x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kegembiraan Kecil, Buku Itu Akhirnya Pulang

Seloroh penggemar baca buku: “Meminjamkan buku itu bodoh, lebih bodoh lagi mengembalikan buku pinjaman.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Meminjamkan buku itu bodoh, lebih bodoh lagi mengembalikan buku pinjaman.” Jangan terlampau menganggap serius kata-kata ini. Ini sekedar gurauan yang pernah saya dengar beberapa tahun silam di antara penggemar baca buku. Walau gurauan, kata-kata ini juga pengingat—intinya, berhati-hatilah dalam meminjamkan buku kepada orang lain, sebab mungkin saja buku itu tidak kembali.

Bukan berprasangka buruk, melainkan begitulah kelaziman yang kerap terjadi, terlebih lagi jika buku itu menarik, langka, atau mahal, sehingga tidak mudah bagi setiap orang untuk memilikinya. Tentu saja, meminjamkan buku itu baik, tapi kerap terjadi kebaikan itu berbalas dengan ‘wah, belum selesai baca’, ‘waduh lupa, nanti ya saya bawakan,’ dan seterusnya. Karena meminjamkan buku itu perbuatan baik, yang bisa saya lakukan hanya berdoa dan berharap buku yang dipinjam dapat kembali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenyataannya, tidak semua buku saya yang dipinjam teman-teman dikembalikan. Bahkan hingga beberapa tahun. Dulu, ketika belum punya komputer, saya mencatatnya di secarik kertas, yang karena teledor kemudian terselip entah dimana. Setelah beberapa waktu, saya masih ingat betul beberapa judul buku yang dipinjam, sayangnya sebagian lagi lupa. Sungguh, ini repot, sebab koleksi buku saya berkurang, padahal beberapa di antaranya susah didapat atau saya bisa membelinya setelah menabung.

Saya kerap berpikir (sambil lalu), mengapa ada yang meminjam buku hingga setahun belum juga dikembalikan? Jika satu hari, ia membaca satu halaman saja, sebuah buku setebal 350 halaman pasti sudah selesai dibaca. Nyatanya, ada saja yang berkelit, “Sebentar ya, saya lagi pakai buat rujukan menulis.” Saya lantas berpikir, “Berapa halaman tulisan yang sedang ia kerjakan hingga buku saya dipinjam satu tahun lamanya?”

Begitulah, para peminjam buku kadang-kadang bersikap tidak rasional, mencari-cari alasan untuk tidak segera mengembalikan buku pinjaman. Atau ia mengulur-ulur waktu hingga saya lupa dan dia tidak perlu mengembalikan buku pinjaman (Peminjam buku tipe ini mengikuti benar nasihat di awal tulisan ini: “Lebih bodoh lagi mengembalikan buku pinjaman"). Ini sangat mungkin terjadi, sebab saya tidak ingat semua buku yang dipinjam.

Para peminjam yang memang gemar membaca buku sebenarnya tahu betul bahwa setiap buku yang dikoleksi punya arti penting. Mungkin dari isinya, temanya, penulisnya—dulu tidak mudah mendapatkan novel karya Budi Darma yang asyik itu (dan saya kehilangan Orang-orang Bloomington; tapi saya juga beruntung menemukan kumpulan puisi W.S. Rendra, Sajak-sajak Sepatu Tua, baru-baru ini), kelangkaannya, ataupun cerita kecil bagaimana saya memperoleh buku tertentu (misalnya, saya mengenal sajak penyair Robert Frost ketika jalan-jalan di pasar loak kaki lima Jalan Tunjungan, Surabaya).

Di antara buku-buku koleksi yang dipinjam teman-teman itu, sebagian akhirnya memang kembali. Namun yang paling mengagetkan ialah kembalinya buku karya almarhum Haryoto Kunto, yang dulu dijuluki ‘kuncen Bandung’. Saya tidak ingat bila buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe ini dipinjam. Isinya merekam jejak-jejak historis kota Bandung dengan gambar-gambar bangunan kuno yang arsitekturnya tetap menawan.

Ketika akhirnya buku itu kembali, saya menikmati kegembiraan kecil, sebab buku itu ternyata dirapikan oleh peminjamnya, jilidnya diperbaiki, dan tak kalah penting—hasil fotokopiannya tidak luntur. Maklum, ini bukan buku asli, melainkan buku fotokopian yang saya beli di Pasar Palasari (saya tidak menemukan buku aslinya ketika itu, cetakan pertama tahun 1984). Bagi saya, peminjam buku seperti ini sungguh menghargai buku yang ia pinjam (bahkan saya waktu itu membiarkan sampulnya lepas).

Kembalinya buku-buku koleksi selalu memberi kegembiraan kepada saya. Meskipun saya sudah membacanya, membuka kembali halaman-halamannya seperti mentautkan kembali relasi pembaca-buku yang pernah ada. Sering kali saya mendapat pencerahan kembali, setidaknya menyerap semangat lagi dari buku-buku koleksi. Setelah lama sebuah buku pergi, kembalinya merupakan kegembiraan kecil: “Saya bisa memegangnya kembali, mencium aromanya, dan merasakan pergulatan pikiran dan batin penulisnya ketika menyusun karya mereka.” (Sumber foto ilustrasi: guardian.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB