x

Iklan

Wawan Agus Aji Pamungkas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepak Bola Sebagai Alat Pemersatu Bangsa

Sebuah cita-cita dari seorang Bapak pendiri PSSI, Ir. Soeratin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak bisa dipungkiri kalau sepak bola adalah olahraga favorit masyarakat dari lapisan paling elit hingga yang paling melarat di segala penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, hanya sepak bola yang sekarang ini mampu menyatukan kalangan masyarakat di tengah panasnya isu agama. Dalam konteks ini, Timnas Indonesia.

Tak bisa dipugkiri, Timnas Indonesia di ajang Piala AFF 2016 yang mampu menembus babak final bak mata air di gurun pasir. Mereka mampu mendinginkan suasana ditengah gersangnya isu agama. Memang, ketua PSSI pertama, Soeratin Sosrosoegondo pernah mengatakan bahwa sepak bola merupakan alat perjuangan Bangsa, yang harus dilakukan bersama-sama.

Hampir senada dengan kakeknya, cucu Soeratin, Wuly Soekarthon, berharap mimpi kakeknya itu dapat terus dilanjutkan, di era sekarang ini yang dahulu sepak bola menjadi alat perjuangan, kini menjadi alat pemersatu. “Saya berharap sepak bola adalah alat pemersatu bangsa, seperti cita-cita kakek saya,” kata Wuly saat diundang PSSI di HUT PSSI April, 2012 silam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari zaman ke zaman, sepak bola di Indonesia sendiri tak lepas dari yang namanya gesekan. Beberapa daerah yang kekeuh dan fanatik terhadap tim lokalnya, cenderung lebih mudah untuk rusuh dan terpecah. Namun, semua bersatu ketika Timnas sedang berlaga.

Meski, tak sedikit juga para suporter ini membuat semacam rules take & give. Rules ini tak pernah tertulis dalam sebuah perjanjian, hanya kesadaran masing-masing. Contohnya, satu kelompok mengawal klubnya ke kota lain, suporter tuan rumah menyambut dengan makanan, atau minuman khas kota tersebut. Rules ini berlaku sebaliknya jika tuan rumah di kemudian hari bertandang ke kota tamunya.

Dunia sepak bola Indonesia memang unik. Kadang tak bisa dinalar logika. Ada yang mengatakan pula bahwa football is my religion. Jadi, mendukung tim kebanggan adalah sebuah ibadah. Biasanya, tipikal suporter seperti ini akan melakukan apa pun agar dapat membela tim kebanggaannya.

Mendukung tim lokal dengan segenap cinta dalam kurun waktu satu dasawarsa ini menjadi sangat populer. Tak dapat dipungkiri, kultur yang diterapkan sepak bola di Sleman membawa perubahan signifikan dan banyak mempengaruhi dunia sepak bola Indonesia.

Diakui atau tidak, Brigata Curva Sud (BCS), salah satu kelompok suporter baru PSS Sleman yang membawa ideologi ultras membawa sesuatu yang baru di dunia sepak bola Indonesia. Mengenakan sepatu, pakaian rapi, bernyanyi selama 90 menit adalah aturan yang mereka pegang teguh. Merambat ke konteks lain, sepak bola di Sleman bisa dikatakan yang paling sehat dalam urusan mandiri menghidupi.

Hadirnya BCS memang membawa perubahan di dunia sepak bola Indonesia, diakui atau tidak, memang itu yang terjadi. Namun, masih banyak pula kelompok suporter yang masih memegang paham suporter Indonesia. Seperti tetap mencantumkan nama ‘mania’ pada belakang nama suatu kelompok suporter, di saat banyak kelompok lainnya menggunakan istilah berhabasa Inggris seperti ‘boys’ atau ‘ultras’.

Tergerus kultur luar, atau pun tidak, bukanlah hal besar yang harus diperdebatkan. Lebih baik melihat dampak yang terjadi selama satu dasawarsa ini. Jumlah penonton di tribun semakin padat, perempuan-perempuan semakin aman untuk datang ke tribun, anak-anak tidak ragu lagi turut bernyanyi di tribun. Dan hal-hal lain yang pada awal 2000-an tak lazim kita lihat.

Di Indonesia, secara masif juga berkembang kelompok suporter layar kaca. Suporter layar kaca adalah kelompok suporter yang mendukung tim luar negeri, dibilang layar kaca karena sebagian besar mereka hanya dapat menyaksikan tim kebanggaan lewat TV.

Kelompok ini juga memiliki regional-regional dalam setiap kota, terlebih tim-tim besar seperti Manchester United, Barcelona, Arsenal, Juventus, Real Madrid, dll, dapat dipastikan memiliki kelompok suporter tiap kota di Indonesia.

Lantas, apa hubungannya sepakbola luar negeri dengan persatuan bangsa? Para suporter layar kaca ini, memiliki suatu acara yang biasa disebut Gathering Nasional atau Gatnas. Gatnas inilah momen basis suporter dari seluruh Indonesia berkumpul di satu kota yang tempatnya telah disepakati pada pertemuan sebelumnya. Contoh, Hammers Indonesia pada Gatnas 2016 lalu dilaksanakan dua hari di Surakarta. Hammers Indonesia adalah kelompok suporter West Ham United, tim medioker Premier League

Pertanyaannya, apakah cita-cita pendiri PSSI, Ir. Soeratin yang bermimpi sepak bola bisa menjadi suatu alat untuk menyatukan bangsa sudah terwujud? Mungkin, bisa kita jawab jika sepak bola Indonesia sedang menuju hal tersebut. Musuh para suporter bukan lagi kelompok suporter lainnya, melainkan para mafia yang mempermainkan jalannya laga-laga di Indonesia.

Mafia, konon katanya berperan penting dalam kompetisi yang bergulir di Indonesia, mulai dari pengaturan skor hingga menjadikan sebuah klub juara kompetisi, hanya saja sejak dulu hingga kini, semua bisa dipesan mafia.

Namun, sejauh ini PSSI belum mampu membongkar dalang-dalang mafia sepak bola di Indonesia. Semenjak terjadi sepak bola gajah antara PSS Sleman dan PSIS Semarang akhir 2014 lalu, PSSI dibekukan oleh Menpora, hingga pembekuan itu dicabut, masih belum keluar siapa dibalik dalang sepak bola gajah tersebut. Korbannya adalah pemain dan pelatih, padahal mereka hanya ‘wayang’ yang digerakkan oleh ‘dalang’.

Pekerjaan rumah bagi setiap pecinta sepak bola di seluruh Indonesia, untuk turut menjadi kontrol kebijakan yang diambil PSSI. Hingga tidak hanya sekedar menjadi fanatik buta, “yang penting bisa ke stadion dan nyanyi-nyanyi”. Padahal, kekuatan sebenarnya sepak bola Indonesia adalah ada pada suporternya.

PSSI adalah pemerintah, dan suporter adalah layaknya masyarakat yang harus kritis apabila kebijakan yang diambil pemerintah dirasa kurang tepat untuk memajukan sepak bola di Indonesia. Semoga, dengan dicabutnya pembekuan dari Menpora untuk PSSI, dan mengeluarkan Edy Rahmayadi menjadi Ketua Umum PSSI dalam Kongres Biasa 2016 yang dilaksankan Kamis (10/11/2016) lalu, dapat membawa perubahan sepak bola Indonesia, di dalam negeri atau pun di kancah internasional.

Ikuti tulisan menarik Wawan Agus Aji Pamungkas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler