x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa yang Kaya Semakin Kaya

Mengapa si kaya semakin jauh meninggalkan si miskin? Si kaya menikmati keunggulan kumulatif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Salah satu persoalan yang dihadapi wirausaha kecil-mikro (dimulai dari pedagang kaki lima) ialah keterbatasan akses kepada sumber ekonomi, di antaranya modal dan teknologi. Modal finansial, teknologi, jejaring, maupun sumber daya lain ‘lebih suka’ mendekati wirausaha yang sudah sukses. Semakin sukses, beragam sumber daya tadi semakin berlomba-lomba mendekati wirausaha ini.

Sebaliknya, wirausaha kecil dan amat kecil harus menanti skema-skema yang mungkin difasilitasi pemerintah atau menunggu bantuan dari perusahaan besar atas nama hibah atau corporate social responsibility (CSR). Jikalaupun akses kepada modal finansial dibuka oleh dunia perbankan, bukaan kran itu tidak akan besar bila dibandingkan dengan wirausaha dan perusahaan sukses.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cara kerja seperti itu dianggap lumrah, sebab prinsip ekonomi yang sekarang dipraktikkan—bukan yang diidealkan dalam cita-cita Republik—memang seperti itu. Pembangunan infrastruktur apapun, jembatan, jalan, tol, bandara, gedung, hingga pabrik, hanya bisa dikerjakan oleh perusahaan besar yang relatif mudah memperoleh sokongan finansial dari bank.

Dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berskala besar, maka marjin profit yang diperoleh juga besar—meskipun risiko juga besar. Tampaklah bahwa kemudahan akses kepada sumber-sumber daya ekonomi ini mendorong pertumbuhan wirausaha tertentu atau perusahaan tertentu untuk mengembangkan diri mengikuti pola spiral: setelah sukses, sumber-sumber ekonomi mudah didekati atau bahkan mendekati, kesuksesan pun semakin besar, begitu seterusnya.

Karena wirausaha kecil-kecilan tidak dapat menikmati akses serupa, pertumbuhan mereka sangat lambat, atau bahkan berjalan di tempat. Jarak antara kedua jenis wirausaha/perusahaan inipun semakin lebar. Fenomena serupa dialami pada tataran individual—seseorang yang sukses akan meniti tangga kesuksesan berikutnya dengan lebih mudah, sebab akses kepada sumber daya ekonomi semakin terbuka baginya—bank, pengambil kebijakan, perizinan, juga bakat-bakat terbaik.

Praktik ekonomi/bisnis semacam itu menyerupain apa yang digambarkan oleh ahli sosiologi sains, mendiang Robert K. Merton. Pada tahun 1968, melalui tulisannya, Merton memperkenalkan istilah efek Matthew. Merton memakai istilah efek Matthew untuk menggambarkan fenomena di kalangan akademisi dan dunia ilmiah, di mana ilmuwan terkemuka sering memperoleh kredit lebih banyak dibandingkan dengan peneliti yang relatif kurang dikenal, bahkan bila karya mereka serupa.

Kredit terbesar kerap diberikan kepada peneliti yang sudah mashur, walaupun peneliti yuniorlah (atau mahasiswa pascasarjana) yang memberi kontribusi terbesar dalam suatu riset. Para peneliti senior ini kemudian lebih mudah untuk memperoleh akses terhadap pendanaan riset berikutnya dan lebih sering diundang dalam pertemuan ilmiah dibandingkan dengan penelitian yunior dengan kontribusi lebih besar.

Gagasan Merton ini kemudian diterapkan dalam lingkup lebih luas, termasuk sosiologi maupun ekonomi, dan disebut dengan istilah lain: accumulated advantage—keunggulan yang terakumulasi. Istilah ini mula-mula dipakai untuk menggambarkan bagaimana kemashuran dan status memungkinkan pemiliknya memperoleh keunggulan (advantage) dibandingkan yang lain—orang-orang dengan kemashuran dan status lebih rendah.

Dalam konteks ekonomi, accumulated advantage merujuk kepada kapital ekonomi—mereka yang memiliki kapital akan semakin meningkat kapitalnya berkat accumulated advantage (disebut pula cumulative advantage), seperti mudah mendapat akses kepada sumber pembiayaan, teknologi, manusia berbakat, pengambil keputusan untuk kebijakan publik, dan perizinan, yang membuka peluang untuk menjalankan aktivitas bisnis berskala besar dan karena itu berpeluang memperoleh keuntungan yang besar pula.

Mereka yang kaya menjadi semakin kaya karena kemudahan akses kepada sumber-sumber daya ekonomi-politik membuka jalan bagi penumpukan kemakmuran yang lebih besar lagi. Inilah salah satu penjelasan bagi mekanisme melebarnya kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya (Thomas A. DiPrete—Cumulative Advantage as a Mechanism for Inequality). Dalam pandangan ekonom Prancis Thomas Piketty, inilah bagian dari cacat bawaan ekonomi kapitalistik. (Foto ilustrasi: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu