x

Hiba Al-Sharfa, seorang guru pengidap Down Syndrome, tengah mengajar siswa berkebutuhan khusus di sekolah yang dijalankan LSM bernama Right to Live Society, di Gaza, Palestina, 21 Desember 2016. Wanita berusia 27 tahun itu merupakan guru berkebutuhan

Iklan

paulus prabowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dialog dalam Pendidikan Humanis

Mendidik orang muda dengan serius akan mengubah dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada sebuah slogan menarik karya pendidikan abad ke-16 yang cukup terkenal di Eropa, " Institutio puerorum, reformatio mundi, " arti bebasnya, mendidik orang muda dengan serius akan mengubah dunia! Seorang filsuf, N. Driyarkara memaknai pendidikan dengan jelas sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Hominisasi (Latin: homo yang berarti manusia), dipahami sebagai proses pendidikan umum yang membawa seseorang pada kesadaran dirinya sebagai manusia sungguh. Humanisasi (Latin: humanus, yang artinya manusiawi) artinya proses pendidikan selalu diorientasikan pada pembentukan karakter, cara bertindak yang halus, membudaya dan berakar pada peradaban yang luhur. Secara ringkas, pendidikan berarti "pemanusiaan manusia muda."

Pendidikan humanis dengan demikian mengandaikan proses pemanusiaan terus menerus yang integral, holistik, menyentuh bidang kehidupannya baik intelektual (competence), spiritual (conscience),kehendak memperjuangkan nilai-nilai sosial yang luhur (compassion) serta komitmen yang teguh(commitment). Pendidikan tidak sekadar transfer pengetahuan saja, tapi lebih dari itu menyiapkan subjek didik untuk memiliki visi hidup, berkarakter, dan akhirnya mampu menjadi sahabat bagi sesamanya. Pertanyaannya kini adalah bagaimana seluruh potensi, aktualisasi diri dan akhirnya pedagogi yang didukung segala sarananya dapat berkembang optimal?

Pertanyaan ini dapat ditanggapi salah satunya dengan satu kata, dialog. Sejauh mana sekolah sebagai institusi pendidikan membuka kanal-kanal komunikasi dengan para siswa untuk saling berdialog, artinya diandaikan ada proses mendengarkan dengan rasa hormat. Dialog yang dibangun tentu saja yang mengandung suasana persaudaraan, kemerdekaan, kepercayaan, juga rasa aman-nyaman bagi kedua belah pihak untuk merefleksikan proses pendidikan yang terjadi dan dialami. Inilah proses refleksi yang humanis. Refleksi berarti menyediakan momen untuk sejenak melihat sejauh mana proses transformasi di sekolah dialamisecara konkret oleh siswa. Dengan kemajuan teknologi dan komunikasi sekarang ini, kerap kali kita dibanjiri informasi dan bahkan tidak sempat lagi untuk mencerna, mengambil jarak atasnya, dan berefleksi secara mendalam. Dialog menjadi kunci untuk melihatnya secara keseluruhan: siswa mengalami proses belajar (baik di kelas atau dalam kegiatan khusus), dalam konteks di sekolah tertentu, lalu mengevaluasi atau merefleksikannya bersama.Dialog berarti ada kesediaan pendidik, para guru-karyawan atau staf untuk mendengarkan dan menanamkan kebiasaan pada para siswa untuk terbuka, jujur dan bebas bercerita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fortiter in re, suaviter in modo. Teguh dalam halnya (prinsip), lembut dalam pendekatan (caranya). Pepatah latin ini memberi inspirasi bagi para pendidik untuk mencoba menanggapi kebutuhan dialog di institusi pendidikan saat ini. Globalisasi yang sedemikian cepat ini tidak hanya membawa perubahan para cara berpikir, merasa, bertindak, tapi juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang tidak terduga sebelumnya. Dibutuhkan lebih dari sekadar kompetensi konseling atau pemahaman teoretis dalam banyak literatur, yakni seni dalam berdialog itu sendiri. Kapan kita cukup tegas dalam memperjuangkan prinsip (visi), kapan kita dengan sangat lembut mendekati subjek didik. Proses pendampingan siswa yang mantap inilah yang akan mengembangkan kreativitas pengajaran, pendekatan pribadi yang menyentuh secara personal pada siswa, membentuk karakter, serta kemajuan belajar siswa itu sendiri.

Daya kontemplasi untuk melihat kebutuhan siswa yang didampingi, kerendahan hati untuk senantiasa belajar (bahkan dari siswa!) menjadi sarana pendukung dalam proses dialog. Dialog yang reflektif akan membiasakan kita untuk bertanya "Apa yang sebenarnya sedang dibutuhkan oleh para siswa?"Dengan demikian ada fokus dari orientasi pendampingan siswa yang diharapkan sungguh berdayaubah. Bisa jadi, ada banyak hal baik yang bisa ditawarkanpada mereka, namun pertanyaan lebih mendasar apakah memang itu yang sedang dibutuhkannya? Ini tentu tidak mudah.

Pendidikan humanis yang memandang siswa sebagai subjek merdeka, berakal budi dan bermartabat tentu selalu memberikan kebebasan yang bertanggungjawab. Bebas bukan berarti liar! Dialog yang mengubah secara "efektif" adalah dialog yang sungguh "afektif", menyentuh sisi terdalam siswa. Tentu saja ini bukanlah tugas para guru BK atau kesiswaan namuntanggungjawab semua orang dewasa di sekolah dalam mendukung pendampingan siswa melalui dialog. Bisa karena terbiasa. Dialog artinya juga memberi ruang bagi para siswa untuk membuat kesalahan, berani mengakuinya dan yang lebih penting dengan refleksi, belajar dari kesalahan serta memperbaruinya. Kasus soal menyontek, terlambat, hingga perkelahian yang ditanggapi dengan aturan dan hukuman belaka tidak akan cukup untuk menyelesaikan akar dari itu semua. Dialog dari hati ke hati yang asertif dan disertai kehendak baik niscaya akan membawa harapan bagi para siswa untuk mengalami apa artinya disentuh secara personal (transformasi).

Celaka bila di suatu institusi pendidikan, pendampingan siswadijalankan dengan tangan besi, bersandar pada aturan dan sederet hukuman.Kebebasan siswa sebagai manusia secara kodrati, dengan akal budi dan kehendaknya(memilih yang benar atau salah sekalipun) direnggut dalam proses pertumbuhannya sebagai manusia yang utuh. Siswa perlu ditemani dalam proses belajar yang lebih luas yakni membawa persoalan di level kesadaran dan hati, untuk "memilah" sendiri mana yang baik dan akhirnya mampu "memilih"sendiri dengan bertanggungjawab mana yang bernilai bagi masa depannya. Tidak ada rumusan baku atau guideline jitu, hitam di atas putih, yang mampu menjawab aneka kasus pendampingan siswa yang beragam. Ada proses adaptasi, sosialisasi namun juga internalisasi nilai yang terus harus saling terintegrasi. Pada saatnya, siswa sendirilah subjek merdeka yang diharapkan mampu mengaktualisasikan nilai, keutamaan serta visi sekolah di dunia kehidupan sehari-hari.

Jika kita sepakat dengan buah pikir Driyarkara mengenai visi pendidikan yang diungkapkan Driyarkara tadi, lalu bagaimana sejauh ini sekolah mengusahakan berbagai sarana untuk mendukung proses pemanusiaan yang humanis dalam pendidikan? Membangun discerning habit dalam berdialog dengan siswa secara mendalam bisa menjadi salah satu alternatif jawabannya.

 

Oleh: Paulus Prabowo

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

 

Ikuti tulisan menarik paulus prabowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu