x

Puluhan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri melakukan aksi simpati peringatan Hari Pancasila, di depan Istana Negara Jakarta, 1 Juni 2015. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

zuly qodir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Kebangkitan Islamisme

Kultur Islam di Indonesia berbeda dengan yang ditemukan di Timur Tengah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Islam itu masalah iman. Islamisme itu terkait dengan tatanan politik, bukan iman. Islamisme bukanlah semata politik, tetapu politik yang diagamisasikan. Islamisme, adalah contoh paling kuat dari fenomena global fundamentalisme religious" (Bassam Tibi, 2016)

Kutipan dari Bassam Tibi diatas akan saya jadikan pijakan untuk menjelaskan apa yang membedakan antara Islam (Indonesia) dan Islamisme. Kenapa Islamisme itu bukan Islam. Bukan pula kebangkitan Islam, tetapi malahan merekonstruksi kembali Islam yang tidak sesuai dengan warisan sejarahnya.Islamisme merupakan upaya dari tradisi yang dibuat-buat, demikian kata Eric Hobsbawn.

Aksi damai 411 dan 212 tahun 2016 yang menyita perhatian banyak orang, baik dalam maupun luar memberikan banyak pelajaran pada kita, terutama kalangan Islam Indonesia. Aksi damai tersebut dapat dibaca dalam banyak perspektif. Namun yang pasti kita bisa pula membacanya sebagai bagian dari kebangkitan Islam politik, selain fenomena populisme Islam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam tulisan ini saya akan membacanya dalam konteks kebangkitan Islam politik di Indonesia. Bagaimanakah kelanjutannya jika benar terjadi kebangkitan Islam politik, akankah seperti diramalkan Bassam Tibi, sebagai fenomena fundamentalisme Islam?

 

Islam Indonesia

Sebagai warga negara Indonesia yang menganut Islam sebagai agama terbesar, tidak heran jika ekspresi politik di Indonesia diwarnai oleh ekspresi keislaman. Sebut saja partai politik berlebelkan Islam. Perbankan syariah (BNI Syariah, Mandiri Syariah, dan Danamon Syariah). Bahkan belakangan muncul sebagai fenomena actual adalah Ojek syariah dan Hotel syariah. Ini semua ekspresi keislaman simbolik.

Orang luar yang tidak beragama Islam heran, kenapa bisa di sebuah negara yang tidak berdasarkan pada agama tertentu (agama Islam), tetapi fenomena keislaman demikian semarak di Indonesia. Negara juga tidak melarang ekspresi keislaman tersebut. Bukankah negara adalah wilayah public, sementara Islam adalah wilayah privat?

Itulah hal yang seringkali kurang dipahami oleh para penduduk asing yang tidak beragama Islam. Indonesia itu memiliki kultur keagamaan (khususnya keislaman) yang kuat dalam kehidupan kenegaraan-pemerintahan. Indonesia merupakan negara dengan kultur Islam yang sangat diakomodir oleh negara (pemerintah), karena itu tidak mungkin akan dihapus atau dilarang oleh para penguasa. Berbagai atribut keislaman boleh berkembang di ruang-ruang public-pemerintahan.

Hal yang juga menarik dari Islam Indonesia adalah Islam yang mampu beradaptasi dengan kultur Indonesia. Kultur yang toleran, moderat, inklusif serta gotong royong. Itu semua merupakan kultur Islam yang agak sulit kita temukan dalam kultur Islam di negera-negara Timur Tengah. Kultur Islam Timur Tengah lebih dekat dengan monolitik, baik dalam politik maupun kultur. Sementara di Indonesia Islam itu serba pluralistic dan multikultur.

Pendeknya, Islam di Indonesia itu merupakan Islam yang mampu beradaptasi dengan perobahan zaman, dan perkembangan teknologi secara cepat. Islam Indonesia merupakan Islam yang mampu beradaptasi dengan kebudayaan local, kebudayaan daerah, dan kebudayaan nusantara. Berbeda dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah bahkan di Eropa. Inilah yang bisa kita sebut sebagai Islam Indonesia.

Islam Indonesia secara otentik tidak mendorong berdirinya negara Islam. Tidak pula mendorong adanya perobahan system demokrasi menjadi system kekhilafahan. Islam Indonesia juga tidak medorong terjadinya perobahan system politik terbuka, melalui Pemilu dengan penetapan Ahlu khali wal aqdi. Islam Indonesia itu lebih bernilai etika politik, universal, dan tidak mengharuskan tatanan politik berlebel ke-Tuhan-an.

 

Kebangkitan Islamisme

Islamisme merupakan varian dari otoritarianisme gaya baru. Politik agama islamisme dipercaya banyak orang tidak akan memberikan jalan selanjutnya bagi peradaban Islam yang ada dimasa krisis. Islamisme akan membawa masyarakat Islam pada pendulum rezim politik yang menganut ideology otoritarinisme. (Bassam Tibi, 2016)

Jika demikian adanya apakah kita sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar akan membawa masyarakat Islam menjadi masyarakat yang berada dalam "genggaman rezim" otoriter? Tentu kita tidak rela, jika bangsa ini dengan kultur Islam yang telah saya kemukakan sebagai islam rahmatan lil alamin kemudian jatuh kepangkuan rezim Islamisme yang otoriter.

Kita juga tentu tidak rela jika bangsa ini "jatuh pada pangkuan" rezim anti agama (anti Islam) sebagai sebuah ekspresi keagamaan dan kebudayaan. Kita berharap bahwa siapa pun yang menjadi penguasa di negeri dengan penduduk muslim terbesar di bumi adalah rezim yang tidak otoriter, dictator, fasis, dan anti Islam. Semua kita tentu sepakat dengan hal ini.

Oleh sebab itu, bangsa ini harus benar-benar dipimpin oleh mereka yang memiliki denyut nadi yang sama dengan denyut rakyatnya. Rakyat denyut nadinya hanya satu yakni mendapatkan kesejahteraan, mendapatkan keadilan hukum, ekonomi, pendidikan dan politik. Rakyat tidak butuh janji politik yang muluk-muluk, tetapi tidak dilaksanakan dengan seksama.

Rezim otoriter tentu akan menghambat pertumbuhan demokrasi yang sedang bersemai di Indonesia. Tetapi, demokrasi yang seringkali ditelikung oleh para politisi kurang bermorak bijak juga membahayakan, sebab rakyat dapat melakukan perlawanan yang tidak ada ampun pada para politisi dan penguasa. Penguasa dan politisi semacam itu dihukum oleh rakyat sebagai penguasa dan politisi dhalim, menganiaya dan tiranik.

Disinilah kita perlu dengan hati yang jernih, pikiran yang waras, bijaksana dan cerdas untuk merumuskan dan terus memikirkan masa depan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam, tetapi telah sepakat tidak menjadikan Islam sebagai agama tunggal dan sebagai dasar negara.

Tetapi jika para politikus dan negara tidak memiliki kepekaan perasaan, atas ekspresi politik umat Islam yang demikian beragam, bukan tidak mungkin gagasan keinginan adanya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, atau Indonesia dengan kekhilafan bakal menjadi arus utama dalam politik Indonesia kontemporer. Jika hal ini terjadi maka kecelakaan sejarah bahwa Islamisme yang berbahaya karena cenderung otoriter menjadi kenyataan di sebuah negara dengan kultur Islam yang berbeda dengan Timur Tengah. Kita perlu membaca kebangkitan Islamisme di belahan negara Timur Tengah yang menghadapi perlawanan rakyatnya karena otoriter dan mendikte rakyatnya.

Solusi yang hendak diambil untuk merespons krisis ekonomi, peradaban dan kemanusiaan dari Islam tentu sebuah terobosan yang sangat penting diapresiasi. Tetapi, terobosan yang diambil untuk menjadikan Islam sebagai idologi politik syariah, merupakan solusi yang sejatinya akan mengarah pada politik pemerintahan otoriter. Hal ini tentu tidak boleh terjadi di Indonesia. Kebangkitan Islamisme menjadi persoalan politik Timur Tengah yang tidak perlu ditransformasikan ke Indonesia. Hal ini karena kultur Islam Indonesia berbeda dengan kultur Islam Timur Tengah. Inilah yang kita sebut Satu Islam banyak wajah. Kita harus sepakat bahwa Islamisme bukanlah wajah Islam Indonesia.

Oleh: Zuly Qodir

Sosiolog, Direktur Sekolah Politik Dan Kemanusiaan (Ahmad Syafii Maarif) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Ikuti tulisan menarik zuly qodir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler