x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah di Balik Kemenangan 6 Penghargaan Sastra di Malaysia

Belasan tahun saya membaca puisi dari panggung ke panggung tanpa bayaran hingga dibayar berjuta-juta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petang itu, saya sampai di Dinasty Hotel pukul 17. 56 waktu setempat. Karena malam anugerah HESCOM E-Sastera Malaysia 2015 dimulai pukul 8 malam, saya memilih bersantai lebih dahulu di Kedai Imran yang terletak di sisi kanan hotel. Kedai Muslim ini merupakan kedai favorit saya. Selain karena kopinya yang sedap dan pelayanannya yang ramah, ada free wifi! Setelah memesan kopi o, roti canai, dan jus mangga, saya duduk manis, menyalakan handphone, mengecek SMS, BBM, WA, dan Facebook. Saya jadi asyik sendiri berselancar di dunia maya. Tentu saja membuat status di Facebook, semacam laporan kepada keluarga dan teman-teman bahwa saya sudah selamat sampai di Kuala Lumpur.
 
Malam pukul 8 waktu setempat saya memasuki gedung Dinasty Hotel—sebelumnya saya masuk kamar 1309 bersama Tabir Alam untuk mempersiapkan diri—dengan mengenakan pakaian ala Baduy Banten yang saya sendiri masih entah dengan pakaian ini. Bukan lantaran saya tidak hafal warna kain dan motifnya, tapi saya tidak paham, apakah Banten benar-benar pernah menciptakan baju adat dengan serius atau Banten apakah benar-benar memiliki pakaian yang khas dan identik. Apapun, saya gembira karena dapat menghadiri malam penganugerahan HesCom E-Sastera Malaysia 2015 dengan mengenakan pakaian yang identik dengan Banten. 
 
Malam penganugerahan bagaimanapun selalu mendebarkan dan mungkin tahun ini lebih mendebarkan dari HesCom 2014. Pasalnya saya akan mengembalikan piala pusingan (baca: piala bergilir) kepada yang memenangi puncak anugerah. Piala bergilir yang telah satu tahun atas nama saya itu akan segera berganti nama, dalam hitungan jam saja.  Apakah saya pesimis mendapatkan anugerah puncak kembali? Sesungguhnya, iya. Pasalnya, yang saya hadapi bukan sastrawan-sastrawan kemarin sore, melainkan para sastrawan senior dari berbagai negara di Asia Tenggara. Jadi wajar saja jika saya tidak terlalu percaya diri. Lagi pula, saya sudah sangat bersyukur pernah memenangkan anugerah paling bergengsi itu. 
 
Oh iya, sebelum saya beserta Tabir Alam masuk ke aula, di pintu masuk saya disambut oleh S. Iqram yang sudah duduk di meja bazar buku. Puluhan buku terbitan E-Sastera berbagai gendre terpajang dengan rapi. Selain itu, saya juga diminta memilih nomor untuk cabutan bertuah (undian berhadiah). Saya memilih angka 8 (delapan), angka kesukaan saya, sedangkan Tabir Alam yang masuk bersama saya mengambil angka 5 (lima). Saya lupa bertanya, mengapa ia memilih angka itu, bukan yang lain. 
 
Mata saya lalu dibuat sibuk oleh pakaian para sastrawan yang bermacam-macam. Saya melihat Prof. Irwan Abu Bakar mengenakan pakaian ala koboi, bertopi merah. Mata saya teralih ke Ilya Kalbam yang bermain kipas dengan gaun ala Ratu Inggris, beberapa kali ia berlalu di hadapan. Benar-benar dipersiapkan sekali sepertinya;  Anggun dan elegan, sedangkan Dinie Wan, S. Iqram, Laskas Cahaya dan Tabir Alam mengenakan pakaian ala Timur Tengah. Ada juga Hasimah yang mengenakan pakaian Thailand dengan mangkota emas di ujung kepala (saya kurang tahu sebutannya dalam bahasa Thailand). Paduan antara pakaian Muslim dengan pakaian adat Thailand melekat dengan apik dan manis, serba berwarna emas. 
 
Lain lagi dengan penyiar Kopstar Fm yang memakai sari India berwarna merah menyala; anggun.  Rudi pun sepertinya telah mempersiapkan pakaian dengan baik, ia mengenakan pakaian adat kraton Yogyakarta, Indonesia, lengkap dengan tutup kepala yang dinamai blangkon. Tentu saja banyak lagi sastrawan lainnya yang mengenakan pakaian berbagai Negara seperti Nik Zafri yang memakai pakaian batik dengan selendang, seperti adat Betawi, tapi saya tidak yakin, benarkah adat betawi atau baju adat daerah lain. Pakian yang beragam Negara ini sesuai dengan tema pakaian yang disarankan E-Sastera: Antarbangsa. Konsep saling mengenali dan menghargai adat serta budaya bangsa-bangsa di dunia. Termasuk menghargai hak hidup dan kemerdekaan Negara-negara di dunia. Pada malam itu, Ilya Kablam dan Rudi dinobatkan sebagai sastrawan dengan pakaian terbaik.
 
Waktu bergerak. Satu persatu penyair membacakan sajaknya. Prof. Irwan membacakan sajak yang ia tujukan kepada Obama. Sajak serius yang menyimpan kejenakaan yang cerdas. Saya sempat berbisik kepada S. Iqram: “Inilah yang tidak saya bisa dari Prof. Irwan: sajak-sajak yang tampak ringan tapi satir.” Kemudian Nik Zafri, Dinie Wan, Hasimah Haron Citranalis, Tabir Alam, dan Rudi membaca dengan santai dan dalam. Berbeda dengan S. Iqram yang tiba-tiba ingin menjadi gagak yang membawa piring lalu meneriakkan kelaparan dan Ahkarim yang menjadi pesawat terbang sambil beberapa kali menerbangkan pesawat kertas yang berisi uang RM5.  Penyair yang pandai sekali meniup seruling, Ayawan Musafir, juga tidak ketinggalan. Ia  tampil dengan ekspresif menyuguhkan persembahan yang memuaskan. Tentu saja, sebagaimana kegiatan-kegiatan E-Sastera, para deklamator selalu dihangatkan oleh GLP dengan lagu-lagu puisinya. Suara Ilya dan Hijas yang harmonis membuat acara semakin terasa hidup. 
 
II/
Cahaya di kaca-kaca gedung bertabrakan, pecah, dan berhamburan. Seperti bunga-bunga dalam pesta seribu satu malam, menjadikan raung di mana HesCom 2015 beralngsung tampak elegan dan indah. Bunga-bunga cahaya itu seperti dongeng yang kerap saya dengar waktu kecil. Di antara bunga-bunga lampu itu, Hijasri beberapa kali mengumumkan sesi cabutan bertuah. Undian demi undian dilakukan. Puluhan nama pemegang angka yang benar-benar bertuah telah mendapatkan bingkisan cantik dari E-Sastera. Tentu saja ada angka-angka yang tidak bertuah, termasuk angka 8. Apapun, saya tetap menyukai angka delapan.
 
Apapun, anugerah yang ditunggu-tunggu terus diumumkan setelah pelancaran buku milik Yajuk yang bertajuk, GLP dot dot, dan saya sendiri yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda. Anugerah pertama untuk kategori Haiku dan Tanka diraih oleh Tabir Alam, penyair Malaysia yang memang sangat mahir membuat haiku dan tanka. Selanjutnya di posisi kedua diraih oleh Ness Kartamihardja, dan pada posisi ketiga diraih oleh Aloy Indra. Haiku dan Tanda merupakan gendre yang dibangun oleh E-Sastera semenjak di httpa//esasterau2.com/:::esasterau2.com hingga kemudian berkunjung ke Facebook dan mendirikan grup Haiku dan Tanka. 
 
Anugerah E-Sastera Soneta dan Vilanel dimenangi oleh Citranalis, sedangkan di posisi kedua dimenangi oleh Yajuk. Masih di ranah gendre yang sudah lama dikenali sebelum sajak bebas popular di zaman siber ini, Ahkarim Abdul Halim memenangi kategori Anugerah E-Sastera Puntone. Penyair yang telah puluhan tahun berkarya ini, memang memiliki kemahiran dalam berpantun, termasuk berpantun dalam bahasa Inggris.  Pada kategori  Anugerah E-Sastera Rubaiyat S. Iqram dinilai berhak memenanginya, disusul oleh Moh. Ghufron Chalid, dan Yajuk. Lalu sejenak keluar dari anugerah-anugerah yang bertumpu pada karya sastra, E-Sastera memberikan  Anugerah E-Sastera Fotografi  kepada Lasykar Cahaya.
 
Hijasri masih terus menyebutkan kategori-kategori anugerah yang dikeluarkan oleh E-Sastera di mana penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden E-Sastera Malaysia, Prof. Irwan Abu Bakar didampingi Hasimah dan Citranalis sebagai pembawa piagam dan amplop. Kata-kata yang keluar dari bibir Hijasri seolah menjadi sihir atau mantra, sehingga membuat para sastrawan ingin mendengarnya dengan cermat dan jelas. Dan rupanya Hijasri mengerti bahwa kata-katanya sedang ditunggu, ia kadang bergurau untuk membuat dada para sastrawan semakin berdebar-debar sekaligus mencairkan suasan yang mulai tegang.
 
“Siapa yang berhak mendaparkan Anugerah E-Sastera Madah?” ruangan semakin sepi, semua orang diam menunggu.  
 
“Sepohon Kasih Sayang” karya Siti Roslina Syeikh Abdullah akhirnya diumumkan sebagai pemenang pertama, disusul oleh Citranalis dengan madah “Ada Ketikanya” dan “Si Jalak” Deli Koesoma.  Dilanjutkan dengan dinobatkannya Haizamolek sebagai  pengkarya berpotensi. Sebuah penghargaan yang memberikan motivasi agar memanfaatkan potensi yang ada. Saya jadi teringat kata guru saya, “Potensi yang murni akan menuju puncak kemurniannya jika diusahakan dengan cara yang murni”. Sebelumnya telah diumumkan pemenang Sayembara Banjir yang diraih oleh Noor Aisya (Singapura) dengan sajak bertajuk “Wahyu Terbasah” menempati posisi ketiga, Dahna (Malaysia) dengan sajak bertajuk “Sangkakala Disember” pada posisi kedua, dan Tabir ALam dengan sajak bertajuk “Dugaan Banjir” menempati posisi pertama.
 
Penghargaan selanjutnya kategori Anugerah E-Sastera Lagu Puisi (lagi puisi di Indonesia dikenal dengan sebutan musikalisais puisi). Fileski and Paperline mendapatkan posisi pertama dengan lagu “Bahagia Bersamamu”, disusul oleh Rudi dengan lagu “Si Penghuni Sepi”, dan  “Sakauku” karya Daladi Ahmad dengan lagu. Pada  Anugerah E-Sastera Vlog saya bersama Ghufron memenangi kategori ini. Dan ketika kategori Anugerah E-Sastera Travelog, saya langsung mengarahkan pandangan kepada Yajuk, sastrawan bernama asli Yusof Abdullah ini memiliki ingatan yang begitu tajam. Karya-karya sastra perjalanannya sangat runut dan terperinci. Benar saja, namanya yang kemudian disebut menempati posisi pertama dan saya menempati posisi kedua. Sebelumnya telah juga diumumkan Anugerah E-Sastera Cerpen

yang diraih Aiza Zizan, Anugerah Presiden Untuk Ajk E-Sastera diraih oleh Citranalis dan Anugerah E-Sastera Puisi Tradisional diraih oleh Azmi Rahman.

 
III
Hijasri masih di mimbar, menjalankan tugas sebagai pembawa acara. Masih ada beberapa anugera yang harus diumumkan. Anugerah-anugerah yang menuju puncaknya. Kalau di Indonesia, anugerah-anugerah sebelumnya dinyatakan sebagai bentuk apresiasi kepada para pengkarya, sedangkan anugerah puncak merupakan anugerah yang sungguh ditunggu-tunggu.
 
Hijasri mempersilan Prof. Irwan untuk maju. Prof. Kali ini ia sendiri yang mengumumkan anugerah yang ditulis dalam surat keputusan HesCom E-Sastera 2015. Waktu berjalan seperti agak lambat, detik-detik yang mendebarkan. Saya mulai bertanya-tanya siapa saja yang akan menerima anugerah khas (dalam bahasa Indonesia disebut anugerah istimewa). Wajah-wajah di gedung Dinasty Hotel mulai saya jelajahi. Ada yang tersenyum, ada yang tampak tegang, ada yang diam-diam mendengarkan sambil makan, ada pula yang sibuk merekam kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Prof. Irwan. 
 
Prof. Irwan meletakkan tangan kirinya di kantong celana, sedangkan tangan kanannya memegang laporan. Ia menyampaikan Anugerah Suara Emas yang diraih oleh penyanyi yang setia menyanyikan lagu-lagu puisi, yakni Mohd Hijasri Bin Hassim dari GLP.  Hijasri tampak terkejut mendengar namanya disebut sebagai pemenang. Ia meninggalkan tempat pembawa acara menuju panggung utama dengan wajah sumringah dan berseri-seri. Selanjutnya Prof. Irwan mengumumkan  Anugerah Pengkarya Harapan. Anugerah yang diberikan kepada para sastrawan yang diharapkan memberikan sumbangan besar bagi perkembangan sastra—baik  sastra siber maupun di luar itu—di hari mendatang. Anugerah ini diraih oleh Khair Man, Lara M.N, dan Aloy Indra.
 
Prof. Irwan menyampaikan bahwa anugerah yang selanjutnya akan diumumkan adalah Anugerah Sasterawan Alam Siber (ke-4). Anugerah ini tidak dikeluarkan setiap tahun, hanya akan dikeluarkan jika dianggap sudah ada yang layak menerimanya. Mendengar pemaparan Prof. Irwan, saya tersenyum sekaligus penasaran, siapa gerangan yang dianggap layak mendapatkan anugerah yang terakhir kali dikeluarkan pada tahun 2009 itu? 
 
“Dan yang kami anggap layak menerima anugerah Sasterawan Alam Siber (ke-4) adalah…,” suasana tiba-tiba jadi begitu hening. “Puzi Hadi!”
 
Tidak ada yang muncul dan maju ke panggung utama. Saya tanya kemana Puzi Hadi kepada beberapa sastrawan yang duduk satu meja dengan saya. “Istri Puzi Hadi sedang sakit, ia tidak dapat datang.” begitu jawab S. Iqram. Saya mengangguk tanda mengerti. Prof. Irwan pun kemudian menyampaikan permohonan maaf Puzi Hadi, karena halangan yang tidak memungkinkan ia datang pada malam HesCom E-Sastera 2015. Kami sama-sama mendoakan untuk kesihatan istrinya. 
 
Anugerah, saya sempat termenung beberapa saat. Bagaimana tidak? Buku saya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda baru saja diluncurkan, tapi sudah langsung menyabet Anugerah Buku Terbaik 2005-2015 (posisi kedua). Bersaing 70 (tujuh puluh) buku yang diterbitkan E-Sastera sepanjang 10 (sepuluh) tahun terakhir.  Selain saya,   Bulan Suram Di Langit Kashmir karya 4 (empat) penyair perempuan Malaysia (Citranalis, Hasimah, Dahna, …) mendapatkan posisi ketiga dan Mou Sumi karya Ahkarim menjadi buku terbaik posisi pertama.
 
Tinggal 3 anugerah yang ditunggu-tunggu. Saya sudah tidak berharap lagi. Karya saya menjadi karya terbaik dalam kurun waktu 10 tahun itu rasanya sudah sangat luar biasa. Belum lagi anugerah-anugerah lain yang sebelumnya saya dapatkan juga. Puluhan sastrawan telah berkumpul, belum lagi yang berhalangan hadir. Mereka adalah para guru, abang, dan orang tua saya yang mengajari saya berkarya sastra dan bersikap dalam dunia sastra. Salah satu dari merekalah yang memiliki kemungkinan besar mendapatkan anugerah-anugerah istimewa dari E-Sastera, termasuk menerima piala bergilir Nik Zafri yang tahun lalu berada di tangan saya. Tetapi apa yang disampaikan Prof. Irwan melalui surat keputusan E-Sastera ternyata tidak sebagaimana yang saya pikirkan. Prof. Irwan menyebut nama saya untuk menerima Anugerah E-Sastera Novelis. 
 
Baiklah, saya memang butuh napas bantuan. Saya meneguk habis jus jeruk yang sedianya disuguhkan di meja saya lalu naik panggung untuk menerima anugerah.
 
“Selamat saudara Rois,” ucap Prof. Irwan. 
 
“Terima kasih,” jawab saya. “ Wah… saya benar-benar tidak menduga!”
 
Prof Irwan tersenyum lalu menepuk bahu saya, begitu pun Nik Zafri yang memberikan amplop dan piagam penghargaan kepada saya.
 
Saya kembali duduk, masih berusaha mengatur napas. Kembali meneguk jus jeruk, kebetulan satu meja yang ditempati 5 orang disediakan sekitar 10 jus jeruk. Jadi saya bisa minum lebih dari satu gelas, bahkan tiga gelas. Entah mungkin milik Tabir Alam yang saya minum. (Wah… maafkan saya, Abang Tabir). Dalam posisi duduk begitu, Tabir Alam, Ahkarim, S. Iqram, dan Yusof Abdullah berkali-kali menyampaikan selamat kepada saya. Saya beberapa kali menanggapi dengan bingung. Bukan apa, sejujurnya saya merasa harus banyak belajar kepada mereka.
 
Prof. Irwan masih berdiri memegang surat keputusan. Tinggal 2 anugerah lagi yang belum disampaikan. Angin di dalam diri dan angin di luar diri malam itu benar-benar terasa lain. Saat  Anugerah Penyair Alam Siber 2015 hendak diumumkan, saya sudah bersiap-siap. Bukan bersiap-siap sebagai pemenang, tapi saya hendak minta izin agar piala bergilir Nik Zafri, selain diserhkan oleh Nik Zafri saya juga turut menyerahkannya sebagai pemenang Anugerah Penyair Alam Siber 2014.
 
“Nominator Anugerah Penyair Alam Siber 2015 adalah…,” Prof. Irwan sejenak tersenyum menatap para sastrawan. “’Gurindam Ibu Mengandung’ karya Yajuk, ‘Kuala Sala’ karya Mansor A. Hamid, ‘Menjerang Matahari Di Perapian Senja’ karya Mahbub Junaidi, ‘Seusai Nyanyian’ karya Muhammad Rois Rinaldi, ‘Rumah Peradaban’ karya Lara M.N ‘60, Lorong Kembara Kehidupan’ karya Puzi Hadi,” 
 
“Wah… saya masuk nominasi?” gumam saya gugup.
 
Mata saya masih terarah kepada Prof. Irwan, tidak sabar mendengar siapa yang menjadi pemenang dan dinobatkan sebagai Penyair Alam Siber 2015.
 
“Pemenangnya adalah,” Prof. Irwan menahan suara, semua diam. “Muhammad Rois Rinaldi!”
 
Tepuk gemuruh mengiringi langkah saya yang, kembali menundukkan kepala. 
 
Hening. Hening. Hening. Saya rasa ingin mengheningkan diri. Usai menerima anugerah Penyair Alam Siber 2015 saya duduk dan diam. Sesekali tersenyum kepada beberapa sastrawan yang menyapa dan mengucapkan selamat. Saya sudah tidak fokus. Satu penghargaan lagi saya coba simak, tapi tidak terlalu berhasil. Beberapa kalimat Prof. Irwan tidak dapat saya dengar dengan jelas, bukan karena artikulasi atau volume, tapi karena saya mulai tidak fokus, kaget.  Sebelum akhirnya saya dapat menguasai diri kembali. Menyimak lagi pembacaan surat keputusan untuk anugerah yang terakhir. 
 
“Yang berhak dinobatkan sebagai Tokoh Sasterawan Alam Siber 2015 adalah sastrawan yang mendapatkan anugerah terbanyak malam ini,” Prof. Irwan menatap saya dari jauh. “Pemenangnya adalah Muhammad Rois Rinaldi!”
 
Lengkap sudah kejutan malam itu. Ingatan saya melayang ke langkah saya yang belasan tahun berkarya di belantaran Banten tanpa komunitas tanpa sastrawan manapun tahu, semenjak 2009 mulai menunjukkan hasilnya. Belasan tahun saya membaca puisi dari panggung ke panggung tanpa bayaran hingga dibayar berjuta-juta. Tetapi sungguh pun apa yang saya dapatkan sekarang, bukan satu-satunya ukuran. Keberhasilan saya adalah saya yang masih setia pada sastra meski apapun yang terjadi. 
 
Malam itu piala pusingan (baca: piala bergilir) kembali saya bawa pulang. Nik Zafri dan Prof. Irwan langsung menyerahkan piala itu. Saya sangat bersyukur sambil terus mengingatkan diri sendiri agar tidak lekas puas, tidak lekas puas, tidak lekas puas. Jalanan masing panjang, waktu masih harus dilalui dengan karya-karya terbaik. 
 
Malam yang mengusung tema Merentas Perbedaan Antarbangsa itu berakhir dengan iringan suara Ilya dan Hijas, menyanyikan sajak-sajak yang indah.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB