x

Iklan

Anggraini

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berbagi kebahagiaan di Tahun baru China, Gong Xi Fa Cai!

perayaan imlek telah menjadi tradisi dan bagian dari budaya Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Imlek adalah perayaan hari besar masyarakat Tionghoa yang bukan saja terbatas pada ritual keagamaan saja. Seiring dengan perjalanan waktu, perayaan imlek telah menjadi tradisi dan bagian dari budaya Indonesia.  Perayaan Imlek tahun ini jatuh pada hari Sabtu, 28 Januari 2017 harapannya  tidak hanya dirayakan secara ‘eksklusif’ di klenteng-klenteng, akan tetapi juga dirayakan secara bersama-sama masyarakat lainnya melalui berbagai kegiatan, seperti pawai Barongsai, bagi-bagi angpao dan kebudayaan khas China lainnya.

Sebagai sebuah perayaan yang menjadi bagian dari budaya besar Indonesia, siapa saja tentu boleh ikut merayakan imlek. Terlebih, Imlek adalah perayaan hari besar masyarakat Tionghoa, bukan hari besar keagamaan. Lalu, bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Bolehkah (atau haruskah) masyarakat Indonesia merayakan Imlek? Utamanya karena tidak sedikit masyarakat yang masih kurang tepat dalam menyikapi dua isu besar terkait imlek, yakni; Pertama, masyarakat Indonesia kebanyakan bukan orang Tionghoa, jadi kenapa repot-repot ikut merayakan hari besar orang Tionghoa?. Kedua, agama mayoritas orang Indonesia (Islam) diyakini melarang umatnya untuk ikut merayakan perayaan kelompok (agama) lain, kalau ngeyel ikut merayakan bisa dicap bid’ah atau bahkan musrik dan kafir. Kecuali perayaan tersebut sudah mendapat ‘cap halal’ dari MUI, mungkin ceritanya akan berbeda.

Tulisan ini akan mendiskusikan dua hal di atas. Pertama, benarkah masyarakat Indonesia sebaiknya tidak usah repot-repot ikut merayakan Imlek? Sebelum menjawab pertanyaan ini, hal utama yang harus ditegaskan adalah bahwa ikut merayakan tidak selalu berarti ‘repot’. Rayakan saja sesuai dengan kemampuan, misalnya dengan ikut mensyukuri keragaman bangsa ini. Kita tentu patut bersyukur dengan keragaman ini, terutama karena dari keragaman itu kita dapat saling belajar dan menguatkan.

Jika kita menengok ke sejarah, masyarakat Tionghoa sejatinya bukanlah bagian asing dari bangsa ini. Jauh sebelum negeri bernama Indonesia lahir, masyarakat Tionghoa telah banyak yang bermukim dan menjadi bagian penting bagi kehidupan sosial nenek moyang kita. Salah satunya  Laksamana Cheng Ho. Dia telah memasuki wilayah Jawa dan Sunda Kelapa hingga Surabaya sejak abad ke 15. Kedatangannya itu tentu bukan hanya dimaksudkan sebagai persinggahan sementara, karena sejak saat itu bangsa China mulai banyak yang berdatangan dan memainkan peran penting baik dalam hal sosial maupun keagamaan. Cheng Ho sendiri adalah seorang Muslim China penjelajah yang terkenal bukan saja di Asia, tetapi juga di seluruh dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Laporan ini ditulis oleh Ma Huan, seorang Muslim China yang merupakan ahli bahasa Arab dan sekretaris Cheng Ho, dalam sebuah manuskrip yang berjudul Ying Yai Sing Lan (ditulis pada 1416). Dikutip dari artikel Sumanto al Qurtuby, Ma Huan bukan saja sekretaris yang bertugas untuk menuliskan segala hal yang dilakukan Cheng Ho, ia adalah orang yang bertugas sebagai mediator Cheng Ho ketika bertemu dengan “Bapak Walisongo”, Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur.

Sejarah juga mengungkap sisi-sisi lain perihal “kelenteng kontroversial”, dimana banyak kelenteng diduga kuat pada mulanya merupakan tempat peribadatan masyarakat Muslim China (masjid). Diantara kelenteng yang kontroversial tersebut adalah kelenteng Ancol/Nyai Ronggeng (Jakarta), kelenteng Talang (Cirebon), kelenteng Sampokong (Lasem & Tuban), dll. Kelenteng ‘masjid’ itu baru berubah fungsi menjadi kelenteng sebagaimana kita jumpai saat ini pada masa penjajahan belanda, dimana pada saat itu pemerintah China Daratan berkolaborasi dengan kolonial Belanda mendatangkan komunitas China Kong Hu Cu untuk mengurangi pengaruh Muslim China yang cukup kuat di Asia Tenggara. 

Keharmonisan hubungan antara warga pribumi dengan masyarakat Tionghoa telah berlangsung sejak sangat lama, bahkan istilah “Nyonya” (niowa atau nio’a) yang kita kenal saat ini merupakan sebutan yang ditujukan untuk perempuan lokal yang dinikahi oleh pria Tionghoa. Dalam perjalanannya, tentu telah ada banyak ‘nyonya’ dalam masyarakat kita, artinya darah Mongoloid telah bercampur baur di masyarakat Indonesia yang memang beragam.

Isu kedua yang juga mulai sering dipekikkan sekelompok orang untuk menolak perayaan Imlek adalah penafsiran sempit atas ajaran agama, khususnya agama Islam.  Saat ini memang tengah muncul kelompok yang begitu gemar mengumbar cap kafir kepada sesama yang memiliki pemikiran berbeda. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, selain pemikiran semacam itu dapat merusak ketentraman masyarakat, hal itu juga berpotensi membuat masyarakat menjadi tersesat.

Sebagai bagian dari tradisi dan budaya, tentu merayakan imlek tidak ada larangannya dalam agama. Apalagi salah satu basis penting dalam Islam adalah perkara Ukhuwah atau persaudaraan. Ukhuwah dalam Islam merentang mulai dari ukhuwah islamiyah (Persaudaraan antar orang beriman) hingga ke ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia). Alquran dalam surah Al Hujurat (49: 10-12) menjelaskan persaudaraan tersebut dapat digapai melalui etika pergaulan antar manusia yang diwujudkan melalui sikap tidak saling mengolok, menertawakan, berprasangka buruk, memata-matai dan saling menggunjing. Karenanya Islam selalu menekankan bahwa orang yang beriman itu bersaudara. Artinya, orang yang beriman selalu bisa mewujudkan dan menjaga persaudaraan.

Kembali ke perayaan Imlek, Perayaan Imlek ini merupakan wujud syukur dari saudara-saudara kita kelompok Tionghoa yang patut kita apresiasi. Mereka bukan ‘penumpang gelap’ dalam sejarah bangsa, merayakan Imlek juga tidak melanggar ketentuan agama. Rayakan saja dengan tanpa melanggar syariat baku agama.

Ikuti tulisan menarik Anggraini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler