x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mawar Berduri Pilkada Hari Ini

Jauh-jauh kekuasaan dikejar, pada akhirnya akan melukai kau sendiri. Kekuasaan itu layaknya sekuntum mawar, indah dipandang dari jauh namun bisa melukai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jauh-jauh kekuasaan dikejar, pada akhirnya akan melukai kau sendiri. Kekuasaan itu layaknya sekuntum mawar, indah dipandang dari kejauhan. Dekatilah dengan penuh hasrat, raihlah, hingga kau sadar di kemudian hari, menjadi jelata jauh lebih bahagia dibanding duduk di takhta.  

Sejarah negeri ini adalah sejarah berebut takhta. Tak usah jauh-jauh mencari referensi atau babon sejarah. Buku pelajaran sekolahmu sudah cukup menggambarkan semua itu. Hanya, pertumpahan darah dan cerita kelam tidak bisa masuk ke ruang kelas sekolah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi kita setidaknya tahu bahwa Ken Arok merebut si jelita Ken Dedes dari suaminya, Penguasa Tumapel, Tunggul Ametung. Konon, Arok mengorbankan Kebo Ijo sebagai tumbal pembunuhan atas Tunggul Ametung.  Arok berhasil mencuci bersih tangannya dari peristiwa itu. Meski, karma atasnya turun-menurun. Ken Arok yang kelak bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi mendirikan Kerajaan Baru. Akan tetapi, kejayaan Arok pun harus berakhir di tangan anak tirinya Anusapati. Arok meregang nyawa di ujung keris Mpu Gandring yang juga digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung sebelumnya.

Jika kudeta Arok tidak cukup menggambarkan betapa sejarah berebut kuasa telah menjadi kisah sejak lama, mari bergeser sedikit ke ruang waktu yang sedikit lebih dekat. Tentang bagaimana Ayah dan Anak berkonflik. Adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang harus meladeni kedurhakaan anaknya bernama Sultan Haji. Saat tersudut, Sultan Haji meminta bantuan VOC Belanda untuk melawan Ayahndanya sendiri. Alhasil, bala bantuan Belanda datang dengan pasukan pimpinan Kapten Tack yang legendaris itu. Dalam buku pelajaran sejarah, kita tahu Sultan Ageng harus tersingkir dari takhtanya.

Sejarah kekuasaan adalah kisah saling berebut bahkan antarsaudara sekandung. Perjalanan Kesultanan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada abad ke-17 adalah lukisan muram perebutan kekuasaan sedarah. Perebutan kekuasaan yang berujung pada perpecahan wilayah.  

Kudeta Ken Arok mirip dengan cara penguasa Indonesia modern merebut kekuasaan atau peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Istilah kerennya “kudeta merangkak”. Merangkak itu bergerak pelan, mengendap-endap, alih-alih meraih tujuan. Apa yang terjadi 32 tahun kemudian pada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Suharto, yang mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno? Beliau mundur setelah demonstrasi mahasiswa pada 1998, mirip dengan pendahulunya yang terjungkal oleh Angkatan 1966.

Kini, kekuasaan itu diperebutkan dengan cara yang konon elok dalam demokrasi modern. Tak ada kudeta. Semua bisa masuk gelanggang jika memenuhi syarat hukum yang ditentukan. Ada 101 daerah pemilihan. Ada ratusan calon yang ingin bertahan di singgasana atau coba merebutnya dari penguasa lama.

Sejarah memang berulang. Demokrasi adalah mekanisme yang ditempuh untuk duduk di atas singgasana. Ada persoalan di sana? Banyak tentu saja. Mereka yang hendak berebut takhta itu banyak yang memiliki hubungan erat dengan penguasa sebelumnya atau dikenal dengan ‘Dinasti Politik’. Tercatat, Sebanyak 12 calon kepala daerah di 11 daerah diketahui berasal dari dinasti politik yang telah terbangun di daerahnya masing-masing. Entah itu anak, istri, hingga saudara dekat penguasa sebelumnya. Selain itu, ada beberapa calon yang ingin kembali merebut takhta lama yang sebelumnya lepas dalam kontestasi sebelumnya.

Persoalan lain adalah pergeseran medan laga ke ranah dunia maya. Jika dulu pergesekan antarpendukung terjadi di jalan raya atau panggung hiburan, kini semua berlangsung di media sosial. Istilah baru seperti buzzer, nyinyir, playing victim, HOAX, dan lain sebagainya muncul di medan perang satu ini.  Secara medium terkesan lebih modern, namun substansi konfliknya tidak jauh lebih kotor dari konflik di jalan raya atau panggung hiburan.

Kekuasaan itu mawar berduri, Bung. Indah dipandang namun bisa melukai. Jika nanti penguasa baru atau lama kembali duduk di singgasana, bersiaplah untuk terluka. Luka karena kritik dan serangan lawan atau publik yang kian hari kian nyinyir. Namun luka itu lebih baik, ketimbang luka akibat perbuatan sendiri melalui praktik kotor seperti korupsi dan tindakan asusila lainnya.  Jika ingin berkuasa, pastikan nyalimu sekuat baja, hatimu seluas samudera. Kisah berebut takhta bukan hanya milik Ken Arok, sama halnya Pilkada bukan hanya soal Ahok.

 ilustrasi: chatterly (deviantart)

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler