x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zoon Politicon

Politik adalah esensi kehidupan. Sebuah kompetisi yang berebut sudut pada sanubari hati manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Politik adalah esensi kehidupan. Sebuah kompetisi yang berebut sudut pada sanubari hati manusia. Menjadi naluri dalam jiwa-jiwa binatang. Politik adalah sudut dominan yang selalu mencari ruang untuk pertarungan. Naluri yang setia pada rumus-rumus kompetisi –dan   menempatkan satu dua pemenang atau mematikan yang lain untuk dibuang, atau mugkin sekedar dikenang. Politik, disini, adalah keniscayaan dan tak terbantahkan. Bahwa kelahiran manusia, senantiasa berkemas untuk sebuah keberangkatan berperang.

Politik dimulai sejak nutfah terpancar dalam lorong-lorong pengembaraan yang surgawi. Beribu-ribu benih berebut menjadi sesuatu yang kita sebut bayi. Sebuah kelahiran yang diawali pertarungan hingga sampai pada posisi manusia yang berwujud dan rupawan. Dalam dunia yang lebih terang –manusia melanjutkan membangun arena pertarungan untuk sebuah cinta, harta, wilayah dan kekuasaan.

Aristotels, kemudian –secara sosiologis-filosofis, meneyebutnya sebagai zoon politikon. Sebuah realitas alamiah manusia dalam sebuah masyarakat untuk saling mempengaruhi, membangun benteng-benteng dominasi manusia satu atas manusia lain. Sebuah inter-relasi yang saling tarik menarik dalam posisi cinta, ekonomi atau kehormatan sosial. Di sini, politik adalah ruang yang alamiah dalam kesadaran manusia. Sebuah kombinasi determinisme-dialektis yang diterangkan Freud sebagai Id, ego dan super ego.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kombinasi psikoanalisis Freud adalah wilayah pertarungan yang awal dan personal bagi individu manusia. Kemenangan diantara ketiganya lantas mampu mengahadirkan kisah-kisah dramatik dari lakon politik manusia. Kita membaca sejarah Hitler, fasisme Musolini atau dominasi Amerika dalam peta politik internasional. Kita juga membaca kisah-kisah cinta yang bahagia atau menderita dari hasil politik hasrat id.

Kesadaran politik modern, sudah hadir sejak manusia membangun kompromi dalam sebuah himpunan masyarakat. Kepasarahan setiap individu pada individu yang lebih dominan mengahasilkan sebuah riwayat tatanan masyarakat yang adil merata. Baik dalam kesejahteraan atau bentuk keadilan yang lain. Tetapi kita juga mendapati kisah-kisah yang memilukan dan menggetarkan kemurkaan rakyat atas hasil perilaku yang otoriter.

Di sinilah, politik memiliki satu pemenang yang menempatkan diri sebagai tuhan yang menentukan arah kehidupan manusia. Di masa lalu, kita mengenang politisi yang mengontrol dirinya dalam balutan keadilan, membangun sistem sebagai kerangka tujuan keadilan masyarakat. Ia adalah pribadi-pribadi pemenang yang nyaris sempurna sebagai pemimpin. Memiliki kontrol dari harsrat-hasrat id dalam pengertian Sigmund Freud. Tetapi kita juga sulit melupakan orang-orang dalam kekuasaan yang menciptakan sistem dan kesengsaraan tak bertepi dengan hasrat-hasrat ekonomi.

Sistem politik modern dengan spririt demokrasi –sering membuat kita terpesona. Kita lantas mempercayainya karena ia telah menjadi dominan. Seperti halnya bagimana kita mengimani ke’ada’an tuhan atau produk-produk yang tak dibutuhkan dijejalkan dalam persepsi kita melalui iklan.

Terlalu jauh bagi kita bersangka buruk terhadap rekayasa Rockefeller, misalnya, bagiamana ia membentuk kebudayaan dunia melalui tangan-tangan kekuasaan dunia dan terorisme yang diciptakan. Dalam jarak kekuasaan politik seperti ini, kita adalah mahluk yang pasrah karena tak berdaya dan sulit memahami.

Lalu, apa yang kita dapati dalam politik Indonesia ? Kita bercermin dari keadaan. Memepercayai adalah kerumitan dilematik tersendiri saat ini. Setiap masa, dimana tahun-tahun politik yang ditampilkan dalam pemilu, senantiasa gagal kita percayai tetapi berhasil memaksa kita untuk menerima kenyataan pahit untuk kembali menjalaninya sebagai kutukan sisyphus yang abadi. Dan begitulah, apa adanya – kita harus setia menerima kenyataan dan tak henti berharap –sebab, bagaimana pun kita tak bisa menghindar, kita adalah mahluk zoon politkon.[] ilustrasi: lukisan Acil Nurul hayat

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler