x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dua Faktor ini Berpotensi Menggerus Suara Ahok-Djarot

Boleh jadi, justru hal-hal sepele yang mengantar menuju kemenangan, dan hal-hal sepele pula yang bisa mengakibatkan kekalahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ibarat melintasi bottle-neck, dua pasangan calon Ahok-Djarot dan Anies Sandi sejenak bisa bernapas lega usai putaran pertama Pilgub DKI. Tapi periode sekitar 60 hari dari sekarang menuju putaran kedua Pilgub DKI, 19 April 2017, adalah rentang masa yang pendek untuk dua kubu yang akan bersaing: to be or not to be.

Pekerjaan berat dua kubu itu adalah bersaing dalam meraih simpati pemilih yang sudah menentukan pilihannya di putaran pertama. Dan ini perlu pendekatan tersendiri. Cara lama di putaran pertama harus dikondisikan agar tetap efektif.

Terkait itu, saya mencermati ada dua faktor yang berpotensi menggerus elektabiltias Ahok-Djarot:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktor pertama, mengacu pada beberapa hasil survei diketahui bahwa salah satu hal unik di kalangan pemilih DKI adalah mereka mencoblos pilihannya di TPS dengan pertimbangan sangat personal, perhitungannya gua banget. Mungkin itulah sebabnya, ditemukan banyak keluarga yang anggotanya menentukan pilihan secara berbeda-beda: Si anak menoblos Ahok-Djarot, bapaknya menusuk Agus-Sylvi, sang ibu memilih Anies-Sandi.

Tentu banyak variabel yang bisa disebutkan saat membahas pertimbangan yang gua banget itu. Namun, secara sosiologis, para pakar mengakui bahwa ada dua hal yang paling personal pada diri setiap seorang yaitu etnis dan agama – suka tidak suka.

Karena itulah, saya menilai normal dan tidak mempersoalkannya jika sebagian besar komunitas China di DKI memilih Ahok, atau sebagian besar komunitas Kristen juga cenderung memilih Ahok.

Dan isu agama dan/atau etnis tetap bisa dimainkan dengan cara yang santun, rasional, tidak vulgar, jauh dari sentimen SARA. Mengacu pada manuver Anies-Sandi selama putaran pertama, pendekatan seperti inilah yang akan dilakukan oleh kubu Anies-Sandi dalam menghadapi putaran kedua.

Rumusan kasarnya kira-kira begini: ketika semua variabel keunggulan dan kekurangan (plus-minus) disandingkan secara head-to-head antara Ahok-Djarot vs Anies-Sandi, dan skor rata-ratanya ternyata berimbang, atau tidak selisih jauh, maka pemilih akhirnya akan merujuk ke pertimbangan yang gua bangat tadi: etnis dan agama.

Faktor kedua, sikap jor-joran para pendukung Ahok (Ahokers) di Medsos. Pemilih DKI sudah kenyang bahkan muak dengan kampanye jor-joran di Medsos, selama periode putaran pertama.

Karena terlalu ambisius, dan karena itu sering terkesan panik, kampanye udara ini akhirnya sering dilakukan dengan pola jor-joran, over agresif dan terkesan menggurui secara tidak santun. konsekuensinya, sangat rentan bertindak sesusai selera saja, tanpa mempertimbangkan perasaan audiens.

Beberapa group di berbagai aplikasi Medsos sudah bermunculan group komunitas yang intinya ingin melawan kampanye jor-joran yang sering mengandalkan hoax sebagai materi utama untuk mendiskreditkan Paslon tertentu. Sebagian publik netizen juga akhirnya menyimpulkan sederhana: kampanye jor-joran lebih bernuansa penipuan murahan.

Jika mau dilanjutkan, silahkan saja! Tapi mempertahankan gaya jor-joran itu, justru berpotensi menggerus elektabilitas Ahok. Jadi maksud hati ingin meraih dukungan maksimal, yang didapat adalah justru antipati dari para pemilih.

Dan kampanye jor-joran ini berpotensi menciptakan feedback yang fatal. Sebagai contoh, jor-joran terkait program kerja yang menjadi materi unggulan kampanye Ahok. Mungkin puluhan ribu meme yang mempublikasikan kesuksesan Ahok.

Namun jangan lupa, setiap program kerja, sebagus apapun, pasti memiliki cacat bawaan. Jika kubu Anies-Sandi mampu menelanjangi cacat bawaan itu, publik akhirnya akan berkesimpulan sederhana: oooh, ternyata Ahok tidak tidak sejago yang dikampanyekan. Begitu pula sebaliknya.

Sekedar contoh: pada debat pertama dan kedua, Ahok mengklaim bahwa DKI memiliki indeks kesejahteraan tertinggi dibanding semua provinsi di Indonesia. Dan klaim itu tidak keliru. Sebab faktanya memang begitu.

Tapi coba perhatikan, pada Debat Kedua (kalau gak salah), Anies Baswedan mencoba mengkritisinya hanya dengan satu pernyataan, dan klaim Ahok itu langsung menguap. Anies mengatakan, “Di mana-mana di dunia ini, ibukota negara memang selalu memiliki indeks kesejahteraan tertinggi dibanding semua provinsi di negara tersebut”. Sialnya, kubu Ahok-Djarot tampaknya tidak mengantisipasi tangkisan Anies, yang meskipun sederhana namun sangat mematikan. Sebab publik akhirnya berkesimpulan, yang disampaikan Ahok tidak semuanya benar.

Singkat kalimat, persaiangan head-to-head antara kubu Anies-Sandi vs Ahok-Djarot di putaran kedua, jika diibaratkan, adalah pertarungan hidup-mati. Semua sumberdaya harus dimaksimalkan, semua celah dimanfaatkan, tidak boleh lengah sedikitpun. Sebab boleh jadi justru hal-hal sepele yang mengantar menuju kemenangan, dan hal-hal sepele pula yang bisa mengakibatkan kekalahan.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 18 Februari 2017 / 22 Jumadil-ula 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB