Dalam memahami ayat Al-Quran, kita mesti jeli dan membacanya secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong. Misal, ayat al-Maidah 5:51 menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) [auliyaa]; mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka...”
(Catatan: terjemahan di atas adalah versi Depag terbaru. Dalam terjemah Al-Quran Depag versi lama, kata “auliyaa” diterjemahkan menjadi “pemimpin-pemimpin[mu]”.)*
Tetapi, di surah yang sama, Al-Maidah 5:82, dinyatakan begini:
"Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya [mawaddah] dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani". Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri.”
Nah lho, bagaimana ini? Di Al-Maidah 51, Allah melarang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia. Tetapi, di Al-Maidah 82, Allah justru menyatakan bahwa orang Nasrani paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman.
Dan, yang lebih seru, kata “persahabatan [umat Nasrani]” dalam Al-Maidah 82 itu adalah terjemahan dari kata Arab “mawaddah”, yang juga berarti hubungan cinta-kasih. Kata “mawaddah” yang sama digunakan Al-Quran untuk menggambarkan hubungan cinta-kasih antara suami-istri: “Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya [litaskunuu ilaiha], dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih [mawaddah] dan sayang [rahmah].” (Al-Quran, S. Ar-Rum 30:21).
Jadi, Allah menggunakan kata yang sama --mawaddah (cinta kasih)-- untuk menggambarkan hubungan cinta suami-istri (QS Ar-Rum 30:21) dan untuk menggambarkan hubungan orang Islam dan orang Nasrani (QS Al-Maidah 5:82)! Tapi, di Al-Maidah 51, orang beriman dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia. Bagaimana ini?
Mungkinkah ayat Al-Quran saling bertentangan? Buat orang Islam, jelas tidak mungkin! Lantas, bagaimana memahami dua ayat yang tampak kontradiktif ini?
(Logika gampang-gampangannya sih gini: walau saling cinta, suami-istri saja bisa ribut, benci, dan cerai juga tokh? Bisa cerai selamanya, tapi bisa juga rujuk lagi. Jadi, mawaddah [cinta-kasih] antarumat beragama pun fluktuatif tergantung situasi dan kondisi).
Titik terang akan muncul ketika kita membaca Al-Quran Surah Al-Mumtahanah [60]:8-9 ini:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu [ta-wallau] orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan [yatawallahum], maka mereka itulah orang-orang yang lalim.” (QS 60: 8-9)
(Catatan: tawallau/yatawallahum [kata kerja] = kamu/dia/mereka menjadikan (mereka) sebagai kawan. wali [jamak: awliyaa; kata benda] = kawan.)
Jadi, dari QS 60:8-9 ini, kita tahu bahwa larangan berteman setia dengan nonMuslim dalam Al-Maidah 51 hanya berlaku jika nonMuslim itu memerangi umat Muslim karena alasan agama/dan atau karena mereka mengusir umat muslim dari negerinya sendiri.
Jadi, dari sini kita tahu bahwa larangan dalam QS Al-Maidah 51 itu bukan larangan yang berlaku umum, tetapi larangan yang berlaku khusus hanya dalam situasi ketika umat Muslim diperangi nonMuslim.
Jika kita menelaah kitab-kitab tafsir, akan semakin jelas bahwa ayat Al-Maidah 51 itu memang turun dalam konteks perang (lihat misalnya artikel Prof KH Nadirsyah Hosen ini: “Awliya”). Jadi, sebenarnya aneh sekali jika ayat Al-Maidah 51 yang berkonteks perang itu dipakai dalam suasana damai. Karena, memaksakan menerapkan larangan QS Al-Maidah 51 dalam situasi damai justru akan bertabrakan dengan QS Al-Maidah 82 dan QS Al-Mumtahanah 60:8-9.
Dalam ilmu fikih dan ushul fikih, penting sekali mengetahui illat: motif/alasan penetapan hukum, agar kita tidak keliru menggeneralisasi perintah/larangan khusus, atau sebaliknya: keliru mengkhususkan perintah/larangan umum.
Untuk memahami soal ini lebih dalam, berikut ini tulisan berharga dari Prof KH Nadirsyah Hosen, profesor hukum Islam di Monash University Australia, sekaligus rais syuriah PCI NU Australia-New Zealand. Beliau ini putra alm. KH Ibrahim Hosen, penggagas dan ketua Komisi Fatwa MUI periode 1980-2000:
wallahu a'lam
ilham ds (penerjemah dan editor lepas di sebuah penerbit buku-buku Islam tanah air)
________________
*Catatan: di terjemah Al-Quran Depag versi lama, kata “auliyaa” diterjemahkan menjadi “pemimpin-pemimpin[mu]”; di terjemah Al-Quran Depag versi terbaru, “auliyaa” diterjemahkan menjadi “teman setia[mu]”. Simak alasannya di sini: Penjelasan Kenapa 'Awliya' Pernah Diterjemahkan 'Pemimpin' di Masa ORBA | by @Nadir_Monash | oleh Prof KH Nadirsyah Hosen.
** Lihat juga: Al-Maidah 51: MUI vs Buya Syafii Maarif
*** LIhat juga: Apalah arti lidahku berseru Allahu Akbar, jika...
Ikuti tulisan menarik ilham ds lainnya di sini.