x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Era Post-Truth: Kebenaran Jadi Komoditas

Fondasi masyarakat menjadi rapuh ketika opini diklaim sebagai kebenaran, sedangkan fakta ditenggelamkan ke dasar laut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tatkala orang ramai berbicara tentang hoax atau fake news atau berita bohong, ada fenomena lain yang tak kalah menarik untuk diperhatikan, yakni keriuhan orang untuk bersaing mengklaim kebenaran. Tiap-tiap orang merasa dirinya (pasti) benar dan orang lain (pasti) salah—tidak ada niat baik untuk sesekali mencoba memakai sepatu orang lain. Tiap-tiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versi masing-masing, sesuai kepentingan masing-masing, dan menenggelamkan fakta di dasar laut. Yang ditonjolkan adalah opini dan tafsir terhadap fakta.

Apakah kita sedang hidup di era post-truth?

Gagasan post-truth sesungguhnya sudah ada dalam beberapa dekade terakhir. Dramawan Steve Tesich memakai kata post-truth untuk pertama kali, bila tidak keliru, dalam esainya yang terbit di majalah The Nation, 1992. Berefleksi atas skandal Iran-Kontra dan Perang Teluk Persia di tahun-tahun itu, Tesich meratapi bahwa ‘kita, sebagai orang bebas, bebas memutuskan apa yang ingin kita hidupkan di dunia post-truth’. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa sebelum Tesich, istilah post-truth sudah digunakan tapi dalam pengertian ‘setelah kebenaran diketahui’.

Ralph Keyes memopulerkan istilah post-truth dalam bukunya yang terbit pada 2004, The Post-truth Era. Frekuensi pemakaian istilah post-truth meningkat khususnya sepanjang 2016. Tim Oxford Dictionaries melihat fenomena menarik ini, khususnya dalam konteks referendum Brexit di UK dan pemilihan presiden di AS. Kata ajektif ini pun kemudian ditautkan dengan kata benda dalam frasa post-truth politics. Di era post-truth politics, orang dengan mudah mengambil data manapun dan membuat kesimpulan sendiri dan tafsir sendiri sesuai keinginannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu trendy kata ini, sehingga banyak publikasi yang memakainya tanpa penjelasan apa yang mereka maksud dengan post-truth. The Economist, umpamanya, melontarkan cuitan ‘Obama founded ISI. George Bush was behind 9/11. Welcome to post-truth politics’. The Independent melempar cuitan ‘We’ve entered a post-truth world and there’s no going back’.

Itulah alasan pemilihan post-truth sebagai The Word of the Year 2016. Dalam versi tim Oxford Dictionaries, yang memutuskan melalui diskusi, debat, serta riset, post-truth adalah The Word of the Year 2016. Sebagai ajektif, dalam Oxford Dictionaries, post-truth didefinisikan sebagai ‘berkaitan dengan atau merujuk kepada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi’. Bila kita meminjam pengertian ini, post-truth berbeda dengan hoax atau fake news yang memuat kecenderungan menyesatkan atau dis-informasi atau faktanya yang dipalsukan.

Filosof AC Grayling memperingatkan ihwal ‘korupsi integritas intelektual’ akibat praksis post-truth. Keriuhan media sosial, menurut Grayling, merupakan salah satu muatan kunci dalam budaya post-truth. Di dalamnya terkandung unsur ‘i-bite’ di mana opini lebih kuat dan menenggelamkan bukti atau fakta. Fenomena post-truth dapat dilukiskan dalam kalimat “Pendapatku lebih berharga daripada fakta-fakta.”

Dalam pandangan Grayling, era post-truth bukan saja penuh aroma narsistik, tapi sekaligus narsistik yang mengerikan. Ketika media apapun dapat dipakai untuk mengirim pesan yang lebih menonjolkan opini ketimbang fakta, dan setiap orang bisa mempublikasikan opininya sendiri, maka fakta apapun akan tenggelam oleh kerasnya suara pengirim pesan. Setiap orang dapat menerbitkan opininya, setiap orang menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan—yang paling repot—setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah yang diangkat sebagai ‘kebenaran’, bukan faktanya.

Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran, masyarakat ini sesungguhnya rapuh. Ia bagaikan bangunan kartu domino yang dengan satu sentuhan saja seluruh bangunannya runtuh. (iai.tv) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler