x

Warga saat beraktifitas di pemukiman kumuh Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta, 8 Januari 2016. Pemerintah mentargetkan pada tahun 2020, Indonesia akan bebas dari pemukiman kumuh dan Program tersebut termasuk salah satu prioritas Rencana Pembangunan J

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tuan-tuan, Puan-puan, dan Para Penyanjungnya

Ini cerita kecil tentang tuan-tuan, puan-puan, dan para penyanjungnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hamlet menunjuk langit dan bertanya kepada Polonius: “Kau lihat di sana, awan berbentuk hampir menyerupai unta.”

Polonius: “Ya, menggumpal, dan memang seperti unta.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hamlet: “Kupikir, lebih serupa musang.”

Polonius: “Seperti musang.”

Hamlet: “Atau, seperti ikan paus.”

Polonius: “Sangat menyerupai ikan paus.”

 

Alkisah, di sebuah negeri, pada suatu zaman, tuan-tuan dan puan-puan selalu dikelilingi oleh banyak orang yang memainkan peran masing-masing agar di hadapan tuan dan puannya terlihat sebagai orang yang paling dapat diandalkan. Singgasana para tuan dan puan begitu gemerlap, tak heran bila banyak orang memerebutkan perhatian tuan dan puan. Perhiasan mereka menyilaukan dan mengundang decak kagum. Ruangan perjamuan selalu dibersihkan betul oleh dayang-dayang, tak boleh satu butir debupun mengotori lantai, permadani, tirai, kursi, maupun meja. Aroma mewangi senantiasa menguar dalam sudut ruangan yang manapun tempat tuan dan puan berada. Wewangian dari bunga melati yang dipetik segar setiap hari menyejukkan siapapun yang menciumnya.

Tak boleh ada aroma keringat, apa lagi bau kentut yang menyengat. Dua jenis aroma tak sedap ini dapat sangat mengganggu perjamuan maupun pesta yang kerap digelar oleh para tuan dan puan—pendeknya, ruang perjamuan harus steril dari aroma tak sedap. Bahkan tuan dan puan pun, jika mules, akan menyelinap ke ruang belakang yang tersembunyi untuk melegakan perutnya yang bergejolak. Setelah melepas gas dengan puas, mereka akan kembali ke ruang perjamuan dengan wajah sumringah, seolah tidak terjadi apa-apa. Para dayang-dayang pun turut senang.

Jikalaupun ada bau kentut yang ditiupkan oleh organ tubuh tuan dan puan karena tak tertahankan, kabar tentang peristiwa kentut itu tak boleh menyebar ke manapun. Dayang dan para penyanjung harus menjaga rapat-rapat agar bau kentut maupun ceritanya tidak keluar ruangan. Sebelum para tamu bercerita ke orang lain tentang bau kentut yang mengganggu perjamuan ataupun pesta, para penyanjung harus bergegas menyebarkan berita lain lebih dulu. Tentu saja, berita bagus yang lebih menarik perhatian warga awam ketimbang desas-desus perihal kentut. Pokoknya, warga awam harus dibuat tidak percaya bahwa tuan tertentu sudah menebarkan aroma tak sedap di ruang perjamuan. “Bukan begitu ceritanya, tapi begini begini dan begini..,” tutur dayang-dayang.

Seandainyapun para tamu ternyata bergerak lebih cepat menyebarkan cerita tentang kentut tuan dan puan itu, para penyanjung siap menyebarkan fakta alternatif—tidak benar desas-desus itu; itu bukan bau kentut, tapi ada tikus mati terperangkap batu di halaman. “Petugas ruangan kurang jeli saat memeriksa got-got sekitar,” kata para penyanjung. Jika fakta alternatif tidak mempan, para dayang dan penyanjung sudah siap menyodorkan tafsir yang berbeda atas peristiwa itu. Mereka berkata tidak ada kentut, melainkan para tamu sedang menderita influenza sehingga penciuman mereka terganggu oleh aroma hidung mereka sendiri.

Tafsir dan fakta alternatif ini disebarkan berulang-ulang oleh dayang dan para penyanjung melalui pamflet-pamflet yang mereka tempel di sudut-sudut ibukota. Juga diceritakan berulang-ulang dan diberi bumbu-bumbu agar semakin meyakinkan sehingga dianggap oleh warga sebagai kebenaran. Tafsir dan fakta alternatif ini akhirnya mampu mengalahkan fakta sebenarnya bahwa tuan dan puan itu memang kentut bersama-sama karena kebanyakan makan jengkol yang disiapkan oleh juru masak kepangeranan dengan begitu lezat sehingga tak seorang pun tuan dan puan sanggup untuk tidak menyantapnya. Bahkan sesama warga pun saling bersitegangleher gara-gara beradu tafsir dan fakta alternatif, sedangkan fakta obyektif bahwa tuan dan puan itu kentut pun menghilang ditelan bumi.

Para dayang dan para penyanjung dengan bersemangat mengisahkan cerita pesta yang berlangsung meriah, dikunjungi ratusan tamu terhormat, sajian makanan lezat bertebaran di puluhan meja, serta musik dan tarian indah yang disajikan oleh para seniman mengiringi percakapan para tuan dan puan. Sembari menikmati hidangan yang lezat dan mengenyangkan perut, para tuan dan puan membicarakan nasib kaum fakir dan miskin dan bagaimana cara mudah membangkitkan martabat mereka.

Di saat perjamuan berlangsung, para fakir dan miskin berdiri di pintu samping. Mereka mengantri acara pembagian makanan yang akan dilangsungkan sesuai para tuan dan puan makan dan berpesta. Para dayang dan penyanjung menularkan kabar tentang betapa dermawannya para tuan dan puan itu, mau berbagi makanan dengan fakir dan miskin, juga berbagi berkeping-keping perak. “Tuan-tuan dan puan-puan tidak makan kenyang sendirian,” kata para dayang dan penyanjung ini, “Tuan-tuan dan puan-puan berbagi dengan kaum fakir dan miskin yang menanti pembagian makanan dalam antrian yang tertib.”

Selalu saja, para tuan dan puan didampingi para penasihat yang membisikkan sesuatu—warga tidak pernah tahu apa yang dibisikkan hingga kemudian keluar ucapan dan tindakan dari para tuan dan puan itu. Ada pula tukang gendang dan penepuk-tangan yang selalu menyemangati para tuan dan puan agar terus menengadahkan wajah dan mata menatap ke depan. “Jangan sekali-sekali menunduk, tuan; jangan sekali-sekali menangis, puan,” kata mereka. Para pendamping tuan dan puan ini berkumpul di ruang berbeda saat perjamuan berlangsung. Seperti halnya tuan dan puan masing-masing, yang terlihat akrab di ruang perjamuan, para pendamping pun begitu; namun, sesungguhnya, mereka menajamkan telinga dan mata untuk menemukan kelengahan masinng-masing.

Sementara itu, di tengah warga awam, banyak bertebaran para sycophant—para pendukung tuan dan puan yang kerap memberi tahu puan dan tuan masing-masing perihal apa yang ingin mereka dengar dari mulut tuan dan puannya. Bila tuan dan puan mengatakan apa yang mereka sukai, para sycophant akan mengirim sanjungan-sanjungan. Mereka akan menepuk genderang karena suka cita dan mengolok-olok tuan dan puan lain yang jadi lawan tuan dan puan mereka (tapi para tuan dan puan itu tidak bermusuhan secara abadi, seperti halnya juga tidak berkawan secara abadi). Mereka senang berperan sebagai penyanjung. Mereka sungguh dapat diandalkan dan bisa berada di mana saja, kapan saja, sehingga dukungan terlihat ada di mana-mana.

Di antara warga awam juga berseliweran tukang gebuk—mereka yang memukul balik siapa saja yang berani menertawakan, melecehkan, maupun mengolok-olok tuan dan puan mereka. Mereka yang berani bersikap tidak sopan kepada tuan dan puan itu akan dirisak habis-habisan sampai air matanya kering, tak lagi bisa menangis hingga tujuh hari tujuh malam. Para penggebuk ini bekerja dalam satu irama dalam satu komando dan melakukan tugas mereka hingga yang mengolok-olok tuan dan puan mereka jadi jera. Ada pula yang tugasnya berbisik-bisik secara halus, sehingga suara mereka masuk ke dalam telinga, benak, dan hati warga tanpa warga merasa curiga, takut, maupun cemas, hingga warga menyangka itulah kabar yang benar.

Ketika para tuan dan puan tertawa bersama-sama, warga awam merasa tenteram. Meskipun warga tidak kecipratan hidangan lezat maupun keping perak yang dibagikan seusai pesta, tapi mereka dapat mencari penghidupan dengan tenang. Sepanjang kepangeranan berdiri, warga toh hidup dari jerih payah sendiri—berdagang ternak, hasil ladang, maupun jadi kuli angkut. Tak pernah mereka menggantungkan diri pada penguasa kepangeranan. Para tuan dan puanlah yang menikmati proyek-proyek yang ditetapkan penguasa kepengeranan yang berkuasa berkat dukungan para tuan dan puan. Warga awam diperlukan sesekali saja, hanya diminta datang ke bilik-bilik, disodori singkong dan pepaya—mau pilih yang mana?; jangan meminta cabe, sebab cabe tergolong barang mewah! ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB