x

Massa dari Gema Demokrasi menggelar unjuk rasa menuju Istana Merdeka, di Merdeka Utara, Jakarata, 21 Mei 2016. Dalam aksinya mereka menuntut kepada Presiden Joko Widodo menghentikan dan menjamin kebebasan akademik yang lepas dari segala bentuk milite

Iklan

Romanus Ndau

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Terjal Demokrasi ~ Romanus Ndau

Kini 18 tahun kita mengarungi reformasi, demokrasi belum sepenuhnya mampu dijadikan sebagai pedoman hidup bersama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Romanus Ndau Lendong

Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

Tekad reformasi adalah mewujudkan demokrasi. Tekad tersebut didasarkan kredo bahwa demokrasi menjamin kebabasan, kesetaraan dan keadilan. Nilai-nilai tersebut mutlak diwujudkan demi tegaknya prinsip kedaulatan rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kini 18 tahun kita mengarungi reformasi, demokrasi belum sepenuhnya mampu dijadikan sebagai pedoman hidup bersama. Setelah ditindas otoriterisme negara selama 32 tahun, kini demokrasi kembali disandera oleh anarkisme massa. Mirisnya, pluralisme keyakinan keagamaan yang semestinya menjadi sumber kebesaran dan kekuatan, justru dijadikan alasan untuk memecah-belah bangsa.

Kondisi ini membuat demokrasi kembali memasuki jalan terjal dan setiap saat bisa terperangkap kembali dalam otoriterisme negara. Adam Przeworski mengingatkan bahwa jatuhnya sebuah rezim otoriter tidak dengan sendirinya membuat demokrasi mekar dan diterima semua pihak. Sebaliknya, tanpa kontrol ketat dan masih bercokolnya anasir-anasir kekuatan lama justru menjadi peluang untuk kembali menguatnya benih-benih otoriterisme seperti yang terjadi di Cekoslovakia 1968, Brazil 1974, dan Polandia 1981. (Nasikun, 2003:49).

Keadaan ini terjadi karena tiadanya platform bersama bagaimana transisi demokrasi dijalankan. Seperti kita saksikan saat ini, reformasi justru menjadi ruang terbuka bagi berbagai kekuatan politik untuk memerebutkan kekuasaan sekaligus meraih bonansa ekonomi. Tragisnya, aktor-aktor yang dulu gagah perkasa menggulingkan rezim otoriter Soeharto, kini tenggelam dalam pragmatisme politik yang amat menggetirkan. Idealisme ternyata hanya menjadi kedok belaka, karena segera setelah berkuasa, dengan mudah aktor-aktor yang sama menjadi pelaku korupsi yang membuat rakyat kehilangan kepercayaan.

Situasi ini bertambah gawat setiap kali suksesi politik tiba. Secara teoritik, suksesi politik semestinya dilihat sebagai bentuk pengejawantahan dan pembudayaan demokrasi. Suksesi menyediakan ruang dan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan pilihannya secara rasional dan kritis dengan menjadikan perbaikan-perbaikan kehidupan bersama sebagai cita-cita besar yang harus diraih. Sebab itu, kontestasi politik mesti diwadahi pemikiran-pemikiran dan inovasi serta cara-ara terhormat yang darinya dukungan politik diharapkan mengalir.

Realitas politik kekinian menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Gairah akan kekuasaan menjebak pelaku-pelaku politik dalam praktek-praktek yang melawan adab, anti teori dan mengandalkan kekerasan. Tak jarang, keanekaragaman etnis dan agama diaduk-aduk yang membuat rakyat saling curiga dan membenci serta mudah dimobilisasi untuk tujuan-tujuan yang melawan demokrasi. Kekuasaan seakan segalanya, dan apa pun dikorbankan demi meraihnya.

Fenomena mobilisasi massa yang mewarnai pertarungan politik di DKI saat ini merupakan persoalan serius yang jika tidak diantisipasi akan berdampak bagi merosotnya civil society, salah satu pilar penting demokrasi. Alexis de Tocqueville memahami civil society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting), kemandirian, dan keterikatan dengan norma-norma serta nilai-nilai hukum. (Hikam, 1992).

Mengacu pada pandangan tersebut, maka civil society mencakup semua organisasi masyarakat sipil (OMS) yang visi dasarnya diabdikan semata-mata untuk mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat. Organisasi dimaksud meliputi LSM, ormas sosial dan keagamaan, paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan, media massa dan sebagainya.

Secara kuantitatif, OMS terus tumbuh dan melimpah, terutama setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Liberalisasi politik merupakan ranah subur bagi tumbuhnya beragam OMS. Berbagai sumber mencatat bahwa jumlah OMS saat ini mencapai 139.957 buah. Jumlah itu tersebar di kementerian dalam negeri, kementerian sosial, kementerian luar negeri dan kementerian hukum dan HAM. Jika diakumulasi dengan yang belum terdaftar di lembaga-lembaga pemerintah, jumlahnya tentu lebih fantastis lagi.

Sekiranya pendirian berbagai OMS tersebut murni untuk memajukan masyarakat, maka kehadirannya akan menjadi kekuatan yang amat menentukan bagi mekarnya demokrasi. Wadah-wadah masyarakat untuk berhimpun dan berkembang tersedia di mana-mana. Negara juga mendapat kemudahan untuk menemukan mitra dalam menjalankan fungsi-fungsi pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan.

Tetapi persis di sinilah persoalannya. Banyak OMS didirikan tidak dilandasi visi yang jelas, persiapan matang dan melibatkan aktor yang benar-benar kompeten. Tidak sedikit OMS yang keberadaannya hanya indah di atas kertas, karena memang tidak memiliki sumberdaya yang memadai untuk menjalankan berbagai aktivitas. Yang paling menggelisahkan, banyak OMS yang didirikan semata-mata untuk mengkanalisasi hasrat politik dan ekonomi kelompok tertentu.

Fenomena serupa dialami media massa dan kelompok cendekiawan. Beberapa media tak lagi fokus pada aspek informasi dan edukasi tetapi juga menyediakan diri sebagai alat untuk menekan lawan politik. Penggiringan berita dan opini sudah menjadi lazim. Begitu pula kelompok cendekiawan terutama lembaga survei dan pendidikan tinggi. Rasionalitas dan objektivitas survei dikorbankan demi kepentingan sesaat. Kewibawaan kelompok ini kian tergerus akibat praktek korupsi di dunia pendidikan.

Beragam persoalan tersebut menyulitkan OMS untuk berdialog, saling belajar, menyatukan visi dan mensinergikan program. Sebaliknya, berbagai OMS tersebut terus berada dalam iklim persaingan yang kurang sehat, saling mencurigai, membenci dan mengancam. Ujungnya, OMS cenderung terpecah-belah dan sulit dikoordinasikan akibat rendahnya rasa saling percaya serta membutuhkan.

Keadaan ini sudah semestinya diantisipasi. Pertama, secara internal, berbagai OMS hendaknya melakukan evaluasi kritis untuk meluruskan visi dan agenda bersama dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi. OMS harus memelopori sikap hidup yang toleran dan inklusif sebagai prasyarat dasar demokrasi.

Kedua, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas untuk mengantisipasi berkembangnya gerakan-gerakan yang melawan demokrasi dan mencederai kemanusiaan. Desakan pembubaran OMS yang melawan asas kebangsaan apalagi terbukti menyuburkan intoleransi merupakan agendamendesak untuk menyelamatkan demokrasi.

Ikuti tulisan menarik Romanus Ndau lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler