x

Terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Ahok (kanan), meninggalkan ruangan usai menjalani sidang di Kementerian Pertanian, Jakarta, 3 Januari 2017. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Iklan

ilham ds

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Al-Maidah 51: MUI vs Buya Syafii Maarif

Komentar Ahok di Kepulauan Seribu telah membelah ulama dan umat Muslim Indonesia ke dalam dua kubu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komentar Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) di Kepulauan Seribu, yakni “dibohongi pakai Al-Maidah 51 macem-macem...” telah membelah ulama dan umat Muslim Indonesia ke dalam dua kubu. Kubu B (“MUI dkk”) menganggap Ahok telah menghina Al-Quran. Sedangkan kubu A (“Buya Syafii dkk”) menganggap Ahok tidak menghina Al-Quran.

Kubu B (MUI dkk) terdiri dari banyak tokoh, da’i, dan ulama Muslim yang dihormati di negeri ini (KH Ma'ruf Amin, Rizieq Syihab, Aa Gym, Din Syamsuddin, Tengku Zulkarnaen, dll). Pendukung kubu B inilah yang berdemo besar-besaran dalam “Aksi Bela Islam” yang fenomenal di akhir 2016 itu. Mereka mendasarkan diri pada “Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI Terkait Pernyataan Basuki Tjahaya Purnama” yang menilai bahwa ucapan Ahok itu menghina Al-Quran dan ulama: Pendapat dan Sikap Keagamaan Mui Terkait Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama

(Kelompok yang berdemonstrasi ini dikoordinasi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI. Sebenarnya, penamaan kelompok ini tidak cermat. Sebab, terkait Ahok dan Al-Maidah 51 ini, MUI tidak pernah mengeluarkan “Fatwa”, melainkan “Pendapat dan Sikap Keagamaan”. Namun, singkatan “GNPF-MUI” mungkin dianggap lebih elok di telinga ketimbang singkatan “GNP PSK MUI”).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di lain pihak, kubu A pun tak kurang terdiri dari tokoh dan ulama yang disegani di tanah air: siapa meragukan integritas keulamaan Buya Ahmad Syafii Maarif (mantan Ketum PP Muhammadiyah)? Siapa menyangksikan keulamaan mantan Rais Aam PB NU, KH Mustafa Bisri? Prof KH Hamka Haq (penasehat MUI, mantan purek IAIN Alauddin Makassar)? KH Nadirsyah Hosen (profesor hukum Islam di Monash University Australia, putra ketua komisi Fatwa MUI 1980-2000)? 

 

Buya Syafii Maarif bahkan berkomentar keras: “apakah memang terdapat penghinaan terhadap al-Quran [dalam pernyataan Ahok itu—ed.]? Hanya otak sakit sajalah yang berkesimpulan demikian. Apalagi jika sampai menista Langit., jauh dari itu.

Buya bahkan justru mengkritik MUI: “Semua berdasarkan fatwa MUI yang tidak teliti itu. Semestinya lembaga sebagai MUI mestilah menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab…Apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil!”)

KH Mustafa Bisri dalam wawancaranya dengan Majalah TEMPO (edisi 15-22 Januari 2017) berkata begini: “Unsur penistaannya di mana? Jika tindak Basuki dianggap penistaan agama, penganut Islam akan banyak yang kena, sebab orang Islam juga banyak sekali yang menistakan agama lain. Mereka bisa dituntut balik dan bisa menimbulkan aksi saling tuntut. Jadi harus dijelaskan letak unsur penistaannya dan jangan mau dibodohi. Saya curiga, siapa yang pertama kali mencetuskan penistaan agama.”

Sama dengan Buya yang dari Muhammadiyah, kiai kharismatis mantan Rais Aam NU ini justru juga mengkritik lembaga MUI:

::“Bagaimana sistem rekrutmen pengurus? Siapa yang bisa memasukkan seseorang menjadi pengurus? Bila majelisnya adalah ulama, mengapa yang melantik mereka adalah umara (pemerintah)? Apakah umara lebih tinggi dibanding ulama? Statusnya tidak jelas.

...Banyak orang yang  pensiun lalu masuk MUI. Malah sekarang ada orang-orang baru, yang makin tidak jelas. Orang mau jadi pegawai saja harus punya ijazah, apalagi menjadi anggota MUI, yang memberi fatwa ke rakyat Indonesia. Jika ingin berdiri sebagai lembaga fatwa, harus diatur betul siapa saja yang boleh masuk MUI. Kok, tak dilihat dulu calon ini sekolah di mana, paham Al-Qur’an atau tidak, paham ilmu tafsir dan hadis atau tidak.”: [Wawancara Gus Mus: Fatwa Kok Dikawal Dasarnya dari Kitab Apa]

***

Orang-orang awam yang tidak terlalu paham duduk persoalannya mungkin akan dengan mudah memaki-maki kubu A sebagai “Muslim yang tidak peduli jika Al-Quran dihina”, “berani-beraninya mengkritik MUI”, lalu melabeli Buya Syafii Maarif, Gus Mus dkk serta para pendukungnya itu dengan berbagai julukan merendahkan (dan memang itu sudah terjadi).

Tetapi, orang-orang yang “agak tidak awam” dan “lebih dari awam” tentu akan penasaran: bagaimana mungkin tokoh-tokoh sekaliber Buya Syafii Maarif, KH Mustafa Bisri, KH Hamka Haq, KH Nadirsyah Hosen dkk menganggap bahwa komentar Ahok itu bukan penghinaan terhadap Al-Quran? Apa gerangan sebabnya? Bagaimana alur logika pemikiran mereka sehingga sampai pada kesimpulan demikian?

Tulisan berikut ini insya Allah bisa menerangkan duduk persoalannya dengan relatif memuaskan, menjelaskan apa sebabnya kedua kubu itu bisa sampai pada kesimpulan yang bertolak belakang: Membaca Komentar Ahok Tentang QS Al Maidah 51 dengan Perspektif Hermeneutis.

Inti tulisan yang agak panjang itu sebenarnya sederhana saja, sbb (ringkasan saya—ed.):

“Kubu A dan Kubu B masing-masing memiliki pra-anggapan mengenai Al-Maidah 51. Bagi kubu A (Buya Syafii Maarif dkk), QS Al-Maidah 51 tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang umat Muslim memilih pemimpin non-Muslim. Sedangkan bagi kubu B (MUI dkk), QS Al-Maidah 51 adalah dasar yang tegas untuk melarang umat Muslim memilih pemimpin non-Muslim.”

***

Lalu, ini refleksi saya atas tulisan tersebut:

A. Bagi kubu A (Buya Syafii Maarif dkk), QS Al-Maidah 51 tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang umat Muslim memilih pemimpin non-Muslim.

Mantan Mufti Mesir, Syekh Ali Gomaa, membolehkan wakil presiden non-muslim mendampingi presiden yg muslim. Syekh Yusuf Qardhawi juga membolehkan hal serupa.

Almarhum Gus Dur, mantan ketum PBNU sekaligus cucu pendiri NU, bahkan dengan amat bersemangat sekali menjadi juru kampanye Ahok sewaktu Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur Bangka-Belitung (mustahil Gus Dur tidak tahu Al-Maidah 51 kan? Dan, saat Gus Dur berkampanye mendukung Ahok itu, Ahok masih keturunan Cina dan masih beragama Kristen, sama seperti tahun 2017 sekarang :D). Lihat 2 video ini: https://www.youtube.com/watch?v=KpwOqlHZJr4 . dan ini : https://www.youtube.com/watch?v=P9sSAksVZFk

Dalam sejarah kekhalifahan Islam, ada banyak non-Muslim yang ditunjuk khalifah menjadi gubernur dan pejabat di wilayah Muslim. Lihat disini: Logika dan Illat Hukum. PPP Kubu Djan Faridz adalah partai Islam, tapi dalam Pilkada DKI 2017 partai Islam ini mendukung Ahok menjadi gubernur DKI. PKS, sebuah partai Islam lainnya, mengeluarkan fatwa “Boleh Memilih Pemimpin Non-Muslim”.

Apakah para ulama besar dan partai2 Islam itu semuanya tidak tahu Al-Maidah 51?

***

Bagi kubu A (Buya Syafii Maarif dkk), QS Al-Maidah 51 tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang umat Muslim memilih pemimpin non-Muslim karena 2 sebab ini:

(1) awliya’ dalam ayat itu berarti “sekutu”, “afiliasi”, “teman setia”, bukan “pemimpin” (ini sesuai dengan terjemahan Al-Quran Depag versi terbaru yang mengartikan awliya dalam ayat itu sebagai “teman setia”, bukan “pemimpin” sebagaimana tercantum dalam versi terjemahan lama);

Terjemahan Al-Maidah 51 edisi lama Depag RI: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);

Terjemahan Al-Maidah 51 edisi baru Depag RI: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia-(mu);”  

(intermezzo: Lho?? Kok ada perbedaan versi terjemahan Al-Quran Depag RI? Jadi, mana yang benar: “teman setia” atau “pemimpin”? Berikut ini salah satu penjelasannya, oleh Prof KH Nadirsyah Hosen, profesor hukum Islam di Monash Univ Australia; beliau ini putra dari KH Ibrahim Hosen, penggagas dan ketua Komisi Fatwa MUI 1980-2000): Penjelasan Kenapa 'Awliya' Pernah Diterjemahkan 'Pemimpin' di Masa ORBA | by @Nadir_Monash |

(intermezzo lagi: salah memilih terjemahan bisa berakibat fatal. Misal, istilah “wali Allah” [waliyullah] tidak bisa diartikan sebagai “pemimpinnya Allah”, tetapi “teman setia Allah”: manusia yang begitu dekat dengan dan dikasihi Allah).

(2) karena asbabun nuzul (konteks turunnya) ayat Al-Maidah 51 tersebut adalah dalam situasi perang, sehingga tidak berlaku dalam situasi damai. Ini sesuai dengan pernyataan Al-Quran sendiri dalam QS Al-Mumtahanah [60]:1, 8-9, bahwa larangan berteman setia dengan non-Muslim itu hanya berlaku dalam situasi ketika nonMuslim itu memerangi umat Muslim:

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu [tawallau] orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan [yatawallahum], maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS 60: 8-9)

(Catatan: tawallau/yatawallahum [kata kerja] = kamu/dia/mereka menjadikan (mereka) sebagai kawan/teman setia. waliyy [jamak: awliyaa; kata benda] = kawan/teman setia.)

Jadi, larangan berkawan atau berteman-setia dengan nonMuslim (Al-Maidah 51 edisi terjemahan Depag RI terbaru) hanya berlaku jika nonMuslim itu memerangi umat Muslim karena alasan agama dan/atau karena mereka mengusir umat Muslim dari negerinya sendiri. 

Jadi, QS Al-Maidah 51 itu bukan ayat yang berlaku umum dalam setiap situasi, tetapi konteks keberlakuannya dijelaskan dalam QS Al-Mumtahanah [60]:1, 8-9 (yakni, di-takhshish: dikhususkan keberlakuannya hanya dalam konteks tertentu, yakni ketika nonMuslim itu memerangi umat Muslim).

Dalam hal ketika umat Muslim hidup damai berdampingan dengan nonMuslim, Al-Quran justru memuji umat Nasrani yang kenyataannya bisa bersahabat baik penuh cinta kasih dengan umat Muslim:

“Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya [mawaddah] dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani". Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri.” (QS Al-Maidah 5:82)

Perhatikanlah, pujian Allah terhadap umat Nasrani itu dicantumkan dalam Surah Al-Maidah 82, yakni surah yang sama dengan Al-Maidah 51 yang bikin heboh itu. Tetapi, yang lebih sering dikutip justru ayat Al-Maidah yang berkonteks perang (ayat 51), bukan ayat Al-Maidah yang berkonteks damai (Al-Maidah 82).

Pertanyaannya, Indonesia kini sedang dalam keadaan diperangi umat Kristen atau damai-damai saja? Jika Indonesia tidak sedang diperangi umat Kristen, kenapa ayat Al-Maidah 51 yang berkonteks perang itu hendak diterapkan dalam situasi damai ini? Bukankah itu keliru dan menyalahgunakan konteks? Maka, jangan mau ditipu atau dibohongi orang yang menyalahgunakan konteks.

Lalu, perhatikan juga ini: kata “persahabatan [umat Nasrani]” dalam Al-Maidah 82 itu adalah terjemahan dari kata arab “mawaddah” yang berarti hubungan cinta-kasih. Kata “mawaddah” yang sama digunakan Al-Quran untuk menggambarkan hubungan cinta-kasih antara suami-istri: “Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya [litaskunuu ilaiha], dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih [mawaddah] dan sayang [rahmah].” (Al-Quran, QS Ar-Rum 30:21).

Jadi, dalam suasana damai, hubungan persahabatan antara umat Muslim dan umat Nasrani itu bisa begitu dekatnya seperti hubungan mawaddah (cinta kasih) antara suami-istri. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad Saw. dulu pernah memintakan suaka bagi umat Muslim yang disiksa di Makkah kepada Najasyi, seorang Raja Kristen di Ethiopia yang terkenal adil. Raja Kristen yang baik hati dan adil itu pun melindungi pengungsi Muslim dari siksaan orang kafir Mekah.

Lalu, ketika orang kafir Mekah datang menghadap sang Raja Kristen itu dan meminta agar pengungsi muslim itu diekstradisi (supaya bisa disiksa lagi di Mekah), Raja Kristen itu menolak permohonan ekstradisi tsb, dan tetap memberi perlindungan kepada para pengungsi Muslim itu. Ketika itu, umat Muslim hidup di bawah kepemimpinan dan kekuasaan pemimpin Kristen Ethiopia justru atas perintah Nabi Muhammad Saw. sendiri.

(Di masa modern ini, Angela Merkel –kanselir Jerman yang juga putri seorang pendeta Kristen-- juga membuka pintu negeri sekuler Jerman bagi jutaan pengungsi negeri-negeri Muslim Suriah, Irak, Afghanistan, dll).

(intermezzo lagi: Penjelasan seputar “teman setia, sekutu” dalam situasi perang dan damai: “Ayat Qur'an itu ada yg konteksnya perang, ada yg konteksnya damai. Kalo gebyah uyah kek gini justru menunjukkan ga ngerti tafsir qu'an.” Kalau Al-Maidah 51 berlaku dalam semua situasi, kenapa diam ketika Saudi Arabia bersekutu dengan AS? Kenapa diam ketika Erdogan bersekutu dengan Israel?: KONSTITUSI, AWLIYA, NEGARA By @sahal_as)

OK. Lalu, darimana kita tahu bahwa Al-Maidah 51 itu hanya berlaku dalam konteks ketika umat Muslim diperangi nonMuslim? Selain dari QS Al-Mumtahanah 60:1, 8-9 yang men-takhshish (mengkhususkan) keberlakuan larangan itu, hal itu juga bisa diketahui lewat penjelasan dalam kitab-kitab tafsir (lihat artikel ini: “Awliya”)

***

Dengan demikian, argumentasi kubu A (Buya Syafii Maarif dkk) mudah dimengerti. Bagi mereka ini, larangan dalam Al-Maidah 51 hanya berlaku ketika umat Muslim diperangi nonMuslim. Karena itu, ketika Ahok berkomentar “dibohongi pakai Al-Maidah 51 macem-macem...”, kubu A ini paham bahwa maksud Ahok adalah “dibohongi oleh orang yang keliru memahami konteks; keliru memakai ayat Al-Maidah 51 (yang berkonteks perang itu) dalam situasi damai; dan keliru memakai Al-Maidah 51 (yang berkonteks perang itu) dalam Pilkada di Indonesia, yang umat Muslimnya tidak sedang diperangi nonMuslim.

(Ahok sendiri, sewaktu dulu hendak dihalangi ketika mencalonkan diri sebagai gubernur Bangka-Belitung dengan alasan bahwa orang Kristen tidak boleh jadi gubernur karena ada larangan dalam Al-Maidah 51, telah bertanya kepada alm. Gus Dur tentang ayat tersebut: apakah benar Al-Quran melarang nonMuslim menjadi pemimpin? Karena menurut Gus Dur larangan itu tidak ada, dan karena Gus Dur melihat Ahok sebagai pemimpin yang jujur dan antikorupsi, Gus Dur malah dengan amat sangat bersemangat dan meyakinkan bersedia menjadi juru kampanye untuk mendukung Ahok menjadi gubernur Bangka Belitung. Lihat aksi Gus Dur sebagai jurkam Ahok di sini: https://www.youtube.com/watch?v=P9sSAksVZFk Juga wawancara Ahok dengan TV Al-Jazeera ini: https://www.youtube.com/watch?v=O5OCEV99vbk )

Sebagai tambahan, lihat juga tulisan2 KH Nadirsyah Hosen lainnya (profesor hukum Islam di Monash Univ Australia, putra alm. KH Ibrahim Hosen, penggagas dan ketua Komisi Fatwa MUI 1980-2000):

1. “Awliya”: Perlu diperhatikan bahwa 10 kitab tafsir di atas (plus Ibn Katsir yang sudah saya kutip sebelumnya) tidak mengartikan kata awliya dalam QS al-Ma'idah ayat 51 sebagai pemimpin.

2. “Tafsir Awliya: Benarkah QS Al-Maidah 51 Melarang Kita Memilih Non-Muslim sebagai Pemimpin?”

3. “Logika dan Illat Hukum”: Kalau dijadikan teman setia atau sekutu saja dilarang APALAGI dijadikan pemimpin. Benar begitu? Tidak benar!

4. “Menghadapi Orang Ngeyel”: (Dibohongi Pakai Al-Maidah 51)

5. “Benarkah Muslim itu Harus Keras thd Orang Kafir?

6. “Syariat Islam dan Politisi

7. Yang ini tulisan saya: “Al-Maidah 51: Tidak boleh berkawan dengan non-Muslim???

8. Yang ini tulisan lawas nan komprehensif dari Akhmad Sahal di Majalah TEMPO tentang bolehnya memilih pemimpin nonMuslim

9. Kalau ini, tulisan Khoirul Himmi Setiawan, anggota Lakpesdam PCI NU Jepang: "Mengambil Non-Muslim sebagai Auliya', Haram?"

***

B. Bagi kubu B (MUI dkk), QS Al-Maidah 51 adalah dasar yang tegas untuk melarang umat Muslim memilih pemimpin non-Muslim.

 

Hal ini sesuai dengan Sikap dan Pendapat MUI tentang Kasus Ahok, yang di antara butir-butirnya adalah sbb:

“1. Alquran surah al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin.”

“3. Setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin.”::

Dalam sidang ke-8 Ahok tanggal 31 Januari 2017, KH Ma’ruf Amin hadir sebagai saksi ahli dari MUI, dan menyatakan bahwa MUI tidak melakukan pembahasan soal kandungan atau tafsir Surat Al-Maidah ayat 51 saat melakukan penelitian dan pembahasan terkait ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu. 

 

::“Kami tidak bahas kandungan atau tafsir Al-Maidah yang kami bahas hanya ucapan terdakwa saja,” ucap Maruf saat memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa. Dalam kesempatan itu, Maruf juga mengaku tidak pernah melihat secara langsung video pidato Ahok di Kapulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu.”

 

“Saya hanya tahu dari media cetak dan televisi. Yang mengecek itu tim dari MUI, tim yang melihat video itu. Saya hanya terima laporan masyarakat ada yang lisan dan tertulis,” tuturnya. ::

Dari pernyataan ketua MUI KH Ma’ruf Amin ini, dapat disimpulkan bahwa:

1. Kubu B (MUI dkk) tampaknya memakai Al-Maidah 51 versi terjemahan lama Depag RI (yakni, yang masih menerjemahkan awliya sebagai “pemimpin”), dan tidak mempertimbangkan terjemahan Al-Maidah 51 versi terjemahan baru Depag RI.

Adapun terjemahan Al-Quran Depag terbaru tidak menerjemahkan awliya sebagai “pemimpin”, tetapi “teman setia”. Artinya, jika MUI memakai terjemahan Al-Maidah 51 versi Depag terbaru, tentu MUI tidak akan menemukan larangan eksplisit menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai “pemimpin” (padahal, sebagaimana dinyatakan MUI dalam butir no.1 Pendapat dan Sikap Keagamaan-nya, “Al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin”). Dalam terjemahan Al-Maidah 51 versi Depag terbaru, yang ada hanyalah larangan eksplisit menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai “teman setia”, bukan “pemimpin”.

2. Kubu B (MUI dkk), ketika membahas kasus Ahok dan Al-Maidah 51, tidak membahas kandungan Al-Maidah 51; tidak membahas tafsirnya; tidak juga membahas asbabun nuzul (konteks turunnya) ayat Al-Maidah 51.

Dari sini, tampaknya kubu B (MUI dkk) mungkin menganggap bahwa Al-Maidah 51 versi terjemahan lama Depag RI berlaku di segala situasi secara pasti dan tegas. Versi terjemahan baru Depag RI tampaknya tidak dipertimbangkan. Demikian pula, sebagaimana pengakuan KH Ma’ruf Amin dalam sidang Ahok itu, konteks turunnya ayat Al-Maidah 51 beserta kitab-kitab tafsir yang membahasnya juga tidak dipertimbangkan MUI ketika menyusun Pendapat dan Sikap Keagamaan-nya terkait pernyataan Ahok. Demikian pula, ketua MUI KH Ma’ruf Amin tidak mempertimbangkan konteks ucapan Ahok ketika mengutip Al-Maidah 51:

(“Dalam kesempatan itu, Maruf juga mengaku tidak pernah melihat secara langsung video pidato Ahok di Kapulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu. ‘Saya hanya tahu dari media cetak dan televisi. Yang mengecek itu tim dari MUI, tim yang melihat video itu. Saya hanya terima laporan masyarakat ada yang lisan dan tertulis,’”)

Ketika sampai di titik ini, bagi saya duduk permasalahan dan sebab perseteruan antara ulama dan umat Muslim di kubu A vs. ulama dan umat Muslim di kubu B sudah amat jelas. Bagaimana dengan Anda?

Wallahu a’lam,

Salam,

ilham ds

(penerjemah dan editor lepas pada sebuah penerbit buku-buku Islam tanah air).

Lihat juga: "apalah arti lidahku berseru Allahu Akbar, jika..."

Ikuti tulisan menarik ilham ds lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler