x

Iklan

Wendie Razif Soetikno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PLT Gubernur DKI Jakarta Ikut Mengeruhkan Pilkada DKI

Plt Gubernur DKI langgar UU No.30 Tahun 2014 & PP No.18 Tahun 2016 : Plt Gubernur memiliki kewenangan terbatas : mengawal administrasi rutin pemerintahan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Plt Gubernur DKI Jakarta : Dr Sumarsono nampak sangat yakin bahwa Ahok akan divonis bersalah sehingga tak dapat melanjutkan pencalonannya lagi, lupa pada putusan MK No.71/PUU-XIV/2016 yang mengijinkan terpidana Gubernur petahana Prov Gorontalo : Rusli Habibie untuk maju lagi dalam Pilkada Gubernur Gorontalo

Berdasar asumsi bahwa Ahok akan berhasil dihentikan, maka Plt Gubernur DKI Jakarta malah berani melanggar ketentuan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara dan PP No.18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.  Dalam UU dan PP ini dinyatakan bahwa Plt Gubernur memiliki kewenangan terbatas : mengawal administrasi rutin pemerintahan tanpa memasuki wilayah kebijakan strategis. 

Plt Gubernur DKI Jakarta bahkan mengubah program-program pro rakyat yang telah dicanangkan Ahok, karena tampaknya tak ada komitmen untuk mempertahankan kebijakan  selama ini yang terbukti berhasil dan bermanfaat bagi publik (“Publik Butuh Ide Konkrit”,  Kompas, Jumat 27 Januari 2017 halaman 31 alinea 2). 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perijinan, salah satu indikator pelayanan publik, juga dinilai lebih baik. Perbaikan perijinan di DKI berkontribusi mendongkrak peringkat Indeks Kemudahan Berbisnis di Indonesia dari peringkat ke-106 pada tahun 2015 menjadi peringkat ke-91 tahun 2016 (“Publik Butuh Ide Konkrit”,  Kompas, Jumat 27 Januari 2017 halaman 31 alinea 6).

Orang sering terjebak untuk mempersoalkan pemecatan dan tindakan yang dianggap sewenang-wenang dari Ahok hingga dianggap gagal dalam mereformasi birokrasi.  Padahal Plt Gubernur DKI Jakarta juga melakukan hal yang sama, yaitu mencopot Kepala Seksi Kebersihan Kelurahan Pondok Labu Jakarta Selatan karena terlibat pungli dan suap (“Kasi Kebersihan Dicopot”, Kompas, Rabu, 25 Januari 2017 halaman 27).  Bukankah di masa lalu, pungli dan suap sudah menjadi rahasia umum di DKI ? Lalu kalau Ahok berhasil menertibkannya, kenapa sekarang muncul lagi di masa cuti Gubernur petahana?

            Beberapa tindakan Plt Gubernur DKI yang sebenarnya patut dipertanyakan adalah :

a. Plt Gubernur DKI Jakarta  menskorsing Pegawai Harian Lepas (PHL) kebersihan di Johar Baru hanya karena mereka berfoto di bawah spanduk salah satu Paslon. Mestinya Plt Gubernur DKI Jakarta cukup melaporkan kejadian itu ke Panwaslu DKI Jakarta. Karena menurut UU Pemilu, hanya Panwaslu yang berhak menegur dan menindak pelanggaran Pemilu (Pilkada). Dengan demikian, yang justru harus ditegur adalah Paslon yang memasang spanduk di sembarang tempat (bukan dipasang oleh KPUD DKI di tempat yang ditentukan oleh KPUD DKI) dan sampai hari ini pemasangan spanduk di sembarang tempat itu masih terus terjadi tanpa sanksi apapun juga

b. Kalau hal di atas ditambah dengan Pemberhentian banyak Pegawai Harian Lepas (PHL) kebersihan dengan pemberlakuan tes yang belum pernah dilakukan sebelumnya, maka jelas mereka yang anti Ahok mempunyai peluru untuk mempermasalahkan makin kotornya Jakarta akhir-akhir ini (bukan mendidik penduduk agar jangan membuang sampah sembarangan atau membuang limbah di sungai karena terlarang (lihat ketentuan Pasal 20 ayat 2 juncto Pasal 24 UU No.7 Tahun 2004 dan Pasal 27 ayat 1 butir d PP No.38 Tahun 2011)

c. Partisipasi publik dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga sering dipersoalkan. Padahal partisipasi publik lewat Aplikasi Qlue itu justru dibatalkan oleh Plt Gubernur DKI Jakarta, tapi yang diserang adalah Paslon 2.  Banyak pihak tidak jeli melihat bahwa selama ini warga belum melek aturan tata ruang (“Publik Butuh Ide Konkrit”,  Kompas, Jumat 27 Januari 2017 halaman 31 alinea 12)

Kesalahan Plt Gubernur DKI Jakarta ini luput dari debat dan perhatian publik karena masa cuti Gubernur DKI petahana yang cukup lama (3 bulan).  Masa cuti yang lama ini ternyata dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk membatalkan program-program yang pro rakyat di DKI, sekedar supaya Gubernur petahana tidak dapat menunjukkan kinerjanya

Program-program pro rakyat yang dibatalkan itu antara lain :

1. Penghapusan perhentian bus Trans Jakarta rute Cawang – Depok di halte busway Cibubur Junction tanpa memperhitungkan ketidak amanan dan ketidak nyamanan penduduk di sekitar Cibubur yang terpaksa menggunakan angkot K-56 untuk menuju Cawang.  Kalau alasan penghapusan ini hanya karena adanya irisan persinggungan antar operator moda angkutan jalan raya, maka irisan persinggungan itu juga terjadi dimana-mana, seperti angkot M-01 dengan bus Trans Jakarta rute Kampung Melayu-Ancol dan Bus Trans Jakarta rute PGC – Harmoni, dll.  Apakah kemudian perhentian busway di banyak tempat juga akan dihapus hanya karena tuntutan demo jalanan? Alasan penghapusan perhentian itu melupakan aspek mendesaknya ketersediaan transportasi publik yang  yang murah, cepat dan aman serta nyaman.  Dengan kata lain, Plt Gubernur DKI sama sekali tidak mengerti dan tidak mau tahu : untuk apa bus Trans Jakarta itu dulu digagas dan dioperasikan, yang sekarang direplikasi di banyak kota.

2. Pembatalan secara mendadak tanpa alasan yang jelas, pentas seni di sepanjang Jl.Thamrin-Sudirman pada Malam Tahun Baru.  Padahal perayaan pergantian tahun sudah menjadi tradisi yang sifatnya universal, lintas iman dan lintas suku bangsa.  Apalagi sejak Arab Saudi mengganti kalendernya, dari kalender Hijriah (kalender bulan) menjadi kalender Masehi (kalender matahari), artinya peryaan Tahun Baru menjadi tidak asing lagi bagi kaum Wahabi. (https://m.tempo.co/read/news/2016/10/03/115809147/arab-saudi-ganti-kalender-hijriah-jadi-kalender-barat )   Maka perayaan Tahun Baru merupakan salah satu bukti bahwa dunia ini telah menjadi satu desa (global village).  Jadi perayaan Tahun Baru tidak ada kaitannya dengan kegiatan agama tertentu karena merupakan ungkapan perwujudan dari kebersamaan dan saling ketergantungan satu sama lain dalam satu desa dunia, untuk  menepis sikap egoisme dan individualis dalam masyarakat metropolitan.

Oleh sebab itu, pembatalan secara mendadak pentas seni dalam rangka perayaan Tahun Baru di sepanjang Jl.Thamrin – Sudirman, padahal bus Trans Jakarta dan Commuter Line KA Jabodetabek  sudah membuka layanan 24 jam, menunjukkan ketidak pekaan Plt Gubernur DKI akan tradisi untuk merayakan kebersamaan dan merapatkan ikatan sosial antar warga dimana warga dapat duduk bersama tanpa memandang status sosial dan latar belakang ideologisnya di kota metropolitan ini.  Pesta rakyat itu sesungguhnya ditujukan untuk merajut kohesi sosial yang difasilitasi oleh Pemprov DKIHal ini merupakan tradisi bentuk imbal balik Pemprov DKI terhadap rakyatnya sebagai pembayar pajak dan pelanggan BUMD.  Suatu bentuk solidaritas yang menyatakan bahwa Pemprov DKI tidak bisa hidup tanpa dukungan rakyatnya.

Pembatalan pentas seni di sepanjang Jl.Thamrin-Sudirman juga mempertontonkan kepada publik : pelanggaran aturan lalu lintas yang difasilitasi pejabat publik yaitu sepeda motor yang seharusnya dilarang melintas di Jl.Thamrin pada pk.06.00 – 23.00, ternyata diijinkan bebas berseliweran pada jam-jam terlarang itu hingga mengganggu pejalan kaki dan menimbulkan polusi di sepanjang Jl.Thamrin. Penegakan hukum (law enforcement) sudah mulai diabaikan dari jantung pemerintahan DKI sendiri.

3. Pencairan dana untuk Bamus Betawi diiringi dengan pemberian dana untuk crew film Lenong Betawi, padahal Jakarta adalah kota metropolitan sejak awal. Daerah Jayakarta atau Batavia sejak awal adalah plural. Banyak tokoh Betawi bukan orang Betawi asli, misalnya Bang Ali (Gubernur Ali Sadikin) adalah orang Sunda atau Raden Saleh adalah orang Jawa ningrat. Bahkan pahlawan nasional dari Betawi : M.H Thamrin adalah keturunan Belanda karena  ayahnya (Tabri Thamrin) adalah keturunan Belanda.

Maka pencairan dana untuk Bamus Betawi seharusnya diiringi juga dengan pencairan dana untuk Keroncong Toegoe, sandiwara Mis Tjitjih atau Wayang Orang Bharata dan Wayang Potehi.  Kalau hal itu tidak dilakukan, maka Plt Gubernur DKI secara sengaja telah melanggar azas kebhinekaan dengan memberlakukan azas primordialisme dan sektarian di ibu kota negara.

4. Anehnya, Plt Gubernur DKI justru menyelenggarakan rapat dinas di kereta api mewah pada tanggal 13-14 Januari 2017.  Sesuatu terobosan pengabaian e-budgeting yang tidak pernah dilakukan oleh Gubernur2 DKI sebelumnya karena tidak tercantum dalam APBD 2016 dan APBD 2017 hingga seharusnya dikoreksi oleh Bappeda dan DPRD DKI. Alasan Plt Gubernur DKI bahwa para pejabat DKI itu membayar sendiri biaya rapat dinas di kereta api mewah itu sungguh-sungguh diluar nalar. Rapat dinas tetapi pegawai justru harus membayar sendiri biaya perjalanan dinasnya adalah alasan yang justru merusak prinsip-prinsip good governance yang digariskan dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009. Plt Gubernur DKI rupanya ingin mempertontonkan kepada publik bahwa dia bisa melakukan apa saja.  Lalu kenapa dia mengkritik Gubernur petahana?

5. Penghapusan kewajiban pelaporan kondisi lingkungan di sekitar RT/RW secara real time melalui aplikasi Qlue, mengabaikan azas demokrasi partisipatif yang diusung oleh penerapan aplikasi Qlue.  Akibatnya, masalah yang terjadi di RT/RW (seperti adanya transaksi narkoba atau KDRT) tidak dapat cepat ditanggapi.  Azas keterbukaan dan akuntabilitas serta aspek pelayanan publik dalam era aplikasi online ini menjadi tidak terukur.  Alasan Plt Gubernur DKI bahwa pengangkatan pengurus RT/RW adalah berdasar ketokohan merupakan alasan yang mengukuhkan pandangan bahwa pengurus RT/RW adalah orang yang harus dilayani bukan melayani rakyat. Paradigma Orde Baru ini sungguh-sungguh melanggar 10 prinsip good governance sebagai buah dari reformasi. Kita kembali ke paradigma laporan ABS (Asal Bapak Senang).  Penghapusan kewajiban lapor ini mematikan partisipasi publik dalam membuat Jakarta menjadi lebih baik.  Juga menjauhkan cita-cita untuk menjadikan Jakarta sebagai  Jakarta Smart City.

6. Plt Gubernur DKI juga abai pada UU Lalu Lintas. Menunda-nunda kewajiban kir bagi taksi aplikasi dan meniadakan kewajiban memiliki pool kendaraan bagi taksi aplikasi sehingga mematikan banyak taksi konvensional.  

Pemprov DKI kehilangan salah satu sumber pajaknya dan meningkatkan pengangguran di ibu kota.  Karena taksi konvensional harus memenuhi berbagai ketentuan dalam UU Lalu Lintas, sedangkan taksi aplikasi sebagai angkutan umum dibiarkan melanggar UU Lintas Lintas secara resmi.

7. Pembatalan lelang dini senilai lebih dari Rp 4 trilyun untuk pembangunan rusunawa dan perluasan RS Tarakan. Anehnya, Plt Gubernur DKI justru meresmikan fasilitas terbaru RSUD Tarakan di minggu ketiga Januari 2017 lalu, padahal beliau tidak setuju lelang dini perluasan RSUD Tarakan. Nampaknya pembatalan lelang dini disengaja agar layanan KJS (Kartu Jakarta Sehat) terganggu dan penataan tepi barat waduk Pluit, penataan Kali Krukut dan penataan Ciliwung terhenti.

Plt Gubernur DKI nampaknya tidak melihat ketentuan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No.38 Tahun 2011 dimana disebutkan dalam Pasal 3 PP No.38 Tahun 2011 bahwa sungai adalah kekayaan Negara dan dikuasai oleh Negara, serta penertiban bantaran sungai itu diperintahkan dalam pasal 17 ayat 1 PP No.38 Tahun 2011.  Lalu korban penertiban itu akan ditempatkan dimana ? Pembatalan lelang dini dapat berujung pada tetap banjirnya Jakarta dan terhambatnya perluasan stasiun Kereta Api Terpadu Manggarai yang dikelilingi perumahan kumuh di bantaran sungai yang merupakan tanah negara. Apakah hal ini disengaja agar KA Cepat Manggarai - bandara Sutta terhambat?

8. Anehnya, Plt Gubernur DKI di Balai Kota (Senin 23 Januari 2017) mengakui bahwa “upaya normalisasi Kali Krukut sudah sangat mendesak. Kondisi Kali Krukut saat ini menyedihkan .  Dari (lebar) trase ideal 20 meter, saat ini lebarnya 2-3 meter. Terjadi penyempitan”. (“KRUKUT TERKENDALA ANGGARAN”, Kompas, Selasa 24 Januari 2017 halaman 28)

Rupanya Plt Gubernur DKI tidak memahami ketentuan Pasal 3 PP No.38 Tahun 2011 bahwa sungai adalah kekayaan Negara dan dikuasai oleh Negara, serta penertiban bantaran sungai itu diperintahkan dalam Pasal 17 ayat 1 PP No.38 Tahun 2011 sehingga lelang dini pembangunan rusunawa itu seharusnya tidak boleh dihentikan.  Bukankah beliau sendiri yang mengatakan bahwa “upaya normalisasi Kali Krukut itu sudah sangat mendesak”?  Kemana korban penertiban bantaran Kali Krukut akan ditempatkan? BPN/Agraria seharusnya tidak boleh menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) di tanah bantaran sungai dan pembebasan lahan di bantaran sungai seharusnya tidak berharga mahal.

Kalau Plt Gubernur DKI hanya mengumumkan bahwa biaya pembebasan lahan di bantaran sungai (bahkan ada yang di tebing sungai) sangat mahal, tapi tidak memberi solusi apa-apa. Lalu untuk apa Presiden SBY mengeluarkan PP No.38 Tahun 2011 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 27 Juli 2011?  Kenapa Plt Gubernur DKI mengkritik Gubernur petahana dalam masalah penggusuran yang merupakan perintah dari PP No.38 Tahun 2011?  Hanya supaya dicitrakan populis tapi merusak konservasi sungai ? Jakarta membutuhkan Gubernur yang berani bertindak menegakkan peraturan, bukan sekedar memimpin rapat tanpa solusi.

9. Membatalkan pemberlakuan ERP (electronic road pricing) tanpa solusi sehingga masalah kemacetan tetap akan menjadi masalah kronis di Jakarta, hanya karena Plt Gubernur DKI mendengar saran KPPU.  Padahal KPPU sampai saat ini tidak pernah bersuara dalam persaingan antara toko meracang tradisional dan toko retail modern (Alfamart, Indomart) atau persaingan antara taksi konvensional yang harus mematuhi ketentuan UU Lalu Lintas dan taksi aplikasi yang tidak mematuhi ketentuan kendaraan angkutan umum dalam UU Lalu Lintas.  Proses pembatalan ERP ini juga tidak melalui prosedur resmi tata beracara di KPPU.  Agak aneh bahwa KPPU mencampuri urusan teknis di lingkup Pemda padahal hukum acaranya adalah delik aduan.  Anehnya, Plt Gubernur DKI langsung membatalkan pemberlakuan ERP tanpa alternatif lain sehingga membiarkan dengan sengaja (by design) agar Jakarta tetap macet dan polutif.

10.  Pemberhentian banyak Pegawai Harian Lepas (PHL) kebersihan melalui persyaratan yang tidak pernah ada sebelumnya, tanpa memperdulikan kerja keras mereka, jelas akan membuat Jakarta tetap kotor dan sungai-sungai tetap dipenuhi sampah.  Anehnya DPRD DKI sama sekali tidak peduli dengan nasib rakyat kecil pengabdi kenyamanan warga Jakarta ini.

11. Perubahan design muka ruang masinis Mass Rapit Transport (MRT) tanpa memperhitungkan efek teknologinya (perubahan panjang kereta, perubahan signal dan penghilangan pintu ruang masinis dan pintu depan gerbong pertama) menyebabkan pembengkakan biaya menjadi Rp 17 milyar (karena melanggar isi kontrak kualifikasi dan spesifikasi MRT) :  Nampaknya hal ini ditujukan untuk menunda pelaksanaan MRT, sehingga MRT terancam tidak bisa digunakan menjelang pelaksanaan Asian Games 2018 tahun depan.

12. Meresmikan Terminal Pulo Gebang pada tanggal 28 Desember 2016, padahal terminal sama sekali belum siap.  WC rusak, kantin tidak dilengkapi dengan bak pencuci piring, calo meraja lela karena agen bis hanya dilengkapi dengan meja saja (bukan loket).  Akibatnya sampai awal Februari 2017 ini, terminal belum juga siap digunakan.  Lalu untuk apa tergesa-gesa diresmikan ?

Berbagai tindakan sepihak Plt Gubernur DKI yang berujung pada pembatalan ERP, pemberhentian Pegawai Lepas Harian (PLH) kebersihan dan perubahan design muka ruang masinis MRT ini apakah memang diagendakan untuk tetap membuat Jakarta tetap macet dan banjir?  Apakah memang ditujukan untuk mempermalukan pemerintah pusat dalam persiapan penyelenggaraan Asian Games 2018 tahun depan?    

Tindakan Plt Gubernur DKI yang melanggar UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara dan PP No.18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah telah dimanfaatkan oleh elite-elite lokal untuk kepentingan pragmatis jangka pendek sehingga mengacaukan e-budgeting dan program Jakarta Smart City. 

 

Ikuti tulisan menarik Wendie Razif Soetikno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler