x

Sebuah perahu melintasi Jembatan Ampera di Palembang, 7 Maret 2016. Pemprov Sumsel akan menutup Jembatan Ampera selama 12 jam untuk menyambut gerhana matahari total (GMT) pada 9 maret mendatang. ANTARA/Wahyu Putro A

Iklan

Parliza Hendrawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jelajah Taman Nasional Sembilang

Taman nasional sembilang tengah diajukan sebagai cagar bisofer dunia. Karena itu saya semakin tertarik untuk menelusurinya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SETELAH menempuh perjalanan lebih dari 3,5 jam dari Palembang, sekitar pukul 10.00 pagi lewat beberapa menit, saya dan penumpang lain merapat ditangga yang difungsikan sebagai dermaga milik kantor seksi pengelolaan taman nasional wilayah II Sembilang. Bangunan dari kayu dengan tiang penyangga dari beton itu tampak beberapa bagiannya mulai rapuh karena dimakan usia. Perjalanan sehari penuh ini berlangsung pada Rabu, 12 Januari yang lalu. Tulisan utuhnya sudah diterbitkan di koran Tempo edisi akhir pekan lalu.

Belum sempat selonjoran setiba di shelter, saya harus bergegas ikut antrian di depan kamar mandi yang beradi persis disudut bangunan sekitar 20x10 meter tersebut. Maklum dalam perjalanan panjang itu sangat jarang ditemui adanya rest area. Siapapun harus mengerti keadaan itu sehingga menahan rasa ingin pipis merupakan cerita  yang menjadi kenanangan menggelikan. Bagi penumpang laki-laki, sebenarnya mereka bisa saja pipis ditengah laut sambil berdiri disamping motor penggerak kapal mesin Yamaha 200 pk itu. Caranya dengan menurunkan tutup terpal dibagian mesin agar tidak terlihat oleh penumpang lain. Namun cara tersebut tidak banyak digunakan oleh saya dan penumpang lainnya. Kami lebih memilih menahan rasa itu daripada harus menyendiri diburitan kapal.

Usai makan siang, sahabat dari Zoological Society of London (ZSL) mengajak  mengunjungi Dusun IV, Sungai Sembilang, Banyuasin yang merupakan kampung nelayan yang jaraknya tidak lebih dari 200 meter dari tempat pemberhentian tadi. Di pinggiran kampung juga terdapat beberapa bagan yang oleh warga sekitar disebut sebagai vila. Vila tersebut diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin bermalam. Dari dalam dusun, cerita mengalir tanpa henti. Beragam topik menarik bisa direkam mulai dari suka duka menjadi nelayan, minimnya persedian air bersih, hidup berkawan babi dan hewan liar lainnya serta cerita terkait dengan nasib Harimau Sumatera.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sembilang, Cagar Biosfer Dunia

Dulu publik mengenalnya sebagai Taman Nasional Sembilang namun sekarang namanya menjadi lebih panjang mengikuti kebijakan pemerintah pusat sehingga menjadi Taman nasional Berbak-Sembilang dan suaka margasatwa Dangku. Taman nasional Sembilang berada persisir Sumatera Selatan. Taman nasional ini menurut Afan Absori selaku kepala seksi pengelolaan taman nasional wilayah II memiliki bentang alam seluas 202.896.31ha. Luasan tersebut terbagi dalam beberapa zona yang meliputi: zona inti 83.361.69 ha, zona rimba 94.956.59ha, zona pemanfaatan 4.117.83 ha, zona tradisional 5.272.61 ha, zona rehabilitisi 12.298.67 ha, dan khusus seluas 2.900.92 ha.

Meskipun terbilang jauh dari akses sarana transportasi massal namun kawasan Sembilang tetap menjadi daya tarik pelancong. Menjelang akhir tahun biasanya kawasan ini semakin ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegra untuk menikmati kawanan burung migran dari Siberia. Wisatawan akan semakin ramai pada tahun mendatang manakala Sembilang sudah resmi menjadi cagar biosfer dunia. Saat ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan pemerintah daerah sedang menyusun proposal yang akan diajukan kepada UNESCO.

Selain Sembilang, Suaka Marga Satwa Dangku dan Bentayan juga masuk dalam satu paket dalam pengajuan itu. Kepala Bapeda Sumatera Selatan Ekowati Retnaningsih menjelaskan pengajuan ketiga kawasan konservasi ini akan berdampak besar bagi keberlangsungan kelestarian ekosistem di dalamnya dalam mendukung fungsi lingkungannya sebagai kawasan lindung. Selain itu sebagai cagar biosfer dunia, akan tercipta peningkatan ekonomi berkelanjutan terutama bagi masyarakat di kawasan penyangga serta bermanfaat sebagai objek pengembangan penelitian. Hal itu menurutnya sesuai dengan komitmen Green Growth  yang telah digaungkan oleh Sumsel.

Tidak salah bila saya menyebutnya sebagai tujuan wisata hijau. Karena sepanjang mata memandang disisi kiri kanan masih terhampar bentang alam atau landscape yang ditumbuhi oleh beraneka macam tumbuhan selain hutan bakau. Kawasan tersebut juga dipastikan jauh dari polusi udara maupun suara karena keberadaan industri masih sangat minim. Hanya saja saya sempat menghawatirkan keberadaan perkebunan sawit yang berada persis dipinggiran kawasan yang dilindungi oleh Negara tersebut.

Dalam trip seharian itu, mata juga acap disuguhi oleh kicau burung beaneka macam. Bahkan kalau sedang beruntung, pelancong dapat bertemu dengan buaya yang sedang bersantai diatas lumpur diantara sela pepohonan. Namun sayangnya siang itu saya tida berjumpa dengan binatang ganas itu. Asep Adikrana, senior concervation biologist dari ZSL mengaku pihaknya sudah berkali-kali melakukan pengamatan dan penelitian dikawasan tersebut. Hasilnya kawasan tersebut masih menyimpan berbagai koleksi. Menurutnya kawasan yang berada di kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ini memiliki keanekargaman hayati yang jarang dimiliki oleh daerah lain. Ia menyebutkan kawasan yang meliputi 14 kecamatan ini memiliki koleksi Harimau Sumatera serta mempunyai spesies 36 jenis binatang menyusui, 31 jenis burung, 8 jenis reptil, 26 jenis tumbuh-tumbuhan. Tidak hanya itu, penghuni taman yang masih sering dijumpai seperti Burung migran, Buaya Sinyolong, Llabi-labi. Penyu air tawar, Siamang, Sedangkan tumbuh-tumbuhannya seperti Merawan, Ulin, Ramin, dan hutan bakau atau mangrove. (pharliza@gmail.com)

Ikuti tulisan menarik Parliza Hendrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler