x

Sejumlah sapi perah berjalan bersama menuju gudang pemerahan susu di dekat kota Smithton, Australia , 17 November 2016. REUTERS

Iklan

Cak Khudori

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perkara Impor Ternak dan Undang-Undang Peternakan~Khudori

Pendekatan berbasis zona di Undang-Undang Peternakan itu merupakan hasil "perselingkuhan" DPR dan pemerintah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Khudori

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, tertangkap tangan oleh penyidik KPK. Patrialis diduga menerima suap dalam kaitan dengan perkara uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Suap itu diduga diberikan oleh pengimpor daging sapi, Basuki Hariman. Penangkapan ini kian menambah panjang daftar pihak yang tersangkut masalah hukum yang berhubungan dengan pengaturan impor ternak dan produk ternak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Uji materi itu diajukan oleh komunitas peternakan (peternak, pedagang daging, dokter hewan, konsumen, dan akademikus) pada 16 Oktober 2015. Obyek gugatan adalah Pasal 36 C ayat 1 dan 3, Pasal 36 D ayat 1, serta Pasal 36 E ayat 1. Pokok gugatan terkait dengan masuknya ternak ruminansia indukan, ternak, dan produk ternak ke Indonesia dari suatu negara atau zona dalam negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditentukan. Bagi penggugat, beleid "berbasis zona" ini berprinsip keamanan yang minim, mengancam kesehatan ternak, memperluas impor, menekan peternak lokal, dan tak bebas dari penyakit menular hewan.

Pendekatan berbasis zona di Undang-Undang Peternakan itu merupakan hasil "perselingkuhan" DPR dan pemerintah. Disulut oleh hubungan panas-dingin Indonesia-Australia pada 2011-2013, termasuk ancaman penghentian ekspor sapi Australia ke Indonesia, DPR mengesahkan undang-undang tersebut pada 2014.

Undang-Undang Peternakan ini merupakan hasil revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009. Pada versi awal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 ini menganut pendekatan "berbasis zona", yang tertuang dalam pasal 59 ayat 2. Lewat uji materi komunitas peternakan, MK mengabulkan gugatan mereka dan isi pasal itu berubah menjadi "berasal dari suatu negara" (berbasis negara) tanpa frasa "atau berasal dari zona suatu negara".

Namun pendekatan "berbasis zona" masuk lagi dalam Undang-Undang Peternakan. Ini menjadi pertanyaan besar. Bukankah putusan MK bersifat final dan mengikat?

Perkara "berbasis negara" atau "berbasis zona" ini sudah muncul sejak Undang-Undang Peternakan masih dalam bentuk rancangan. Pembahasan pasal mengenai hal tersebut termasuk pasal yang paling menyita waktu saat rancangan itu dibahas di parlemen.

Demikian alotnya, para pemangku kepentingan peternakan menyarankan agar masalah ini menjadi bahan kajian akademik. Dalam diskusi panjang, termasuk mendengar laporan hasil Tim Analisa Risiko Independen bentukan pemerintah yang berkunjung ke India, Brasil, dan Argentina, otoritas veteriner merekomendasikan "berbasis negara". Alasannya, Indonesia be/lum memiliki sarana dan prasarana mitigasi bila terjadi wabah penyakit hewan menular, terutama penyakit mulut dan kuku (PMK).

Karena itu, jadi aneh bila DPR dan pemerintah memilih pendekatan "berbasis zona" dalam pemasukan ternak dan produk ternak ke wilayah Indonesia. Sampai sekarang, pemerintah belum bisa memastikan kesiapan Indonesia dalam menghadapi kemungkinan berjangkitnya penyakit hewan menular utama, terutama PMK. Masalah ini diungkap kembali dalam sidang-sidang uji materi kedua sepanjang 2016.

Salah satu yang krusial adalah belum adanya peraturan pemerintah tentang kesehatan hewan nasional dan otoritas veteriner. Peraturan ini jadi penangkal jika terjadi wabah penyakit hewan menular utama. Dengan peraturan itu, negara akan punya dana tanggap darurat. Dengan peraturan itu pula nantinya akan ada otoritas veteriner khusus yang mumpuni dalam menentukan layak-tidaknya hewan ternak atau produk turunannya yang akan masuk ke Indonesia. Jadi, yang punya otoritas dan kompetensi bukan menteri, bukan direktur jenderal, juga bukan karantina, melainkan dokter hewan.

Memang benar harga daging dan sapi impor dari negara yang bebas PMK lebih mahal daripada negara yang masih endemik PMK. Namun ini tidak bisa menjadi pembenaran untuk melonggarkan aturan impor ternak, terutama sapi. Jika PMK kembali berjangkit, kerugian ekonomi yang ditimbulkan tak ternilai besarnya. Kerugian ekonomi Indonesia dalam menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986), menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2002), mencapai US$ 1,66 miliar.

Usaha peternakan rakyat merupakan tulang punggung bangsa dalam penyediaan pangan, khususnya protein hewani. Daging sapi domestik berkontribusi sekitar 60 persen dan susu 20 persen terhadap konsumsi nasional. Ayam dan telur sudah mencapai swasembada. Menurut sensus pertanian 2013, 98 persen ternak sapi dikuasai oleh usaha peternakan rakyat di pedesaan.

Data itu menunjukkan subsektor peternakan punya kontribusi besar dalam ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun peternakan rakyat amat rentan, sehingga perlu proteksi. Konsideran Undang-Undang Peternakan menyebutkan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan pengamanan maksimal. Pendekatan "berbasis zona" yang tanpa kesiapan berupa perisai terhadap kemungkinan berjangkitnya penyakit hewan menular utama bukan hanya mengingkari konsideran itu, tapi juga menantang bahaya.

Ikuti tulisan menarik Cak Khudori lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler