x

Iklan

arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Capital Market Pasca Kemenangan Trump

Terpilihya Trump sebagai Presiden Amerika kali ini mengundang kontroversi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Donald Trump telah terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Ia dilantik 20 Januari kemarin. Terpilihya Trump sebagai Presiden Amerika kali ini mengundang kontroversi. Selain sosoknya yang kontroversial, kebijakan Trump turut pula membuat dunia terkejut. Terutama kebijakan ekonomi Trump.

Kebijakan ekonomi pertama Trump, yakni “Proteksionisme”. Berkali-kali dalam kampanyenya Trump mengatakan bahwa globalisasi lebih banyak mendatangkan duka ketimbang suka. Banjirnya produk murah China ke AS, cukup memukul industri manufaktur AS bahkan terancam gulung tikar. Hal ini juga menyebabkan rendahnya gaji pekerja domestik. Sehingga daya beli masyarakat AS berjalan stagnan. Membuat ekonomi AS sulit bergerak tumbuh pasca krisis 2008.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak China masuk dalam World Trade Organisation (WTO), ada lebih dari 50 ribu pabrik di Amerika tutup dan puluhan juta pekerja dirumahkan. Selain itu, pasca krisis 2008 dan tumbuhnya China sebagai kekuatan ekonomi baru, di Amerika Serikat banyak terjadi pengalihan bisnis ke negara-negara yang berbiaya rendah. Berdasarkan data Capital Economics, timbunan uang korporasi Amerika Serikat di luar negeri mencapai US$ 2,5 triliun.

Atas dasar inilah Trump bersikeras untuk melindungi ekonomi Amerika Serikat dengan jalan Proteksionisme, yang bisa dinilai sebagai sebuah sikap “anti-globalisasi”. Sehingga munculah kebijakan Trump yang kedua, yakni pemberlakuan pajak rendah untuk korporasi. Trump berencana memangkas besaran pajak korporasi dari 35 persen menjadi 15 persen. Ia mengajukan rencana repatriasi pajak korporasi, untuk mengembalikan uang dari luar negeri masuk ke Amerika Serikat kembali.

Trump juga berencana untuk menerapkan keringanan pajak penghasilan atau tax holiday. Selama periode tax holiday, besaran pajak yang dikenakan kepada korporasi hanya 10 persen. Program ini diharapkan mampu mendorong korporasi untuk membawa pulang uang mereka untuk diinvestasikan di AS atau dibagikan kepada pemegang saham. Kebijakan ini adalah bentuk dukungan Trump terhadap perusahaan domestik dalam negeri.

Kebijakan ketiga yang diprediksi bakal diambil Trump, yakni dukungannya terhadap industri migas dan pertambangan AS. Bisa dipastikan Trump bakal menghentikan proyek green energy warisan Obama. Hal ini terungkap dalam kampanyenya, yang pernah menyatakan pemanasan global sebagai “omong kosong yang mahal”.

Dari ketiga kebijakan kita bisa analisis dampaknya terhadap pasar keuangan. Pertama, kebijakan Proteksionisme Trump dengan ambisinya ingin mengembalikan investasi AS yang ada diluar negeri akan berimbas pada larinya dana asing ke luar. Dengan kata lain, investor asing akan menarik keluar dananya dari pasar saham dan obligasi. Adanya kebijakan pemangkasan pajak dan tax holiday membuat investor Amerika Serikat lebih memilih mengalirkan dananya ke negaranya sendiri.

Ditambah, pemotongan pajak yang dilakukan Trump jelas akan mengurangi penerimaan negara dalam sektor pajak. Namun di lain sisi, Trump akan melakukan peningkatan anggaran infrastruktur yang jelas akan menaikkan anggaran belanja. Hal ini akan memicu defisit anggaran AS dan akan membuat utang semakin membangkak.

Dampaknya, bakal meningkatnya ekspektasi atas kenaikan imbal hasil surat utang negara Amerika Serikat (AS). Maka bisa dipastikan investor dan pialang AS akan menarik dananya di berbagai belahan dunia untuk dialihkan ke pasar keuangan dan pasar modal AS. Dengan kata lain, investor lebih memilih mengalihkan asetnya kepada aset safe haven (obligasi pemerintah AS).

Bukti sederhananya, sehari setelah kemenangan Trump bursa Wall Street pun melejit. Indeks Dow Jones naik 1,4 persen pada perdagangan Rabu (9/11/2016). Kondisi serupa juga terjadi pada indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq (Kompas, 12 November 2016). Sebaliknya, bursa saham di berbagai negara Asia dan emerging market justru tersungkur. Indeks Nikkei Jepang tersungkur 5,4 persen pada perdagangan Rabu. Pada hari yang sama Indeks Hang Seng Hongkong jatuh 2,15 persen.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga tak luput, tergelincir 1 persen pada perdagangan Rabu. Bahkan kejatuhan IHSG terus berlanjut hingga Jumat (11/11/2016), saat indeks ditutup di level  5.289, anjlok 161 poin dibandingkan penutupan sehari sebelumnya (Kompas, 12 November 2016).

Keluarnya dana asing dari bursa saham Asia dan negara emerging market, diperkuat dengan adanya potensi kenaikan suku bunga The Fed akibat kebijakan belanja Trump yang ekspansif yang berpotensi menyulut inflasi di AS.

Kebijakan Proteksonisme Trump juga akan menurunkan tingkat ekspor negara-negara mitra dagang AS. Terutama terhadap negara-negara yang memiliki angka ekspor yang relative tinggi dengan AS.  Hal ini akan berpengaruh pada neraca perdagangan negara-negara eksportir. Amerika Serikat merupakan mitra dagang yang penting bagi Indonesia, terutama komoditas ekspor tekstil, produk tekstil, dan alas kaki. Kontribusi tiga produk itu mencapai 31 persen dari total ekspor Indonesia ke Amerik Serikat (Katadata, 23 Januari 2017). Berkurangnya angka ekspor ke Amerika Serikat akan berkontribusi pada perlambatan ekonomi negara-negara eksportir. Termasuk Indonesia.

Selain itu, dukungan Trump terhadap industri minyak dan pertambangan di AS serta penolakannya terhadap proyek green energy akan memicu kenaikan harga minyak dan batubara. Harga minyak mentah sudah naik 48,3 persen sejak per 20 Desember 2016. Komoditas lainnya yang mengalami kenaikan harga yakni batubara, nikel, dan tembaga (Katadata, 24 Januari 2017). Diperkirakan harga minyak dan komoditas tambang akan terus merangkak naik.

Basher dan Sadorky (2006) mengungkapkan bahwa bahan bakar minyak, begitu pula dengan modal, tenaga kerja dan bahan baku merupakan komponen penting dalam produksi barang dan jasa, sehingga perubahan harga input akan memengaruhi arus kas. Pada kasus negara importir, seperti Indonesia, peningkatan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi karena tidak adanya input substitusi antara faktor-faktor produksi tersebut. Biaya produksi yang tinggi mengurangi arus kas dan pada akhirnya menurunkan harga saham.

Kenaikan harga minyak sering menunjukkan tekanan inflasi yang dapat dikontrol oleh bank sentral dengan menaikkan tingkat suku bunga. Bagi sejumlah investor, kenaikan suku bunga akan membuat investasi pada instrumen obligasi lebih menarik daripada saham, selain untuk mengantisipasi risiko fluktuasi harga saham, hal tersebut menyebabkan penurunan harga saham karena para investor memindahkan dananya ke instrumen obligasi.

Arjuna Putra Aldino. T

Ikuti tulisan menarik arjunaputra aldino lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler