x

Suwarno (59) mengajari sejumlah muridnya cara memegang dan memainkan wayang kulit di aula Dewan Kesenian Malang, Jawa Timur, 22 April 2016. Kelas mendalang yang diberi nama sanggar Padaka ini rutin dilaksanakan setiap satu minggu sekali TEMPO/Aris No

Iklan

Cak Mun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rakus Kuasa

Agama diperalat, dan dipergunakaan demi ketamakan akan kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah lakon. Ia lahir di dalam rahim kebudayaan. Tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat seiring pergeseran zaman. Fungsinyajuga beragam, tergantung dari sudut mana kita memandang.

Saya selalu suka lakon Baratayuda –entah dipentaskan dengan drama teatrikal ataupun hanya pementasan wayangkulit belaka. Peperangan terakhir Pandawa dan Kurawa di negeri antah-berantah Kuruksherta, selalu menjadi sajian menarik yang layak benar untuk dikaji secara mendalam. Memang, tidak banyak yang menyadari makna dan pesan sejati kisahnya. Tapi percaya atau tidak, lakon tidak hanya berfungsi sebatas hiburan dalam penciptaannya. Ia tidak kosong, tidak sia-sia.

Konon, Baratayuda versi Jawa merupakan judul naskah kakawin yang ditulis oleh Mpu Sedah di tahun 1157 M. Mengadopsi wiracita yang terkenal dari India, Mahabarata dalam pewayangan Jawa sejatinya merupakan simbol perang saudara dalam perebutan kekuasaan yang terjadi antara kerajaan Jenggala dan Kediri yang sama-sama keturunan Erlangga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada alasan, tentu saja. Tidak akan ada peperangan tanpa alasan. Dalam kisah Baratayuda, bibit permusuhan Kurawa terhadap Pandawa sudah ditanamkan semenjak mereka masih kanak-kanak. Rasa sakit hati Gendari, ibu dari Kurawa dan Sengkuni, paman mereka terhadap ayah para Pandawa menjadikan Kurawa benar-benar memilik hasrat untuk membunuh saudara tiri mereka.

Pandawa yang selalu digambarkan berdiri di sisi kebaikan, berusaha mengalah dan secara bijak bersabar menerima perlakuan Kurawa. Percobaan pembunuhan dengan membakar istana, perebutan kerajaan Amarta, lalu pengasingan dan pencabutan hak-hak mereka sebagai putra mahkota lewat permainan dadu licik Kurawa mereka terima dengan lapang dada. Namun dimulai dari sinilah tolak ukur bobroknya moral Kurawa.

Setahun usai Pandawa menjalani masa pengasingan di hutan Kamiyaka, mereka kembali lagi ke Amarta untuk meminta dikembalikannya lagi hak-hak mereka sebagai putra mahkota raja Pandu. Tapi keinginan tinggal keinginan. Jangankan mengembalikan hak mereka atas kerajaan Amarta, memberikan lima buah desa sebagaimana permintaan minimum dari Puntadewa –yang tidak seberapa dibandingkan kerajaan Amarta saja enggan dipenuhi oleh Kurawa. Apa mau dikata, Keserakahan tahta terlanjur menggelapkan hati dan akal nurani mereka.

Tahta atau kuasa, merupakan satu dari tiga orientasi kehidupan lahiriah seorang manusia. Bersama harta dan wanita, keingian mencapai ketiganya pasti ada. Hanya saja, semua kembali pada seberapa besar manusia menggunakan akal sehat untuk mengontrol keinginan tersebut.

Manalagi yang lebih menggiurkan bagi Kurawa dibanding kekuasaan. Dengannya, seorang pemimpin memiliki wewenang. Wewenanglah yang akan membantu tercapainya dua orientasi lahiriyah yang lain.Harta, begitu mudahnya akan direngkuh oleh seorang pemimpin yang menyalahgunakan wewenang kekuasaannya. Alokasi anggaran yang abstrak, penuh subuhat dan ketidakpastian adalah alat yang cocok bagi Kurawa untuk memperkaya diri mereka sendiri. Lalu, jika harta dan kuasa sudah mereka miliki, mudah sajauntuk mendapatkan wanita sebagaimana yang mereka kehendaki.

Selain itu, kekuasaan akan menjadikan Kurawa begitu dihormati, ditakuti, dan diikuti oleh rakyat-rakyat jelata. Apapun keputusan yang diambil akan membawa ke arah manaorientasi kerajaan Amarta beserta rakyatnya –apakah ia akan bercita rasa barat, ataukah timur yang serba kemerah-merahan.

Itulah eksistensi nilai dari tahta. Satu kata, lima huruf yang dalam praktiknya begitu menggiurkan dan membuat siapapun berambisi meraihnya. Minggu-minggu ini, apa yang terjadi di negara Indonesia seperti menggambarkan wujud Kurawa dalam ketamakan dan kerakusan tahta. Negara seperti diujung perpecahan. Satu ideologi politik dibenturkan dengan ideologi lain –entah politik atau tidak demi mengejar kuasa. Saling sikut, saling jegal antara kelompok.

Agama yang seharusnya mencakup berbagai segmentasi kehidupan dari bangun tidur-hingga tidur lagi, mengalami penyempitan makna menjadi seperti sebatas paham politik saja. Agama diperalat, dan dipergunakaan hanya demi kerakusan dan ketamakan akan kekuasaan.

Padahal Kurawa dan para re-inkarnasi jiwa rakusnya barangkali sudah tahu tentang pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab itu. Untuk apa mereka hidup. Ke mana mereka setelah hidup. Dan apa yang akan mereka bawa setelah mereka hidup. Sayang, mereka mengalami kebutaan dan ketulian dalam kehidupan mereka.

Seperti kisah Adam dan Eve. Seperti kisah Kurawa dalam Baratayuda. Pada akhirnya mereka yang tamak dan rakus akan mengalami penyesalan dalam hidupnya. Adam, ayah segala bangsa pada akhirnya menyesal dan diusir dari surga. Sementara Kurawa, tidak lagi ada satupun dari mereka yang tersisa.

Ikuti tulisan menarik Cak Mun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu