x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Donald Trump

Konon, puluhan tahun sejarah kemanusiaan di Amerika, terhapus hanya dalam seminggu pertama periode kepresidenan Donald Trump.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya suka judul artikel David Sanger, di The New York Times, edisi 29 Janauri 2017: “In a Week, Trump Reshapes Decades of Perceptions About Amerika” (Hanya dalam sepekan, Trump telah mengubah persepsi tentang Amerika yang sudah berlangsung puluhan tahun). Dan gendang perang itu masih akan terus ditabuh, belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Kayaknya, diperlukan teori baru psikologi dan/atau acuan anyar tentang cara membaca karakter untuk bisa memahami perilaku Donald Trump. Janji-janjinya yang penuh dengan ancaman, selama masa kampanye, ternyata bukan isapan jempol belaka. Dia mengeksekusinya melalui sederet peraturan yang diloloskan melalui mekanisme Executive Order (kira-kira setara dengan Keppres atau Peraturan Pemerintah di Indonesia).

Saya membayangkan, semua kementerian luar negeri di setiap negara di dunia, telah-sedang-akan membentuk sebuah tim khusus, yang fokus mengkaji dan mendiskusikan cara terbaik dan efektif berhubungan dan memperlakukan Donald Trump.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Badan-badan intelijen di semua negara pun, juga mestinya sudah lama menganalisa tentang cara paling tepat dan efektikf berinteraksi dengan Donald Trump.

Para pakar pembaca karakter di dunia, saya yakin, sudah menganalisa seluruh garis muka dan bentuk wajah Donald Trump, termasuk mungkin plek dan tahi lalatnya, bentuk bibir, keseimbangan posisi setiap bagian wajahnya, dan seterusnya.

Memang, untuk menyebutnya Presiden yang terkesan paling ngawur dalam sejarah Amerika, kayaknya sulit juga. Benar bahwa Donald Trump sering berbohong di depan publik. Tapi sejauh ini, terhadap janji-janji utama kampanyenya, dia eksekusi di minggu pertama sejak dilantik dan resmi menghuni White House.

Dia meneken keputusan mengeluarkan Amerika dari forum TTP (Trans-Pasific Partnership) pada minggu pertama (24 Januari 2017). Undang-undang Keimigrasian (Immigration Order) ditandatangani pada 27 Januari 2017. Dan yang lain akan menyusul, termasuk rancangan keputusan yang secara resmi menyebut China sebagai negara “currency manipulator”.

Masalahnya: ini Amerika, Bung! Setiap kebijakan nasionalnya – apalagi memang kebijakan globalnya – akan berpengaruh signifikan terhadap sebagian besar negara di dunia. Negara lain tak punya banyak alternatif kecuali mengikuti ritmenya.

Keputusan keluar dari TPP, yang awalnya diinisiasi oleh 7 negara (US, Japan, Malaysia, Australia, New Zealand, Canada and Mexico), sebenarnya lebih merupakan “pembatalan untuk sesuatu yang belum berjalan”. Sebab Kongres Amerika belum meratifikasinya.

UU Keimigrasian, sasarannya juga gampang ditebak: membatasi pergerakan komunitas Muslim di Amerika dan imigran dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Draft awal UU itu, yang beredar di kalangan pers, berisi 7 negara yang warganya di-blacklist untuk masuk ke Amerika (Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, Yaman). Tapi ketika draft resminya dipublikasikan, keenam negara itu tak lagi muncul.

Dari jauh saya mencoba menyimpulkan: Donald Trump adalah tipe orang yang gampang mengutarakan perasaannya kepada orang lain. Jika membenci tentang sesuatu atau seseorang, dia tidak akan segan-segan mengatakannya dengan kalimat yang jelas dan langsung: I don’t like it, I don’t like you, I hate him or her. Begitu pula sebaliknya.

Dan salah satu janjinya, yang besar kemungkinan juga akan dieksekusi dalam waktu dekat, adalah membangun great wall (pagar tembok besar) sepanjang perbatasan Amerika-Mexico. Tujuannya membendung imigran gelap Hispanic dan menutup rute penyelundupan narkoba dari Amerika Selatan via Mexico, melalui jalur tikus di garis perbatasan darat Amerika-Mexico sepanjang 3,145 kilometers, plus perbatasan laut sepanjang 29 km.

Istilah The Great Wall tentulah merujuk ke Tembok China. Artinya, kalau tembok pembatas itu dibangun benaran, pertama, ke depan boleh jadi akan menjadi salah satu obyek wisata menarik. Saya membayangkan namanya nanti mungkin akan lebih populer dengan sebutan The Trump Wall; kedua, akan menjadi preseden bagi negara lain untuk membangun tembok pembatas dengan negara tetangganya yang dianggap sebagai ancaman. Tapi kebijakan Trump untuk membangun the great wall, sudah jauh tertinggal dibanding Israel, yang sudah lebih dulu melakukannya di Tepi Barat, Palestina.

Catatan penting: untuk bisa berinteraksi dengan orang model Donald Trump, biasanya cuma ada dua cara, tidak ada tiganya: tunduk penuh pada seleranya, atau melawannya habis-habisan. Wani?

Syarifuddin Abdullah | 30 Januari 2017 / 03 Jumadil-ula 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB