x

Iklan

Heryadi Silvianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ojek : Memanjakan Online, Membiarkan Konvensional

Fenomena ojek online sepanjang satu dekade ini mengalami perkembangan luar biasa, selain menyimpan potensi juga menimbulkan masalah sosial baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemandangan antrian motor di trotoar di depan gedung Manggala Wanabakti sepuluh tahun lalu nyaris tidak pernah terjadi, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pun demikian, tiga tahun lalu saja belum sebanyak saat ini. Puncaknya, dua Tahun terakhir saat gejala ojek online merajalela di negeri ini.

Mengapa demikian? Karena posisi Kementerian tersebut persis di hadapan stasiun Kereta Palmerah. Pusat ratusan orang terhambur, pulang dan pergi kerja. fenomena ini terjadi hampir dibanyak lokasi yang strategis. Hikmahnya: Nikmat pasar mana lagi yang kamu dustakan...

Lazimnya gula berada, maka disanalah semua semut mendekat dan berkumpul. Setidaknya filosofi sederhana ini yang bisa menjelaskan mengapa teori antrian "ojek online" ini mengular dalam kondisi pasar yang semakin sesak. Maka peristiwa serupa bisa ditemukan di sekitar terminal, depan Mall, samping perkantoran, bubar sekolahan dan simpul-simpul masa lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara pribadi, penulis sudah menduga bahwa bisnis ojek online Ini secara teknis lapangan akan menemukan "titik jenuh" atau 'overload'. Hal ini terjadi, karena jumlah penyedia jasa (driver ojek online) yang saat ini ada lebih besar dibandingkan permintaannya (konsumen). Persaingan bukan hanya terjadi antara ojek online dan non online, namun saat ini juga sesama ojek aplikasi dalam satu provider maupun cross provider. Situasi ini dalam beberapa kasus, dalam perkembangannya memunculkan pola moral hazard dalam proses bisnis di ojek online yang terkenal dengan Nama "nete" (berkongsi dengan petugas IT) dan memelihara "tuyul" (menggunakan aplikasi pemindai konsumen).

Belum lama ini, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menginstruksikan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) untuk segera menertibkan pengendara ojek online. Hal ini disampaikan Bima seusai mendengarkan keluhan aparat wilayah terkait kebiasaan ojek online yang memarkir kendaraan di trotoar, yang disampaikan dalam rapat kesiapan program re-routing angkot di Balai Kota, Selasa (24/1/2017). (http://regional.kompas.com/read/2017/01/24/15305001/wali.kota.bogor.minta.pengendara.ojek.online.ditertibkan)

Penulis tidak sedang mencoba membedah fenomena ojek online dari permasalahan sosial dan konomi secara makro secara utuh, tapi dari apa yang berkembang saat ini setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan kritis terkait regulator yang abai dan budaya konsumen yang berubah.

Protes kelas menengah, abainya regulator

Fenomena Ini menegaskan, alih-alih menekan jumlah ojek konvensional / partikelir yang selama ini telah sebabkan kemacetan karena kebiasaan "nangkring dan mangkal". Justru, keberadaan ojek online menambah beban jalan semakin berat, karena jumlah motor yang terpakir di sepadan jalan semakin banyak. Terlebih, secara khusus kepala negara pun sangat cocern terhadap kelangsungan bisnis ini. Pada tanggal 1 September 2015, Presiden Joko Widodo mengajak makan siang sejumlah tukang ojek reguler, tukang ojek yang bergabung dengan Gojek, juga sopir Metro Mini dan taksi. Persaingan yang terjadi antara pengemudi ojek reguler atau ojek pangkalan dan pengemudi ojek yang sudah bergabung dengan Gojek dibahas khusus di Istana Negara (https://m.tempo.co/read/news/2015/09/01/083696828/ojek-pangkalan-dan-sopir-gojek-bertemu-jokowi-ini-curhatnya). Sehingga nampak sempurnalah skenario absurd kekacauan pengelolaan transportasi publik ini. Adanya legitimasi regulator dan tingginya permintaan pasar, melahirkan gemuknya produsen tanpa ada satupun aturan yang dijadikan acuan.

Disisi lain fenomena ini terjadi, menurut pandangan awam penulis karena secara eksternal adanya 'protes halus' dari kelas menengah atas kondisi transportasi massal di perkotaan yang tidak kunjung membaik dengan kondisi kemacetan yang belum menemukan titik urai yang memuaskan. Selain itu, secara teknis administratif pengurusan dan kepemilikan motor yang sangat mudah dan murah mendorong banyak pihak beralih profesi ke jalan yang sangat menggiurkan ini. Dalam beberapa fenomena tertentu, penulis melihat ada "migrasi profesi" yang massif. Dulunya pedagang, Tukang cukur, pekerja pabrik dan sejenisnya kini menempuh ikhtiar baru dalam profesi semi mandiri ini.

Belum lagi, penulis melihat perpindahan profesi ini bukan tanpa resiko. Dengan mengandalkan kepemilikan motor yang mudah dan tidak diperlukan izin operasi maka pengemudi ojek online sangat mungkin mengantar konsumen dalam jarak yang tidak aman. Sebagaimana diketahui, ojek bukanlah kendaran yang direkomendasikan untuk angkutan umum karena memiliki keterbatasan dan resiko yang tinggi. Tapi dengan berbagai layanan jasa yang semakin berkembang dari pegiat ojek online seperti massage, food, service dan lain sebagainya justru memunculkan kebutuhan yang tinggi dari konsumen. Jika biasanya seorang pengemudi ojek hanya menempuh jarak kurang dari 25 Km, maka dengan aplikasi ojek online dimungkinkan lebih dari jarak yang biasanya. Tentu saja hal ini membahayakan serta rawan kecelakaan karena sangat mungkin pengemudi ojek online tidak terbiasa, kurang jam terbang dan tidak terlatih. 

Adapun secara makro, setidaknya wajah sulitnya masyarakat dalam meng-akses pekerjaan masih cukup kuat terasa dari fenomena tumbuhnya ojek online ini. Walau pemerintah mengklaim, terjadi penurunan 0,1 persen sepanjang tahun 2016. Namun jumlah pendaftar pengemudi ojek online Ini masih terus mengalir. Setidaknya Kita tahu, penurunan angka pengangguran tersebut bisa jadi disumbangkan profesi semi mandiri ini.

Terakhir, sekedar pengingat bahwa tulisan ini tidak sedang menghardik sebuah profesi atau membenturkan rezeki seseorang, ini hanya pandangan awam saja. Tentang sebuah fenomena sosial yang ditemui oleh seorang warga negara..

Itu pendapat saya, bagaimana pendapat anda?

Ikuti tulisan menarik Heryadi Silvianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler