x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manuver SBY Malah Jadi Senjata Makan Tuan

Isu penyadapan yang dihembuskan SBY, semakin mempertegas waktak dan karakter Presiden RI keenam ini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menyimak berita tentang Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, belakangan ini, bahkan jauh hari setelah lengser keprabon, seringkali menimbulkan tandatanya besar dalam benak. Betapa tidak, sikap dan pernyataannya begitu kental dengan kontroversi.

Seperti yang terjadi sekarang ini. Berawal di pengadilan, dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok. Saat itu, tim pengacara Ahok mengaku memiliki bukti soal komunikasi antara SBY dan Ketua Umum MUI, Ma’ruf Amin yang dihadirkan sebagai saksi.

"Apakah pada hari Kamis, sebelum bertemu paslon (pasangan calon) nomor satu pada hari Jumat, ada telepon dari Pak SBY pukul 10.16 WIB yang menyatakan, pertama, mohon diatur pertemuan dengan Agus dan Sylvi bisa diterima di kantor PBNU. Kedua, minta segera dikeluarkan fatwa tentang penistaan agama?" tanya Humprey Djemat, salah satu pengacara Ahok kepada Ma’ruf Amin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sontak SBY pun bereaksi. Pernyataan tim pengacara Ahok tersebut menimbulkan dugaan adanya penyadapan percakapan antara SBY dengan Ma’ruf Amin. Ia meminta aparat penegak hukum dan Presiden Jokowi bersikap dengan masalah itu. Bagaimanapun, cetusnya, tindakan penyadapan tanpa adanya izin pengadilan sebagai tindakan ilegal dan kejahatan serius.

Menilik reaksi SBY, publik melihatnya seperti seorang kakek yang kebakaran jenggot saja tampaknya. Presiden keenam itu sama sekali tidak tabayyun, atawa mengklarifikasinya kepada pihak yang mulai melemparkan permasalahannya, yaitu Ahok dan tim pengacaranya. SBY malah langsung bicara di depan publik. Berseru kepada Polri, Kejaksaan, dan Presiden supaya segera mengambil tindakan.

Bahkan jauh berbeda dengan reaksinya tempo hari saat beredar isu penyadapan yang dilakukan pihak intelejen Australia.

Bagaimanapun sikap SBY yang seperti itu, selain justru menimbulkan kegaduhan, publik pun menilai kalau Ketua Umum Partai Demokrat ini seolah-olah sedang menelanjangi dirinya sendiri lagi. Watak dan karakter seorang SBY yang sesungguhnya itu semakin tampak jelas, ya seperti begitulah.

Begitulah  memang sikap SBY dalam menyikapi sesuatu permasalahan. Tidak saja masalah yang menyangkut pribadinya, melainkan juga jika berpendapat terhadap persoalan yang timbul di negeri ini secara umum. Kalau tidak merasa prihatin dan sedang teraniaya, maka kadangkala diapun bersikap menggurui, seolah menunjukkan dirinya sebagai salah seorang Presiden yang bisa terpilih dalam dua periode.

Sehingga sudah tak aneh lagi dengan celetukan orang yang mengatakan SBY tampak begitu sensitif, dan galau, bak seorang wanita yang akan memasuki masa menopause saja layaknya.  Tidak menutup kemungkinan bagi orang yang memiliki perasaan mudah jatuh kasihan, tanpa reserve lagi akan mudah pula untuk bersimpati melihatnya.

Apabila kita membuka kembali catatan lama, bagaimana SBY mampu merebut dukungan suara terbanyak di Pilpres 2004 lalu, salah satu faktor yang menguntungkannya adalah karena banyak rakyat yang merasa simpati terhadapnya. Kita ingat, ketika itu SBY menjadi media darling, dan dianggap sebagai sosok yang teraniaya karena perlakuan Megawati. Sebagai Presiden yang sedang berkuasa, sementara SBY sendiri sebagai punggawa dalam kabinet yang dipimpin putri Bung Karno itu, SBY dianggap sebagai anak buah yang tidak setia, bahkan menusuk dari belakang, karena ketahuan akan ikut bertarung dalam Pilpres 2004, sekaligus akan jadi pesaingnya. Maka Megawati pun dengan kekuasaannya, seakan mempersempit ruang gerak SBY. Dan karena itu pula Megawati dianggap publik sedang membuat SBY teraniaya.

Sebagaimana watak bangsa Indonesia pada umumnya, mudah bersimpati terhadap hal yang berbau ketidakadilan, mudah jatuh kasihan terhadap korban kesewenang-wenangan, maka dalam kasus yang terjadi pada SBY saat itu pun berlaku juga. Megawati dikalahkan, dan SBY mendapat suara terbanyak di antara para kontestan Pilpres 2004.

Sehingga saat ini pun publik banyak menarik kesimpulan, sikap SBY yang seperti sedang galau gundah-gulana, karena prihatin dengan fitnah yang menimpa dirinya, termasuk dengan perasaan ada pihak yang telah menerobos ruang privasinya, dengan menyadap telponnya, adalah salah satu trik Presiden keenam ini yang sedang mencoba untuk menarik simpati khalayak. Atawa paling tidak, mungkin juga sedang melakukan uji kasus, apakah masih seperti 2004 dan 2009  -  masih banyak rakyat yang bersimpati pada dirinya.

Entahlah. Masalah itu pun perlu dikaji ulang kembali. Atawa paling tidak ada survey yang obyektif untuk mengetahuinya secara gamblang dan jelas.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa pula motivasi  SBY bersikap demikian. Bukankah suatu hal yang mustahil kalau dirinya hendak ikut bertarung kembali di Pilpres 2019, sebagai calon Presiden, karena peraturan perundang-undangan terkait hal itu sudah jelas tidak memperbolehkannya. Kecuali mungkin saja kalau duduk sebagai calon wakil Presiden misalnya (apa mau mantan Presiden jadi calon wakil Presiden?), atawa mengusung sanak keluarga, istri atau anaknya, itu lain pula persoalannya.

Jika dugaan itu benar adanya, maka tak salah lagi seorang SBY itu termasuk orang yang haus kekuasaan. Seperti bunyi pepatah lama, semakin banyak meminum air laut, maka kian haus jadinya seakan berlaku pada sosok yang satu ini. Sebagaimana analisa banyak orang, bahkan dengan diusungnya AHY sebagai cagub dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ini, semata-mata hanyalah sebagai batu loncatan untuk digadang-gadang dalam pertarungan Pilpres 2019 mendatang.

Hanya saja dengan cara melempar isu hoax, penistaan, juga penyadapan yang populer sekarang ini, publik bukannya merasa simpati seperti dahulu lagi. Justru sebaliknya, publik malah mencemooh, mentertawakannya. Tak sedikit pula yang mem-bully-nya. Malahan tak berlebihan jika ada orang yang menganggapnya sedang terkena fobia. Ada juga orang yang mengira SBY terkena post-power syndrome, atawa yang lebih lugas lagi mengatakan memang dia itu orangnya lebay.

Bagaimanapun  situasi dan kondisi saat ini, jauh berbeda dengan 2004 lalu memang. Mata publik bisa jadi sudah mampu membedakan antara kebenaran sejati dengan kepalsuan yang dibalut kebenaran. Sehingga mereka tak gampang untuk dibohongi lagi. Salah satu faktanya, perolehan suara partai besutannya, partai Demokrat, pada Pemilu 2014 lalu tidak signifikan lagi, alias tergilas oleh partai pendatang baru. ***

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB