x

Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan tiba di rumah warga RW 03 Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta, 5 Januari 2016. TEMPO/Lani Diana

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bagaimana Nasib Anies Bila Jokowi-SBY Bertemu?

Relasi kuasa akan terus berubah-ubah hingga warga Jakarta menentukan pilihannya dalam bilik putaran kedua nanti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak ada kekuatan yang melekat permanen pada partai, institusi, jabatan publik, relawan, media massa, maupun figur individual. Kekuatan selalu merupakan hasil relasi di antara semua itu, dan relasi ini berubah-ubah. Ketika Agus-Sylvi maju, empat partai mendukungnya berbekal 28 kursi hasil pemilihan DPRD DKI 2014, Anies-Sandi didukung dua partai dengan 26 kursi, sedangkan Ahok-Djarot memperoleh dukungan terbesar 52 kursi dari empat partai. Hasil pemilihan kemarin tidak mencerminkan gambaran kekuatan itu.

Anies, meskipun didukung hanya dua partai dengan jumlah kursi separo pendukung Ahok, mampu mencatatkan peroleh suara yang selisihnya tidak jauh. Agus berada di posisi ketiga. Agus dan pasangan dihadapkan pada tantangan yang menyudutkan karena kemunculan tiba-tiba dua isu: pemeriksaan Sylvi dan ‘peluru Antasari’. Memperhatikan momennya, sukar untuk tidak mengatakan ada dampak politik dari kedua isu terhadap perolehan suara Agus-Sylvi, meskipun Istana mengatakan tidak ada motif politik terkait grasi kepada Antasari Azhar. Di samping watak relasinya, kekuatan politik telah memperlihatkan watak kontekstualnya.

Kini, tinggal dua pasang pesaing berada di gelanggang. Ahok-Djarot dan Anies-Sandi dihadapkan pada dua tantangan sekaligus: mempertahankan suara yang berhasil dikumpulkan dan menambahnya dengan merebut suara yang semula mendukung Agus-Sylvi serta suara warga yang belum menggunakan hak pilihnya. Melihat tingkat partisipasi warga pemegang hak pilih yang meningkat dari 63,4% (Pilgub 2012) menjadi 77,0% (2017), sangat terbuka kemungkinan jumlah pemilih akan bertambah dalam putaran kedua nanti. Antusiasme warga ini perlu dijaga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan tidak adanya masa kampanye lagi dan acara debat yang hanya satu kali hingga saat pemilihan tiba, April nanti, pasangan Ahok-Djarot memperoleh keuntungan karena didudukkan kembali oleh Mendagri pada jabatan Gubernur-Wakil Gubernur. Dalam kapasitas sebagai Gubernur dan Wakil, Ahok-Djarot berkesempatan untuk ‘blusukan’ ke tengah-tengah warga Jakarta. Mendagri Tjahjo Kumolo tampaknya tak akan surut dari keputusannya yang mengundang kontroversi karena Mahkamah Agung maupun Ombudsman tidak bersikap tegas, sehingga Ahok-Djarot punya cukup waktu untuk ‘blusukan’. Ahok-Djarot juga masih punya kesempatan untuk menunjukkan kinerja mereka di pemerintahan.

Bagaimana Anies-Sandi mengatasi tantangan ini? Pasangan ini tidak punya kesempatan untuk berkampanye lagi, karena KPU yang akan melakukan sosialisasi di media televisi, cetak, maupun online--namun, media sosial akan menjadi medan yang berbeda. Anies-Sandi juga tidak bisa ‘blusukan’ sebab bukan pejabat pemerintah. Untuk mengimbangi ‘keuntungan’ yang diperoleh Ahok-Djarot, mungkin saja Anies-Sandi akan lebih mengelaborasi tawaran-tawaran progam mereka agar lebih konkret dan terukur sembari mengritisi kinerja pasangan petahana dalam acara debat. Mereka mungkin juga akan semakin menunjukkan ‘apa perbedaan kami’ dengan Ahok-Djarot. Tentu saja, tidak mudah meyakinkan sebagian warga pemilih yang bersikap pragmatis.

Terkait dukungan partai-partai yang semula mengusung Agus-Sylvi (PPP, PKB, dan PAN), meskipun sebagian sudah menunjukkan tanda-tanda kecondongannya, tapi belum ada pernyataan dukungan resmi kepada Anies-Sandi atau Ahok-Djarot. Relasi kuasa ini masih akan terus berubah dan belum menemukan tautannya yang tetap, hingga ketiga partai itu menetapkan pilihannya: antara mendukung Anies-Sandi atau bergabung dengan PDI-P dan tiga partai lain pendukung pemerintahan Jokowi. Menariknya, meskipun partai-partai telah menentukan pilihannya, belum tentu dukungan partai ini mencerminkan pilihan warga, sebagaimana terlihat dalam putaran pertama. ‘Mesin partai’ boleh bekerja keras agar konstituen mereka memilih pasangan yang mereka dukung, tapi bilik suaralah yang tahu siapa yang akhirnya dipilih warga.

Partai Demokrat, seperti biasa, masih melihat ke arah mana angin bertiup. Momen pertemuan Jokowi-SBY jika berlangsung dalam waktu dekat ini, sebelum pemilihan putaran kedua dilangsungkan, berpotensi mengubah relasi kuasa yang belum mapan ini. Konstelasi politik akan semakin cepat berubah-ubah. Bila SBY mencapai kesepakatan tertentu dengan Jokowi, Ahok-Djarot berpotensi semakin diuntungkan oleh perubahan konstelasi politik ini. Situasinya akan berbeda apabila pertemuan itu tidak berujung manis atau bahkan ditunda hingga Pilgub DKI menghasilkan gubernur baru definitif.

Memang tidak mudah bagi SBY dan Demokrat untuk mendukung Ahok-Djarot yang diusung PDI-P, tapi seperti semua orang tahu dalam politik apapun sangat mungkin terjadi sepanjang persekutuan itu saling menguntungkan. Begitu pula, sekalipun Ahok-Djarot memperoleh tambahan dukungan dari tiga partai lain yang semula menyokong Agus-Sylvi, tidak mustahil warga menentukan pilihan yang berbeda karena faktor-faktor dan alasan-alasan yang berbeda pula. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler