x

Sejumlah warga pendukung salah satu pasangan calon bupati-wakil bupati Gowa menyita kotak suara saat berunjuk rasa di depan kantor Kecamatan Pallangga, Gowa, Sulawesi Selatan, 9 Desember 2015. Mereka menduga terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pet

Iklan

zuly qodir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokrasi dan Kesalehan Publik

Demokrasi di Indonesia sebenarnya belum bermakna dalam kehidupan ruang publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Situasi politik di negeri ini dalam beberapa bulan demikian keras, penuh pertentangan bahkan saling menghukum diantara satu dengan lainnya. Hal ini sebagai sebuah praktek politik dalam negara demokrasi sebenarnya cukup memprihatinkan, sebab kurang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.

Debat publik yang terjadi antara kandidat Calon Gubernur DKI misalnya yang digelar beberapa waktu lalu (13/1/2017 dan 18 Januari) memberikan pelajaran yang sangat berharga buat kita bangsa Indonesia. Dalam pergelaran pesta demokrasi langsung yang hendak digelar terjadi saling serang secara pribadi. Hal itu memberikan signal bahwa dalam praktek demokrasi ternyata masih jauh dari harapan, para kandidat Kepala Daerah sekalipun.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Prinsip Demokrasi

Prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, kebersamaan dalam kebajikan, solidaritas sosial, musyawarah, menghargai perbedaan, (termasuk perbedaan pendapat, agama, suku, organisasi, partai), tanpa kekerasan fisik dan non fisik seperti kebencian yang diumbar dalam forum-forum pengajian, forum ilmiah, debat piblik dan sejenisnya, sudah harusnya dihilangkan sebab menjadi bagian tak terpisah dari para pejuang dan praktek demokrasi.

Namun sayang, prinsip-prinsip demokrasi yang demikian apik tersebut seringkali hanya berhenti dalam retorika di ruang publik. Begitu masuk diruang privat, prinsip demokrasi bisa dikatakan diinjak-injak oleh para pejuangnya sendiri. Prinsip demokrasi ternyata hanya indah untuk pihak yang berbeda, sulit dilaksanakan oleh dirinya sendiri dan kelompok. Pemaksaan pendapat dengan pelbagai cara terus berlangsung di ruang public.

Kita dengan mudah menyaksikan pelbagai macam penggusuran, pengerahan massa untuk kepentingan perebutan asset, perebutan fasilitas oleh kelompok tertentu dan pemaksaan kebijakan yang melanggar prinsip demokrasi atas nama kualitas sumber daya manusia, penjaga independensi dan seterusnya. Semua prinsip demokrasi hanya dijadikan pelajaran yang sangat bijaksana dan mulia, ketika dialamatkan pada kelompoknya tetapi bukan pada kelompok lain. Kelompok lain boleh diperlakukan semena-mena atas nama kebijakan resmi negara atau kebijakan temporer negara, asal kelompoknya mendapatkan keuntungan atas nama demokrasi.

Inilah yang saya maksudkan bahwa demokrasi kita sebenarnya belum bermakna dalam kehidupan ruang publik. Praktek demokrasi belum menjadi kesalehan public. Demokrasi hanya ada dalam retorika politik para elit agama, politikus, penegak hukum dan pembuat kebijakan. Demokrasi yang sesungguhnya berhenti diruang ruang kelas yang eksekutif dan ruang ekslusif serta mendapatkan liputan media massa. Di luar itu semua demokrasi kita adalah demokrasi tanpa makna substansial.

 

Kesalehan Publik

Hal yang perlu dikembangkan adalah semangat berdemokrasi sebagai kesalehan public. Kita sangat menghkhawatirkan jika apa yang dikemukakan Jeremy Menchick bahwa kita telah berdemokrasi tetapi hanya untuk pihak lain agar bersedia menghargai dan menghormati kepentingannya, sekalipun perilaku yang dikerjakan sebenarnya bisa dikatakan melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Bahkan sebagian para penggagas demokrasi hanya beretorika agar demokrasi dijunjung tinggi dan dilaksanakan. Sayangnya hal seperti ini hanya untuk pihak lain pada kelompoknya mempraktekkan prinsip demokrasi.

Banyaknya kasus pelecehan seksual, pelanggaran HAM ringan dan berat, pelarangan pendirian rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, perebutan rumah ibadah, perebutan rumah sakit dan perebutan sekolah yang dilakukan oleh sesama masyarakat sipil bahkan sipil keagamaan merupakan bentuk nyata demokrasi itu masih sebatas wacana. Demokrasi belum menjadi kesalehan public.

Kesalehan public itu perlu dikembangkan sehingga tidak membuat intoleransi untuk pihak lain, sementara terhadap pihak yang memaksakan kehendak seakan-akan boleh bersikap intoleran. Berpolitiknya pun menganggap bahwa kelompok dirinya yang paling bermanfaat dimuka bumi Indonesia. Merasa kelompoknya yang paling berhak mendapatkan pengakuan menyebarkan paham toleran sementara yang lain intoleran. Cara berpolitik model seperti ini jelas tidak menunjukkan adanya kesalehan public.

Bahkan yang lebih konyol lagi adalah menganggap kelompoknya karena jumlahnya paling besar lebih berhak mendapatkan keistimewaan-keistimewaan dari pihak negara sedangkan yang lain seakan-akan hanya penumpang dan pembantu saja. Kebijakan negara diarahkan untuk menguntungkan kelompoknya dengan menindas dan mendiskriminasi kelompok lain yang tidak kalah penting dalam memberikan kontribusi pada negara ini.

Peristiwa-peristiwa kekerasan internal ormas keagamaan yang belakangan terjadi sebenarnya dapat dikatakan sebagai bentuk dari ketidakhadirannya kesalehan public yang dilakukan atas nama demokrasi. Demokrasi dan toleransi yang dihadirkan adalah bentuk demokrasi dan toleransi yang bermuka dua (berwajah ganda) alias multi wajah. Demokrasi dan toleransi semacam ini sebenarnya merupakan bentuk demokrasi dan toleransi yang berpura-pura. Demokrasi dan toleransi yang dominative dan represif.

Dalam konteks toleransi yang semacam itu oleh Paul Knitter disebut dengan istilah "toleransi yang malas" (lazy tolerance) , sebuah bentuk toleransi yang berstandar ganda. Orang lain (pihak lain) harus bersikap toleran kepada kelompoknya sekalipun perilakunya tidak menunjukkan sikap toleransi yang tulus. Apalagi dibelakang sikap yang seakan-akan toleran menyimpan dendam kesumat yang akan diumbar ketika kelompok lain tidak berada di depannya. Banyaknya agenda-agenda tersembunyi, hujatan, cercaan bahkan hujatan pun tidak segan dilakukan oleh mereka yang menyatakan pembela dan pejuang demokrasi di muka public. Ini saya khawatirkan sebagai sebuah kematian keselahan public.

Kita pun dapat menyaksikan betapa banyak peraturan yang dibuat oleh pembuat kebijakan yang sedang berkuasa, yang sifatnya sangat diskriminatif pada kelompok lain tetapi sangat menguntungkan pihak tertentu. Kita sangat mudah mendengar adanya program beasiswa sekolah pada kelompok masyarakat tertentu tetapi demikian sulitnya program beasiswa untuk kelompok lainnya di level sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi. Bahkan ketika program beasiswa dikucurkan pun terjadi saling jegal dianatara para pengelola. Ini jelas sekali sebagai bukti kesalehan public berdemokrasi sangat rendah.

Perilaku-perilaku tersebut semuanya merupakan bentuk kebebasan dalam negara demokrasi yang terjadi tetapi over acting sehingga yang sebenarnya dapat kita saksikan adalah adanya demokrasi tetapi minus kesalehan public sebab yang terjadi adalah kepura-puraan yang dibungkus dalam retorika demokrasi. Sampai kapan bangsa ini akan berada dalam lingkaran setan demokrasi kepura-puraan sebagai bentuk nyata dari tidak adanya kesalehan public yang sesungguhnya tentu agak sulit dijawab.

Hemat saya, semuanya akan terletak pada kita semua yang menghendaki adanya demokrasi yang lahir dari Rahim bangsa sendiri. Demokrasi yang lahir dari Rahim masyarakat sipil dan ormas keagamaan sebab berharap demokrasi yang sesungguhnya dari partai politik tampaknya jauh dari panggang. Namun nasib demokrasi yang sesungguhnya pun akan suram jika masyarakat sipil dan sipil keagamaan, perilakunya tidak jauh beda dengan partai politik. Bangsa ini tetap akan menjadi pecundang karena perilaku ormas keagamaan yang juga bermartabat rendah, menjadi pengemis dihadapan negara! Ormas keagamaan perilakunya kurang memelihara kesalehan public. Kesalehan public masih jauh dari harapan kita karena pelanggaran hukum demikian banyak.

Saya ingat apa yang ditulis oleh Jeremy Menchick tentang demokrasi dan perilaku toleransi masyarakat sipil Indonesia, bahwa "praktek demokrasi di Indonesia sebenarnya masih kurang dari perilaku dan sikap toleran" "Jeremy Menchik dalam Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance without Liberalism(2016),

 

Oleh: Zuly Qodir

Sosiolog Fisipol UMY, Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta

Ikuti tulisan menarik zuly qodir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler