x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Doa NU Doa Indonesia

Pernyataan PBNU menjelang Pilkada Serentak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Doa NU, Doa Indonesia

 

Allahumma la tusallith ‘alaina bidzunubina man laa yakhafuka walaa yarhamunaa”, demikianlah ajakan doa yang dinyatakan oleh KH. Said Agil Siradj untuk menghadapai Pilkada serentak 15 Februari 2017. Doa yang berarti, “Ya, Allah, ya, Tuhan kami, jangan kuasakan atas kami, karena kesalahan-kesalahan kami, penguasa yang tak takut kepadaMu dan tak berbelas kasihan kepada kami”, sangat relevan untuk memberi amunisi spiritual kepada siapapun. Doa ketua PB NU dan seluruh Nahdliyin ini menjadi acuan yang pas bagi seluruh anak bangsa untuk sebuah kebaikan bersama kebangsaaan 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dalam doa itu jelas harapan untuk memilih pemimpin yang tepat untuk kehidupan bersama dalam sebuah Negara bangsa.  Harapan doa yang pertama adalah sebuah keharusan bagi pemimpin untuk takut kepada Tuhan yang maha kuasa. Hubungan vertikal kepada sang pencipta ini memang sulit untuk dicarikan indikatornya. Kerajinan melakukan ritual-ritual ibadah dan tebar pesona kesalehan tidak selalu menghasilkan spiritulitas yang benar dalam hubungan Tuhan-Manusia. Malah tak jarang mereka yang terlihat luar biasa beragama, namun terjebak dalam kasus-kasus yang sangat berlawanan dengan tontonan kesucian yang dilakukan dalam keseharian. Ini sudah tentu berlaku pada semua pengikut agama. 

 

Ironisnya, malah orang bisa tidak lagi takut akan Tuhan ketika dengan mudah memakai sumberdaya yang dianugerahkan sang Pencipta untuk merugikan orang lain. Yang kerap terjadi adalah bukan lagi pencucian uang (money laundering), tetapi malah usaha pencucian dosa (sin laundering), dengan menggunakan uang dan materi yang didapat dengan tidak halal untuk, maaf, menyuap Tuhan. Kendati kita semua yakin  bahwa usaha ini sia-sia, namun yang terlihat di mata manusia adalah peragaan kebaikan dab kedermawanan dimana hanya yang bersangkutan tahu bahwa ia mendapatkannya dengan cara menentang kehendak Tuhan. Takut akan Tuhan adalah sebuah niatan, usaha dan perilaku hidup yang berusaha menjaga komunikasi dengan Yang Maha Kuasa sehingga tidak gegabah melakukan tindakan ritual menjadi kosong tanpa menjaga komitmen untuk taat dan patuh kepadaNya. Pemimpin dengan kualitas seperti inilah yang pasti diharapkan dalam doa ini.

Harapan kedua adalah ketika doa dilantunkan untuk pemimpin yang berbelas kasihan kepada warganya. Sebuah harapan yang sangat mulia untuk bisa memilih seorang pemimpin yang tidak keblinger hanya mementingkan kepentingan golongannya, kelompoknya, keluarganya apalagi dirinya sendiri. Belas kasihan adalah panggilan hati yang berusaha melihat semua orang tidak menjadi korban dalam berbagai pengambilan keputusan sang pemimpin. Idealnya ketika ia menjadi pemimpin, ia tidak lagi melulu berpikir kelompoknya atau keluarganya saja, tetapi mampu menjadi pengayom bagi semua tidak terkecual. Nah, dalam hal inilah doa ini menjadi sangat relevan, ketika justru sudah banyak contoh kasus  pemimpin yang “kejeblos” menjadi maruk mengutamakan niatan jahat untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.  Apalagi diimbuhi kepentingan politik, maka menghalalkan segala cara untuk menjaga kekuasaannya, sang pemimpin bukan saja lupa diri, tetapi dilupakan melihat orang lain sebagai warganya untuk penumpukan kekayaan, kuasa dan pengaruh.

Berbelas kasihan kepada sesama apalagi kepada warga yang dipimpinnya adalah nilai luhur kemanusiaan. Dengan modal ini, seorang akan melihat manusia lain sebagai teman seperjalanan dalam kehidupan.  Semua perbedaan yang ada karena takdir, bisa dengan manis dikurangi karena tangisan manusia lain seberapapun berbedanya adalah tangisan ke”sesama”an. Kesamaan demi kesamaan inilah yang membuat seorang pemimpin bisa bijak memanusiakan manusia lain. Ketika pembedaan semakin keras membuat manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya dalam persaingan tribalisme akut, maka belas kasihan akan menjadikan pemimpin sadar bahwa, idealnya ia harus bisa memperhatikan setiap manusia dengan bela rasa yang kental untuk menguatkan dan menerima. Memartabatkan manusia lain haruslah menjadi prioritas utama seorang pemimpin yang diharapkan  oleh doa tulus ala Nahdliyin ini. Indonesia yang dikembalikan kepada “khittah” Bhineka Tunggal Ika, walau berbeda harus disatukan karena belas kasihan.

Menariknya yang kita hormati “Yai” Said Agil Siradj sebagai representasi resmi Nahdliyin mengkaitkan ulasannya per 10 Februari 2017 ini dengan semangat NU yang ingin memproduksi diskursus Nusantara sebagai ijtihad tiada henti. Ketika ia mengutip Gus Mus dengan menyatakan,”Warga NU itu orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia”, ia kembali menegaskan bahwa ada aspek keIndonesiaan yang tidak bisa ditinggal tanggalkan dalam keagamaan manusia Indonesia. Ruh keIndonesiaan ini dimulai dari Islam dan perlu juga dielaborasi dan dihidupi oleh semua agama tidak terkecuali. Kita Indonesia menjadi pemersatu dalam upaya-upaya menggunakan hak pilih siapapun sebagai pribadi, tapi sekaligus juga harus dihidupi oleh siapapun pemimpin yang terpilih. Ketegasannya ia nyatakan dengan lantang kepada siapapun yang tidak menghidupi empat pilar PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45) untuk, “Kalau tetap ngotot ya cari negara atau planet lain. Jangan di Indonesia.” 

Sungguh sebuah presentasi keIslaman yang kaffah disandingkan dengan KeIndonesiaan yang utuh disajikan dalam komunikasi publik menjelang Pilkada dengan judul “Ketua Umum PBNU: Warga NU silakan pilih nomor berapa saja, asal bertanggung jawab”. Sebagai organisasi masa terbesar di Negara ini, himbauan dan ajakan yang didasari doa tulus ini menolong setiap anak bangsa  untuk 4 hari ke depan bisa menggunakan hak pribadinya sebagai warga Negara untuk tidak terjebak kepada sentimen apapun selain niatan tulus untuk menghidupi semangat kebangsaan. Hingar bingar PIlkada dalam pertarungan publik di dunia nyata maupun maya yang terbelah dengan menggunakan sentimen-sentimen sektarian, bahkan juga memakai umat Nahdliyin atau umat beragama apapun,  baginya harus dikembalikan kepada marwah kebangsaan, yaitu kewajiban konstitusi. Kewajiban konstitusi untuk memilih dan dipilih adalah hak pribadi yang sederhana dan mendasar sekali. Ajakan kepada warga NU ini pasti sangat tepat diberikan kepada siapapun anak bangsa yang hidup untuk berkebangsaaan dalam upaya-upaya muamalah bersama untuk kebaikan.

 

Kembali Islam dan pengaruh baiknya hadir di jagat raya  kali ini dalam  Negara Bangsa Republik Indonesia. Pada saat panutan semakin sulit dicari, kebingungan menjadi gorengan para politisi buruk dan fitnah bertebaran dimana-mana untuk menghalalkan segala cara bagi kemenangan berkekuasaan, terang ajakan memilih yang memakai hak pribadi ini sangatlah mencerahkan sekaligus melegakan. Bagi NU kehati-hatian untuk tidak bidzunubina (sebab kesalahan kami), karena pemilih yang asal pilih karena hal-hal lain selain kemaslahatan bersama dan kebaikan bangsa akan juga memilih pemimpin yang ngawur. Semua elemen bangsa kembali diingatkan oleh kearifan Islam Indonesia dalam wujud Nahdlatul Ulama dengan santun untuk menggunakan hak pilih. Indonesia kembali diberikan hadiah bernilai untuk tetap melanjutkan kehidupan kebangsaan. Hati nurani setiap pemangku kepentingan disegarkan dan diraih kembali untuk menyatu sebisa mungkin kendati masih bisa berbeda dengan pilihan.

 

Kita semua bisa bersepakat bahwa Doa NU adalah Doa Indonesia. Doa ini tepat waktu dan tepat sasaran untuk menghadikan Indonesia yang bermartabat, pilihan yang sehat, kewargaan yang menghormati kebhinekaan dan hati nurani yang dicerahkan untuk tidak salah memilih. Terima kasih Nahdatul Ulama, teruslah mengislamkan Indonesia dengan Islam kebangsaan yang santun dan memartabatkan. Panggilan Rahmatan Lil Alamin sedang terus berkarya dalam kebaikan untuk kejayaan Indonesia Raya.

 

Selamat Memilih Indonesia, pilih pemimpin untuk kebaikan bersama dengan pilihan nurani bukan karena tekanan apalagi nafsu kekuasaan, tinggalkan fitnah dan niatan buruk.

Victor Rembeth

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB