x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lengser Keprabon, Madeg Pandito*

Apa salahku mengeluh, apa salahnya aku protes, toh panggung di negeri ini pernah kukuasai

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Nun, dahulu kala sebuah cerita, Negeri Astina sedang terjadi huru hara politik. Negri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, tengah mengadakan kontestasi Raja Alit yang akan memimpin ibukota negara Astina. Perang urat syaraf pun terjadi, isu-isu disebar untuk saling menjatuhkan pesaing-pesaing. Putra mahkota Raja sepuh yang sudah lengser ikut meramaikan pemilihan raja alit tersebut. Raja sepuh yang masih peduli dan belum ingin lengser dari hiruk pikuk politik negeri Astina. Beliau selalu mengeluh dan merasa Raja sekarang Puntadewa tidak mendengarkan sarannya. Maka Raja sepuh itu selalu menulis di kaca paesan tentang kegalauannya melihat negerinya seperti tidak pernah mengingat jasa—jasa besarnya dimasa lampau.

“Jika aku tidak lagi diperlukan di negeri ini, baiklah aku akan pergi, mungkin lebih bermanfaat jika aku tinggal di negara lain yang mengingat  banyak jasaku yang tidak diingat rakyatku. Aku sudah berusaha dengan jujur siapa aku, kalian semakin tahu persis apa yang menjadi sumber kegalauanku. Tapi ternyata semakin mencoba meyakinkan diri ke orang siapa sesungguhnya aku semakin banyak orang nyinyir, sudah rusakkah  pola pikir rakyatku. Kupikir banyak orang yang akan mengingatku sebagai guru bangsa karena pelajaran hidup yang sesungguhnya aku berikan dengan kata-kata. Tapi semakin ingin melihat kebebalan pemerintah sekarang yang tidak peduli pada diriku aku semakin merasa telah dikianati orang-orang yang ada di sekelilingku yang satu persatu menghilang, berganti haluan.”

“Lihatlah wajahku, lihat baik-baik, apakah aku memang tipe penjahat, atau tipe manusia yang mudah dikasihani. Kalian  masih ingat aku khan. Destrarata, Masa lupa sih, khan tahun belum lama berlalu, lihatlah panggungku dulu yang selalu penuh dan orang-orang terpukau dengan kata-kataku, terpana dengan ekspresiku, terpesona dengan kegagahanku yang masih tersisa sampai hari ini. Aku masih ada dan akan selalu ada untuk kalian. “

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Sekarang aku sedang merintis jalan bagi keluargaku. Anakku Si Duryudhana kudorong menjadi Raja masyur, bahkan mungkin akan lebih masyur dariku. Itu cita-cita seorang ayah. Tidak salah khan. Padahal sebenarnya anakku telah mempunyai jalan sendiri dan sedang menapak kesuksesan. Ia kupaksa banting setir. Kuinstruksikan untuk memilih jalan cepat. Instan menjadi Raja Alit. Aku kerahkan seluruh daya bersama anak buahku  untuk mendukung ia menjadi Raja Alit, meskipun sebenarnya kemampuan ilmu kanuragan dan tata pemerintahannya belum seberapa, tapi aku meyakini ini waktu yang tepat untuk meraih sukses. Aku tidak ingin namaku tenggelam hanya sebagai bapak bangsa yang pernah dikenang sebagai Raja dan menciptakan keuntungan besar bagi  masa depan keluargaku. Aku masih rindu singgasana itu meskipun aku tahu umurku sudah merangkak tua. Sekarang anakkulah yang menjadi tumpuan harapanku. Ia sesosok  pria berkarakter, gagah dan mempesona, tak masalah citranya masih harus banyak dipoles, sambil berjalan ia tentu akan menemukan jati diri. Terserah jika orang mengatakan anakku itu calon raja karbitan,yang penting hasratku untuk menjadikan ia raja terkenal  terkabulkan. Ini akan menjadi perpanjangan nafas diriku yang mulai redup oleh zaman yang semakin melupakan rekam sejarah raja besar sepertiku ini."

Kini anakku sedang mengikuti kontes gladi calon Raja Alit(sebuah lompatan untuk menjadi Raja negeri Astina). Segala daya kuupayakan agar ia mengerti bagaimana menjadi raja, bagaimana membentuk ekspresi, bagaimana mencitrakan diri sebagai calon raja yang disegani, kalau  perlu aku aku mata-matai calon raja lain dan kusebarkan cuitan yang membuat calon yang sedang naik daun saat ini tercoreng citra dirinya. Segala cara kulakukan untuk kemenangan anakku, tentu tidak terbayang jika anakku sampai kalah, mungkin aku akan pergi ke negeri lain, menjauhi hiruk pikuk negeri yang mulai tidak ramah dengan mantan raja sepertiku.

Apa salahku mengeluh, apa salahnya aku protes, toh panggung  di negeri ini pernah kukuasai, aku heran dengan  sosok Raja yang sedang digandrungi saat ini. Apa sih istimewanya. Wajah tidak ganteng, bahkan terkesan  udik, tapi mengapa selalu saja suaranya yang didengar, bukan aku. Salahkah aku mengeluh negeri apakah ini, panggung apakah ini yang begitu nyinyir saat aku sedang bicara. Sepertinya semua kata-kataku ini adalah bahan candaan dan bahan bullian. Kadang aku iri pada Eyang sepuh,   Sang Begawan Abiyasa, ia sudah renta dan terlihat lemah tapi kata-katanya selalu menjadi panutan setiap aktor dan aktris, sampai saat ini. Memang terlihat ia tidak punya kepentingan apa-apa selain  seperti pepatah jawa mengatakan  Lengser Keprabon Madheg Pandita.

Aku ini ayah yang baik ayah yang peduli pada anakku, begitu juga istriku Dewi Gandari mendorong anak sampai ke puncak kekuasaan tertinggi apanya yang salah. Yang salah itu persepsi orang-orang terhadap keluargaku. Duryudhana itu adalah masa depanku, ditangannya segala keagungan dan kehormatan keluargaku kusampirkan kepundaknya. Maka apa salahku jika anakku menang dengan segala cara, toh hartaku masih belum akan habis tujuh turunan, berkat kesuksesanku sebagai raja yang telah menciptakan banyak kebijakan yang membuai rakyat. Sebagai mantan raja dan sekarang sedang menepi, merintis jalan menuju tahta itu ada dalam benak setiap mantan raja.

Sekarang Raja Astina adalah Prabu Puntadewa. Kata orang ia sangat cekatan menciptakan proyek-proyek besar untuk menuju rakyat Astina Gemah ripah loh jinawi. Para punggawanya juga sangat cekatan, apalagi  Srikandi, Sembadra, dan istri-istri para pangeran yang dengan penuh dedikasi mendampingi suaminya membangun bangsa. Para Pandawa itu bukan habitatnya tinggal di Astina mereka harus dienyahkan dari Astina. Sebetulnya aku senang dengan gaya kepemimpinan Puntadewa, tapi demi anakku aku harus menciptakan huru hara, karena Trah raja Astina memang sudah digariskan kepada Kurawa. Demi semua itu aku ingin menciptakan prahara, sehingga trah Pandu itu itu enyah dari negeri ini.

Cerita wayang carangan diambil dari cerita Mahabharata setelah membaca buku tentang wayang ternyata intrik politik memang akan selalu ada di segala zaman, Semoga tidak terjadi di negeriku ini, karena aku menginginkan negeriku damai. Salam damai bagi semua. 

*Lengser Keprabon Madeg Pandito (Meninggalkan gelanggang politik, menjadi guru bangsa; terjemahan bebasnya)

Jakarta, 10 Februari 2017

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu