x

Warga membersihkan kuburan massal eks anggota PKI di dusun Plumbon, Ngalian, Semarang, 6 Juni 2015. TEMPO/Budi Purwanto

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Robohnya Kesaktian Pendekar PKI di Dusun Kami

Banyak orang PKI di Dusun kami yang mati dijagal oleh Ansor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir-akhir ini saya sering pulang ke Desa Banggle, desa tempat lahirku yang terletak di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, guna menengok dan ikut merawat ibuku yang sakit tua. Usianya sekitar 92 tahun. Ibuku melahirkanku saat sudah berumur sekitar 45 tahun. Menurut orang modern, kalau ada wanita di atas 40 tahun melahirkan, bisa-bisa anak yang dilahirkan jadi idiot. Risiko bagi ibu itu juga tinggi.

Tapi ibuku boleh dikata seperti orang yang nyawanya rangkap. Saat aku masih umur sekitar satu tahun enam bulan, ibuku menderita keguguran janinnya sampai darahnya tumpah habis. Desa yang miskin, tak ada dokter, tak ada klinik dan saya tak tahu apakah waktu itu sudah ada Puskesmas di kecamatan kami. Hanya bertahan dengan cara-cara orang kuno, ibuku bisa bertahan hidup. Sekarang setelah tua, ibuku berharap segera mati. Tapi dia punya mantera awet hidup yang biasa diucapkan saat ia masih muda. Begitulah manusia. Saat masih muda pengin umurnya panjang. Begitu diberi umur panjang, saat tuanya tak sabar ingin segera mati.

Saya pun hanya bisa berdoa agar Tuhan memberikan jalan yang terbaik, setelah ibuku mogok makan dan mogok berobat. Di balik kesedihanku, ada hal yang membuatku bahagia saat bisa berkesempatan menggendongnya, merawatnya saat dia tak berdaya fisiknya. Apa yang dilakukan anak kepada ibunya tentu tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang telah dilakukan ibu kepada anak-anaknya. Makanya kalau ada orang yang melawan ibunya yang cerewet, apalagi sampai menempatkannya di Panti Jompo, orang seperti itu harusnya bunuh diri saja, sebab tak layak hidup di dunia karena tak punya rasa balas budi kepada ibunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku dan kakakku tertua sering mengobrol di saat kami menunggui ibu kami. Kakak tertuaku adalah anak ke-dua ibuku, seorang pria yang lahir di tahun 1950. Betapa jauhnya selisih umur kami. Anak sulung ibuku konon perempuan, tetapi meninggal saat ia masih kecil.

Lahir di tahun 1950-an, kakakku yang aku panggil Gus Pir itu masih ingat betul peristiwa-peristiwa di sekitarnya pada saat tahun 1965-an. Panggilan Gus ini jangan disamakan dengan Gus Dur atau Gus Mik, para kyai tenar itu. Gus di desa kami adalah panggilan untuk kakak laki-laki. Sedangkan untuk kakak perempuan dipanggil Yu atau Mbak Yu. Beda jauh dengan Gus panggilan untuk anak kyai atau kyai. Meskipun Gus dan Yu itu dari asal kata yang sama, yakni bagus dan ayu. Bagus itu artinya ganteng, ayu itu artinya cantik. Itu salah satu adab Jawa. Kakak cowok yang jelek pun akan dipanggil Gus, dan kakak cewek yang semrawut pun tetap dipanggil Yu. Tapi jangan pernah meremehkan dan menghina ciptaan Tuhan.

Saya pernah mendengar kisah tentang orang PKI di desa kami yang diambil paksa oleh orang-orang Ansor NU di masa Gestok tahun 1965, lehernya dipenggal dipinggir jalan. Saya pun bertanya lebih jauh kepada Gus Pir tentang bagaimana suasana desa kami saat itu. Maklum, saya meninggalkan desa kami untuk mengadu nasib ke wilayah lain sejak tahun 1988. Meski saya juga masih sering pulang ke desa sekali waktu, tapi saya jarang punya waktu ngobrol panjang dengan saudara-saudaraku, karena tempat tinggal kami yang berjauhan.

Pada jaman Gestok itu Gus Pir berumur sekitar 15 tahun. Remaja desa kami umur 15 tahun itu jaman dahulu sudah biasa memikul balok kayu jati, atau menyeberangi sungai desa yang banjir saat pulang dari hutan mencari kayu. Jaman itu disebut sebagai jaman “larang pangan” atau jaman kesulitan dalam pangan. Orang desa kami biasa makan nasi jagung, nasi gaplek atau umbi-umbian dari hutan. Kalau mau makan daging ya berburu celeng (babi hutan), kijang, biawak atau bagi yang doyan daging ular ya makan daging ular. Maklum, orang-orang desa yang dikelilingi hutan jati lebat saat itu.

Pada jaman sebelum terjadinya Gestok tahun 1965 itu, kata Gus Pir, di desa kami ada tokoh PKI bernama Pak Yadi. Dia adalah seorang mandor hutan jati sehingga dipanggil Mandor Yadi. Mandor Yadi inilah yang mempengaruhi warga Desa Banggle agar menjadi pengikut PKI dengan iming-iming bahwa mereka para pengikut PKI akan diberikan tanah. Maka warga Desa Banggle yang mayoritasnya adalah kaum abangan alias muslim KTP banyak yang tertarik menjadi simpatisan PKI. Gus Pir menyebutnya sebagai “orang-orang yang tidak tahu apa-apa.” Mereka tidak tahu apa-apa tentang PKI. Mereka tahunya dijanjikan akan diberikan tanah.

Selain Mandor Yadi, ada seorang pemuka PKI di Dusun Banggle yang bernama Pak Rus. Dia adalah pendekar yang sakti. Kata Gus Pir, para pendekar PKI ini termasuk orang yang anggak. Anggak itu artinya sama dengan sombong. Sombong karena kelebihan ilmu kanuragan yang dia miliki.

Pada waktu itu Dusun Banggle masih merupakan dusun yang berada dalam wilayah administrasi Desa Ketandan. Di Desa Kentandan inilah yang paling banyak anggota PKI-nya dibandingkan di Dusun Banggle. Di Desa Ketandan ada juga seorang pendekar anggota PKI bernama Mbah Mulat. Pernah suatu saat Mbah Mulat ini ditusuk keris oleh musuhnya. Tapi Mbah Mulat kebal, kulitnya tak bisa ditembus senjata tajam. Orang yang menusuknya itu dirampas kerisnya lalu kerisnya dilipat-lipatnya sehingga keris itu remuk patah-patah. Di jaman pembasmian para anggota PKI, Mbah Mulat bersembunyi di dalam rumpun pohon bambu (barongan) dan tak ada orang yang mendekatinya hingga suasana normal lagi. Mbah Mulat pun selanjutnya tinggal di dalam rumpun tanaman bambu itu hingga ia meninggal dunia di situ.

Pada jaman pembasmian para anggota PKI, para anggota PKI dari Desa atau Dusun Banggle diselamatkan berkat lobi orang yang bernama Badrun. Pak Badrun ini warga Desa Sawahan, Kecamatan Lengkong yang menikah dengan perempuan Desa Banggle. Pak Badrum mempunyai hubungan saudara dengan petinggi Ansor NU di Desa Sawahan. Pak Badrum membawa ratusan orang yang dicurigai sebagai anggota PKI ke Desa Sawahan untuk menyatakan “bertobat”, sehingga banyak orang Desa Banggle yang selamat berkat jasa lobi Pak Badrun kepada Ansor NU.

Gus Pir menceritakan beberapa kisah pembasmian orang-orang PKI di Desa Banggle dan Ketandan yang dilakukan oleh para pendekar Ansor NU Desa Sawahan, Kecamatan Lengkong, Nganjuk. Ada seorang Mantri hutan bernama Pak Wisnu yang dipenggal kepalanya oleh orang Ansor, tapi besoknya ternyata Wisnu masih hidup. Dia ditangkap lagi dan dipenggal kepalanya lagi, tapi besoknya dia hidup lagi. Akhirnya Pak Wisnu membeberkan rahasia ilmunya. Agar dia tidak hidup lagi maka ia meminta agar kepalanya dikubur terpisah dengan badannya dengan dipisahkan oleh aliran sungai.

Lain halnya dengan Pak Dateng. Dia orang PKI di Desa Ketandan. Saat dipenggal kepalanya oleh orang Ansor, Pak Dateng masih bisa melawan dalam keadaan tanpa kepala. Orang Ansor yang berhasil memenggal kepalanya lengah, ditendang kemaluannya hingga ia meninggal dunia. Jadi si pemenggal kepala Pak Dateng itu juga meninggal dunia.

Sedangkan Pak Rus, tokoh PKI di Dusun Banggle ditangkap Ansor, lalu dipotong telinganya sebelum dipenggal kepalanya. Ada juga orang PKI dari Surabaya yang lari ke Dusun Banggle juga akhirnya ditangkap dan dipenggal kepalanya.

Soal kesaktian orang-orang desa kami itu saya ya percaya saja, wong saya saat masih kecil juga tahu banyak orang sakti di desaku. Contohnya dulu kakak saya pernah punya jimat bernama kul buntet. Jimat itu berfungsi agar pemiliknya tidak bisa dilukai senjata tajam. Kalau ada peluru yang menunju tubuhnya maka peluru itu akan meleset. Selain itu jimat tersebut juga bisa ditanyai ke mana perginya hewan ternak atau orang yang dicari. Jimat kul buntet itu ditaruh dalam kantong kecil akan bergerak berayun-ayun untuk menjawab pertanyaan orang. Saya sudah pernah mencobanya sendiri saat saya kecil dulu. Bapakku termasuk orang yang punya ilmu-ilmu kesaktian kuno. Pada jaman saya kecil, bapakku kalau mengusir hama sawah hanya dengan berpuasa dan ngobrol dengan hama tersebut tampak komat kamit nongkrong di penggir sawah, lalu hama tersebut pergi hilang. Nggak pakai pestisida.

Pembasmian orang-orang PKI di masa Gestok yang terjadi di desa kami dan sekitarnya saat itu dipimpin oleh tokoh Ansor Desa Sawahan, Kecamatan Lengkong yang bernama Pak Romli. Kata Gus Pir, di sekitar rumah Pak Romli di Desa Sawahan itulah dulu para orang PKI yang dibunuh itu dikuburkan. Mungkin jika sekarang dicari masih ada sisa-sisa kerangkanya. Sebelum dilakukan penjagalan massal itu sudah disiapkan lebih dulu lubang-lubang untuk mengubur para kandidat terjagal yakni orang-orang PKI dan para simpatisannya.

Menurut Gus Pir, semua sumur di sawah-sawah desa-desa Banggle, Ketandan dan lain-lainnya dijadikan kuburan massal para PKI yang dijagali. Sumur-sumur itu lalu ditimbun dan ditutup permanen.  

Apa yang terjadi di dusun kami yang berada di tengah hutan jati lebat jaman dahulu itu (tapi sejak jaman presiden Gus Dur hutan jati di sekitar kami habis nan gundul), hanyalah slilit sejarah di antara badan sejarah nasional tentang Gestok di masa itu. Tapi dari apa yang dikisahkan oleh Gus Pir itu saya membayangkan ada ribuan orang di desa kami dan sekitarnya yang menjadi korban propaganda kemlinthi, kebohongan politik para tokoh PKI yang sombong karena ilmu kanuragan mereka, hingga akhirnya warga yang tak tahu apa-apa itu menjadi korban pembasmian kebengisan orang-orang Ansor NU waktu itu. Politik memang banyak menjadikan rakyat kecil menjadi tumbal usaha-usaha dan pertarungan kaum elit dalam meraih kekuasaan. Sungguh jancuk!

Mungkin itu hampir sama dengan yang terjadi di jaman Revolusi Perancis di mana para revolusioner saling bunuh dengan kaum kontrarevolusioner, sehingga ada ratusan ribu orang mati dalam perang saudara.  

Kisah menyedihkan di desa kami itulah kemudian yang membuat bapakku memberikan pesan saat aku masih kelas 3 SD. Katanya, “Awake dhewe aja melu-melu golongan santri, lan ojo melu-melu golongan PKI! Soale wong-wong santri lan wong-wong PKI bakal musuhan nganti mbesuk.” (Kita jangan menjadi golongan santri atau golongan PKI! Sebab kedua golongan tersebut akan terus bermusuhan terus sampai di masa depan kelak.) Tentu saja saya harus menafsirkan pesan bapakku itu begini: “Golongan muslim dan golongan komunis akan terus-terusan bermusuhan. Tak ada yang tahu kapan permusuhan itu akan berakhir.”

Tapi sekarang saya menjadi seorang muslim yang telah meninggalkan lebih dari separoh tradisi abangan kami, gara-gara saya bersekolah dan banyak membaca buku. Buku-buku apa saja saya baca, tentu saja termasuk buku tentang marxisme dan komunisme. Dan yang penting haruslah membaca buku-buku sejarah apapun.

Pada saat saya sudah mulai memahami beberapa versi sejarah, memang saya berpendapat bahwa PKI telah menjadi korban di negara ini. Tapi setelah saya makin banyak membaca dan berbicara dengan para saksi sejarah, saya kini berpendapat bahwa dahulu banyak orang PKI yang, seperti orang-orang partai lainnya, sok 'kemlinthi'. Dalam memahami komunisme pun kini saya juga berkesimpulan, andaikan negara ini menjadi negara komunis, mungkin tak akan ada partai-partai lain berhaluan nonkomunis yang boleh hidup, sebab komunisme hanya toleran kepada komunisme dan yang sepaham dengan komunisme saja, sebab cita-citanya adalah pembasmian kelas. Kontrarevolusi harus dibasmi.

Tapi mungkin juga akan lebih membahagiakan jika partai-partai politik di negara ini dibubarkan semua dan diganti dengan sistem arisan kekuasaan di mana semua orang tanpa diskriminasi ekonomi dapat ikut arisan kekuasaan itu. Karena rasanya ya sama saja, diperintah oleh orang pintar atau orang tolol keadaannya ya tetap ngenes begini negara ini. Pemilu dengan partai ini dan itu hanya menjadi ajang adu domba rakyat. Dan itu biadab. Yuk kita arisan saja!

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler