa pernah dilakukan oleh Naomi Wolf dengan menulis buku The End of America (2007) dan Give Me Liberty (2008) untuk memperingatkan masyarakat Amerika terhadap kecondongan pemerintahan George W. Bush, Jr.. Begitu pula yang dilakukan oleh George Soros melalui bukunya, The Age of Fallibility: Consequences of the War on Terror  (2006).

Snyder mengakui bahwa sejarah tidak secara aktual mengulangi dirinya sendiri, tapi juga terlampau cepat untuk mengabaikan gagasan itu sebagai klise dan untuk tidak memikirkan fakta sejarah sama sekali. “Sejarah memperlihatkan berbagai kemungkinan,” tulis Snyder.

Dalam bukunya yang akan terbit Maret nanti, On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century, Snyder memaparkan 20 pelajaran yang dapat dipetik dari masa-masa totaliter di waktu lampau. “Kita tidak lebih bijak dibandingkan orang-orang Eropa yang menyaksikan demokrasi melahirkan fasisme, Naziisme, atau komunisme. Keuntungan kita (sebagai orang Amerika) ialah kita dapat belajar dari pengalaman mereka,” tulis Snyder.

Pelajaran berharga itu dibagikan pula oleh Snyder melalui laman Facebook-nya, berikut ini sebagian di antaranya:

Pertama, percayalah pada kebenaran. Menanggalkan fakta adalah menanggalkan kebebasan. Bila tidak ada yang benar, tidak akan ada seorangpun yang dapat mengritisi kekuasaan, sebab tidak tersedia dasar untuk melakukannya.

Kedua, jangan bersikap patuh lebih dulu. Banyak rezim otoriter memperoleh kekuasaan secara gratis [Hitler memperolehnya dengan mudah lewat pemilihan yang berlangsung demokratis]. Di masa-masa seperti ini, banyak individu berpikir tentang kemungkinan pemerintahan yang lebih represif, dan mulai melakukan berbagai hal tanpa diminta. Kepatuhan yang dapat diantisipasi ini mengajarkan kepada otoritas baru tentang apa yang mungkin (dilakukan) dan mereka akan mempercepat (terwujudnya) ketidakbebasan.

Ketiga, pertahankan institusi. Ikuti pengadilan atau media. Jangan berbicara tentang ‘institusi kita’ kecuali Anda menjadikan institusi itu milik Anda dengan bertindak atas nama mereka. Institusi tidak melindungi diri sendiri. Institusi akan ambruk seperti kartu domino bila masing-masing institusi tidak dipertahankan sejak awal.

Keempat, ketika mendengar politikus berbicara, cermati kata-kata tertentu. Perhatikanlah pemakaian kata ‘terorisme’ dan ‘ekstremisme’ secara berlebihan. Waspadalah terhadap istilah ‘pengecualian’ dan ‘darurat’. Marahlah terhadap pemakaian kosakata patriotik secara curang (untuk mendiskreditkan orang lain).

Kelima, halangi terwujudnya negara satu-partai. Partai-partai yang mengambil alih negara pada umumnya berubah dari sebelumnya. Mereka mengeksploitasi momen historis untuk membuat kehidupan politik mustahil bagi rival mereka [hingga pesaing mereka tersingkir dari panggung politik]. Gunakan hak suara di pemilihan lokal maupun nasional selagi Anda bisa (untuk mencegah hal itu terjadi)

Itulah sebagian pelajaran yang ditemukan Snyder dari pengalaman otoritarianisme di Eropa dan mengingatkannya kepada bangsa Amerika. (Foto ilustrasi: tentara Nazi memasuki Polandia) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler