x

Seorang karyawan melewati Lobby gedung TVRI yang sepi aktivitas, di Gedung Pusat Televisi Republik Indonesia, Jakarta (3/4). Aktivitas kerja karyawan TVRI terganggu akibat masalah antara Dewan pengawas TVRI dengan anggota DPR. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Eko Ardiyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menanti Penyiaran Digital di Indonesia

Sebaiknya TVRI ditunjuk sebagai pengelola tunggal multipleksing atau single mux

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Batas akhir penggunaan teknologi analog lembaga penyiaran jasa penyiaran televisi, paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak undang-undang penyiaran yang baru diundangkan.

Uji coba siaran televisi digital teresterial tahap pertama telah selesai 9 Desember 2016 dan kembali diperpanjang untuk periode kedua hingga 9 Juni 2017, sesuai dengan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 2053 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1052 Tahun 2016 Tentang Uji Coba Siaran Televisi Digital Teresterial. Sejak uji coba siaran televisi digital teresterial ini dilakukan, masyarakat bisa menonton sejumlah siaran baru dari beberapa Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Digital yang mengikuti uji coba secara gratis, dengan mengunakan tv digital atau dengan alat bantu berupa set top box  yang sudah dijual di pasaran. Misalnya saja, masyarakat di wilayah Jabodetabek & Banten sudah bisa menonton kurang lebih 30 channel (saluran) yang menyajikan berbagai alternatif acara. Siaran LPS Digital teresterial bisa diterima masyarakat, karena mengunakan multipleksing (Mux) TVRI dengan  membayar sewa kepada TVRI. Bukan hanya di wilayah Jabodetabek & Banten saja uji coba siaran televisi digital teresterial diselenggarakan, namun di beberapa propinsi juga telah dilakukan dengan mengunakan mux TVRI, sebut saja di Bandung (Jabar), Medan (Sumut), Kepri, Yogyakarta, Bali, Makassar (sulsel).

Uji coba siaran televisi digital teresterial saat ini “kebetulan” bersamaan dengan pembahasan usulan inisiatif DPR tentang revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang sudah dibahas sejak Februari 2016, Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran yang diketuai Meutya Hafid bahkan telah merampungkan draft RUU Penyiaran ini pada tanggal 7 Desember 2016 lalu. Draft yang sudah diserahkan ke Komisi I DPR ini terdiri dari 14 Bab dan 159 Pasal. Penyiaran dengan teknologi digital teresterial diatur di dratf tersebut pada Bab 5 dan terdiri dari 21 pasal. Merujuk pada draft terakhir RUU Penyiaran tanggal 7 Desember tentang batas akhir penyiaran analog atau yang sering disebut sebagai Analog Switch off (ASO) pada pasal 15 disebutkan  batas akhir penggunaan teknologi analog lembaga penyiaran jasa penyiaran televisi adalah 3 tahun setelah undang-undang penyiaran ini diundangkan, maka sistem televisi digital teresterial baru akan berlaku April 2020, jika RUU Penyiaran ini disahkan bulan April 2017.  Waktu 3 tahun tentu dirasa cukup lama, jika pemerintah ingin proses digitalisasi penyiaran ini segera teralisir. International Telecommunication Union (ITU), dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya, sebenarnya telah menetapkan tanggal 17 Juni 2015 sebagai batas waktu negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan migrasi dari penyiaran analog ke digital, namun Indonesia hingga saat ini belum juga beralih ke tv digital dan masih berkutat di pembahasan ruu penyiaran. Dari data yang dikeluarkan Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) hampir 98 persen negara di dunia telah melaksanakan penyiaran tv digital. Di wilayah ASEAN, sejumlah negara telah bermigrasi dari analog ke digital, sebut saja Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai pada tahun 2014 dan Filipina pada tahun 2015.  Semangat siaran televisi digital teresterial sebenarnya haruslah segera dilakukan, karena kelebihan frekuensi atau frekuensi deviden dari sistem analog bisa digunakan pemerintah untuk berbagai keperluan, salah satunya adalah untuk pengembangan telekomunikasi atau broadband internet yang bisa menyumbangkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang jumlahnya mencapai ratusan trilyun per tahun. Migrasi dari sistem analog ke digital bahkan bisa mewujudkan Indonesia sebagai negara digital ekonomi terbesar di Asia sebagaimana dicanangkan Presiden Joko Widodo dengan pendapatan sebesar 130 miliar US$ pada tahun 2020. Berdasarkan potensi ini, Pemerintah sebagai regulator di dunia penyiaran haruslah bergerak cepat dan berani, sehingga dalam pembahasan ruu penyiaran dengan DPR nanti mau mengusulkan dan mengubah draft usulan DPR terkait analog switch off  lebih cepat dari 3 tahun setelah undang-undang diundangkan. Pemerintah bisa mengusulkan perubahan draft pasal 15 menjadi ; batas akhir penggunaan teknologi analog lembaga penyiaran jasa penyiaran televisi secara nasional adalah 3 tahun dengan dilakukan secara bertahap setelah undang-undang penyiaran ini diundangkan. Usulan ini berarti, jika satu zona wilayah siaran sudah dinilai mampu melakukan digitalisasi penyiaran maka siaran digital teresterial sudah bisa dilakukan di zona tersebut. Misalnya saja zona Jabodatabek & Banten, karena infrastrukur nya sudah siap, maka siaran digital teresterial bisa dilakukan segera atau paling lambat mulai 1 Januari 2018, kemudian bisa disusul zona Surabaya-Jatim, Bandung-Jabar, Medan-Sumut hingga akhirnya zona Papua pada tahun 2020 nanti.

Usulan percepatan migrasi dari analog ke digital secara bertahap ini, harus juga diikuti dengan keputusan pemerintah dalam hal pemenuhan alat set top box yang bisa dibagikan gratis kepada masyarakat bekerjasama dengan para LPS tv digital. Keputusan selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Polri dan instansi terkait lainnya menyangkut pengadaan dan pendistribusian set top box, menghentikan pengadaan dan produksi serta penjualan tv analog, dan memberikan subsidi atau kemudahan kepada masyarakat untuk memiliki set top box dan/atau televisi digital. Pembagian televisi digital definisi tinggi (HD) ukuran 24 inch  secara gratis pernah dilakukan pemerintah Meksiko pada tahun 2014 bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, televisi tersebut juga hemat energi punya terminal USB untuk penghubung dengan jaringan internet.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

TVRI sebagai singel mux digital

Draft RUU Penyiaran tanggal 7 Desember juga menyebutkan, model migrasi analog ke digital dilakukan secara alamiah oleh : 1) RTRI (Radio Televisi Republik Indonesia dan 2) LPS yang memiliki IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) seperti diatur di pasal 22. Usulan ini jelas bisa menimbulkan permasalahan dalam siaran tv digital teresterial. Pengamat televisi digital Diani Citra  pernah menulis bahwa sebaiknya TVRI ditunjuk sebagai pengelola tunggal multipleksing atau single mux agar bisa membantu pendanaan TVRI dan juga bisa membantu penyeragaman jangkauan siaran dan perhitungan audience share karena TVRI memiliki 300-an pemancar yang tersebar di seluruh indonesia. Saya setuju dengan pendapat Diani Citra ini, alasan lain mengapa sistem siaran digital teresterial harus dikelola oleh TVRI atau RTRI (Radio Televisi Republik Indonesia) secara tunggal, karena TVRI / RTRI bersikap independen dan agar mencegah konflik interest TV swasta nasional yang ada saat ini. Karena bisa aja, LPS yang memiliki IPP sebagai pengelola mux, misal TV swasta A yang ditunjuk menjadi pengelola mux dengan sengaja membuat gangguan teknis siaran TV digital baru karena dianggap menjadi saingan dari TV swasta A tersebut. Ingat, dengan siaran tv digital teresterial maka persaingan antar tv dalam mendapatkan revenue dari iklan akan semakin ketat.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara saat perayaan ulang tahun TVRI ke-54 pada 24 Agustus 2016 lalu meresmikan TVRI Go Digital dengan siaran digital TVRI di 29 ibukota provinsi di Indonesia, ini artinya TVRI merupakan satu-satunya dan pioner dalam televisi digital di tanah air, karena belum ada satu pun TV swasta nasional yang ada saat ini yang mampu bersiaran digital di 29 dari 34 propinsi di Indonesia. TVRI secara teknis telah siap menjadi pengelola tunggal multipleksing digital. Kini tinggal bagaimana pemerintah memiliki kemauan baik dengan menetapkan TVRI sebagai single mux digital seperti yang dilakukan di beberapa negara yang telah melakukan siaran digital terlebih dahulu, dimana pengelola mux adalah tunggal dan milik pemerintah.

 

TV digital hidupkan konten-konten lokal

Sistem siaran tv digital teresterial yang akan berlaku di Indonesia haruslah benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat dan bangsa indonesia. Sesuai dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo yang membangun Indonesia dari pinggiran, maka televisi-televisi lokal di daerah-daerah bakal tumbuh dengan subur, karena dengan berlakunya tv digital teresterial maka investasi yang dilakukan sangat jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan investasi di tv analog. Televisi lokal tidak perlu lagi membangun tower pemancar, namun cukup masuk ke mux TVRI di daerah tersebut. Satu hal yang perlu dijaga adalah televisi lokal haruslah membawa semangat membangun konten siaran lokal di masing-masing daerahnya, selain itu kepemilikan tv digital teresterial lokal juga jangan lagi dikuasai oleh segelintir pemilik modal di Jakarta, karena nantinya program acara yang disajikan bakal jakarta centris lagi seperti saat ini. Tumbuhnya tv digital lokal juga akan menumbuhkan industri kreatif di daerah, sehingga apa yang diharapkan pemerintahan Presiden Jokowi pada 2020 bisa tercapai, yakni Indonesia menjadi negara digital ekonomi terbesar di asia.

 

Oleh: Yohanes Eko Wahyu A

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia Jakarta

Ikuti tulisan menarik Eko Ardiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu