x

Iklan

Iwansyah S.Kep.,Ns

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saatnya Perawat Mengangkat Pena Untuk Menggetarkan Dunia

Wer liest, weib. Wer schreibt, bleibt, kata peribahasa Jerman. “Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang anda lakukan manakala aksi turun ke jalan (Demonstrasi) menuntut keadilan perawat, tak begitu mendapatkan tanggapan dari pemerintah? Adakah cara lain dalam memperjuangkan aspirasi perawat dan mahasiswa keperawatan itu?

Kedua pertanyaan itu patut kita ajukan, karena setiap perbuatan yang sudah kita anggap rutin, biasanya tak memberikan efek apa-apa. Malah kita terbiasa dengan pola tersebut. Begitu pula dengan pemerintah. Maraknya aksi yang dilakukan oleh perawat dan mahasiswa keperawatan tak membuat pengusa menjadi takut lagi dengan kedatangan aksi tersebut. Bahkan, terkadang para pejabat memandang sebelah mata terhadap segala bentuk tuntutan yang dilontarkan oleh para aktivis keperawatan. kemudian gerakan seperti apakah yang mampu meruntuhkan kesadaran pemerintah?
Wer liest, weiβ. Wer schreibt, bleibt, kata peribahasa Jerman. “Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati”
Dalam berbagai lintasan sejarah, dapat disimpulkan bahwa ada dua model umum dalam menyampaikan kritiknya.
Pertama, melalui gerakan aksi turun ke jalan. Bentuk gerakan ini, mulai dari demonstrasi, mimbar bebas, sampai pada aksi berbaris massal mendatangi sejumlah instansi yang diperkirakan dapat menyelesaikan persoalan yang dikeluhkan olah perawat. Nyatanya, tradisi turun ke jalan kerapkali menjadi pemandangan yang sering kita jumpai di berbagai media, baik media elektronik maupun cetak. Alih-alih heroisme perjuangan tanpa pamrih, kesadaran kolektifitas, tetesan darah dan air mata pun menjadi melekat di jiwa mereka.
Kedua, gerakan intelektual. Gerakan ini biasanya dilakukan oleh para pegiat literasi keperawatan. Maka dari itu kita seimbangkan antara gerakan aksi turun ke jalan dengan gerakan intelektual (menulis).
 
Tak ada cara lain selain itu, maka bangkit dan angkat penamu sekarang. Pasalnya, media merupakan kekuatan keempat, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam pemerintahan. Tengok saja, dalam lintasan sejarah. Setiap pergerakan hampir selalu memperoleh dukungan dari media massa. Seperti yang di tulis oleh A Muis di Republika (23/05/1996), Berkat patisipasi aktif pers dan ide-idenya cepat tersebar di seluruh dunia. Di negara-negara yang sedang berkembang pun kaum tercerahkan hampir selalu menciptakan konflik sosial, khususnya dengan lembaga-lembaga kekuasaan yang berfungsi mempertahankan kemapanan atau tatanan politik lama.
 
Bila tempo dulu, peranan wartawan yang banyak berperan aktif dalam melakukan perubahan. Kini, yang mesti penguasai berbagai media massa bukan para jurnalis, tapi kita (perawat/mahasiswa keperawat) selaku ‘aktor’ pergerakan perkumpulan para penggiat literasi keperawatan. Yaitu dengan cara menulis di sejumlah kolom, opini, esai, resensi, sastra, atau puisi setiap media. Sebab tanpa itu, semua cita-cita agung tersebut dapat didengar oleh penguasa, hingga di kenal oleh khalayak banyak. Dari situlah kami dari sekelompok penggiat literasi mendirikan komper.id untuk memotivasi perawat dan mahasiswa keperawatan agar mengangkat pena memperjuangkan profesi keperawatan yang kita cintai ini dalam bentuk tulisan.
 
Tradisi menulis itu, telah banyak dilakukan oleh sejumlah tokoh sekaliber; Nurcholis Madjid sejak mahasiswa, melalui bingkai “Pikiran-Pikiran Muda Nurcholis Madjid, Dialog keterbukaan”; Ahmad Wahib telah mengguncangkan belantika pemikiran melalui “Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam)”; Soe Ho Gie, seorang orator ulung melakukan perlawanan dengan mengangkat pena lewat “Catatan Seorang Demonstran”. Lantas, apakah budaya tulis menjadi icon terpenting bagi pergerakan keperawatan dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan bermanfaat.
 
Tentu saja, hampir setiap orang agaknya pernah melakaukan corat-coret entah; pesan, tulis ASKEP, buku status pasien, memo dan buku harian. Jadi ada berbagai ragam cara dalam menuangkan ide-ide atau gagasan. Namun, bila kita masih kesulitan memulai membikin gaya tulisan yang bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya saja dengan membiasakan membikin surat pembaca dan diary. Perbuatan mulia ini, pernah dikaukan oleh Soe Hok Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam).
 
Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,”
Melalui tulisan, kita bisa memberi pemahaman dan mengubah kesadaran seseorang. Dengan aksi turun ke jalan, kita memberikan tekanan langsung pada pihak-pihak yang kita sasar dalam aksi langsung. Dengan tulisan, kita bisa menyuguhkan sebuah kebenaran ditengah kebusukan-kebusukan informasi yang semakin berjejal.
 
Dengan aksi, kita mengkonfirmasi kebenaran yang kita peroleh di tulisan pada pihak-pihak yang berkepentingan. Dan akhirnya, hanya dengan tulisan, kita bertanggung jawab terhadap apa yang kita perbuat selama ini.”
 
Dengan demikian, mudah-mudahan dengan adanya model baru ini kita dapat melanjutkan perjuangan kaum lemah  yaitu profesi keperawatan yang selalu tertindas dan di jadikan anak tiri oleh pemerintah.
 
Janganlah kami (perawat) terlalu diusik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu (pena). Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya.
 
Sudah siapkah anda (perawat/mahasiswa keperawatan) untuk menulis?

Ikuti tulisan menarik Iwansyah S.Kep.,Ns lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler