x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Coba Memahami Negative & Black Campaign

Kedewasaan dan kemantangan pemilihlah, yang nantinya diharapkan dapat memaksa para kandidat dan pendukungnya untuk berlaku santun di setiap Pemilu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan muncul wacana yang membedakan antara negative campaign (kampanye negatif) dengan black campaign (kampanye hitam). Katanya, negative campaign “halal” dilakukan karena berisi upaya satu kubu untuk mengkritisi atau membantah materi kampanye kubu lain, misalnya seberapa rasional dan sepraktis program normalisasi kali Ciliwung tanpa penggusuran.

Sementara black campaign “haram” dilakukan karena lebih cenderung berisi hoax dan lebih bertujuan untuk pembunuhan karakter, yang menyerang kubu lain, seperti beritayang menyebutkan Darul Ifta (semacam MUI-nya Saudi Arabia) yang menfatwakan agar tidak memilih Ahok. Atau isu tentang negara China secara resmi mendukung pendanaan pasangan Ahok-Djarot.

Setelah mengutak-atiknya sedemikian rupa, saya akhirnya berkesimpulan sementara bahwa perbedaan defenisi dan praktek antara negative campaign dengan black campaign, seandainya pun betul ada perbedaannya, paling hanya beda-beda tipis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena itu saya sering gemes cenderung jengkel setiap kali mendengar atau membaca ulasan para pengamat Indonesia, yang dengan enteng mengatakan misalnya, kita berharap pemilu berlangsung santun. Padahal kalau didebat tentang apa itu pemilu santun, barangkali kita tidak akan pernah memperoleh penjelasan yang memadai.

Pada Pilpres Amerika 8 November 2016, hampir semua materi kampanye negatif dan juga kampanye hitam yang dilancarkan oleh kedua kubu, dipublikasan secara tidak santun bahkan sering vulgar (setidaknya menurut ukuran budaya kesantunan Indonesia).

Di minggu terakhir masa kampanye, kubu Donald Trump tiba-tiba melancarkan kampanye yang menyerang integritas Hillary Clinton: membocorkan ribuan email pribadi Hillary Clinton ketika menjabat Menlu Amerika. Celakanya, pembocoran itu konon didalangi oleh sebuah tim cyber-attacks yang dikendalikan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin. Apakah ini santun atau tidak santun, nobody canexplain it.

Selain itu, mungkin banyak orang yang tidak mencermati bahwa hasil Pilpres Amerika 8 November 2016, jumlah suara Hillary Clinton (65.844.954) mengalahkan perolehan suara Donald Trump (62.979.879), dengan selisih suara hampir tiga juta suara (2.865.075). Pertanyaannya, kok bisa Donald Trump yang dijadikan pemenang?

Karena dalam sistem Pilpres di Amerika, kemenangan seorang kandidat bukan mengacu pada jumlah suaradi TPS, tapi berdasarkan mekanisme kuota electoral vote untuk setiap negara bagian (State), yang antara lain berbasis jumlah penduduk di masing-masing negara bagian. Negara Bagian California misalnya memiliki kuota 55 electoral vote, sementara Negara Bagian Montana hanya punya 3 ElectoralVote.

Saya tidak tahu apakah Pilpres Amerika seperti itu dapat disebut Pemilu santun atau tidak santun. Selisih suara yang hampir tiga juta itu, bukan jumlah sedikit. Di Indonesia bisa dijadikan materi sengketa sampai ke Mahkamah Agung. Dan mereka yang suaranya tak dianggap pasti kecewa. Tapi begitulah setiap negara memiliki aturan Pemilunya masing-masing.

Dari waktu ke waktu, meski tidak terlalu intens, saya biasanya relatif aktif mengamati periode kampanye setiap kali terjadi Pemilu di beberapa negara. Dan kesimpulan saya, di setiap Pemilu, semua kubu yang bersaing pasti menggunakan model negative campaign dengan black campaign secara paralel dan simultan.

Bahkan termasuk soal money politics. Seperti diketahui, UU Pemilu di Indonesia tidak mendefenisikannya dengan jelas. Dan pada saat yang sama, undang-undang itu juga membolehkan perusahaan atau individu memberikan sumbangan dalam jumlah tertentu kepada salah satu kandidat. Makanya, jangan percaya bila ada kubu yang bersaing di Pilgub DKI mengatakan tidak melakukan money politics.

Sebab jika satu kubu kandidat menerima sumbangan perusahaan dan/atau individu – yang halal menurut UU – dan menyalurkannya dalam bentuk “serangan fajar” kepada pemilih,  di mana letak salahnya? Apa bedanya antara baliho kandidat yang dipajang di setiap sudut jalan, yang juga perlu uang, dengan memberikan langsung uang serangan fajar kepada para pemilih.

Sebagian kita memang kadang terjebak pada analisa yang membedah suatu fenomena sosial-politik di luar pengertian dasarnya.

Pengertian dasar berkampanye dalam Pemilu adalah mempengaruhi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Dan tidak semua pemilih dapat dipengaruhi dengan baliho di jalan-jalan, atau acara dialog langsung dengan pemilih, atau Debat Publik yang disiarkan langsung televisi. Sebagian pemilih – untuk tidak mengatakan sebagian besar pemilih – memang sangat efektif jika dipengaruhi melalui serangan fajar. Bahkan mungkin ada segmen pemilih yang justru efektif jika dipengaruhi dengan postingan hoax.

Seorang tetangga saya, dengan nada bercanda, malah bilang begini: “nggak ngasih apa-apa kok minta dipilih, yang bennar aja!”.

Jika analisa ini dikerucutkan ke Pilgub DKI 2017, sungguh tidak mungkin mengharapkan kubu Anies-Sandi akan berkampanye begini, biar disebut santun: “Sodara-sodara, Ahok-Djarot itu orangnya baik, jujur, tegas, profesional, meskipun non-Muslim. Karena itu, pilihlah Ahok-Djarot pada putaran kedua Pilgub DKI”.

Seperti mustahilnya mengharapkan kubu Ahok-Djarot akan berkampanye begini, biar dibilang santun juga: “Sodara-sodara, Anies-Sandi itu Muslim yang taat, santun, tawaran programnya lebih baik daripada program saya, tidak radikal, sukses di bidangnya masing-masing, maka pilihlah Anies-Sandi pada putaran kedua Pilgub DKI”.

Simpulnya, pemilu dan seluruh rangkaian dinamika kampanyenya jangan dianggap seperti acara kendurian keluarga yang mengundang tetangga atau family gathering. Pemilu adalah persiteruan dua atau lebih dari dua kubu untuk merebut kekuasaan. Dan masing-masing kubu akan memaksimalkan segala sumber dayanya untuk memenangkan pertarungan. Bahwa di dalam kampanye kemudian muncul negative campaign atau black campaign, mungkin itulah salah satu pernak-pernik risiko berdemokrasi. Siapa suruh memilih berdemokrasi.

Saya bahkan kadang berasumsi ekstrem begini: seandainya dimungkinkan, para kandidat dan pendukungnya pasti juga akan menyogok setan dan iblis semata untuk bisa memenangkan suara pemilih.

Karena itu, justru akan terkesan naif, jika menuntut para pendukung masing-masing kandidat agar “berlaku santun” ketika sedang mempengaruhi pemilih melalui negative campaign atau black campaign. Sebab ketika si-X menjelek-jelekan si-Y, maka sesantun bagaimanapun si-X, tetap saja akan dianggap kurangajar oleh si-Y dan pendukungnya.

Lalu apakah praktek dinamika kampanye yang vulgar seperti itu dibiarkan saja? Tidak juga. Ada satu poin yang perlu digarap, dan ini memang bukan pekerjaan mudah, yakni terus melakukan pencerahan agar rakyat pemilih tidak gampang terpengaruh, tidak enteng terpancing emosinya, setiap kali mendengar atau membaca negative campaign atau black campaign tentang kandidat yang didukungnya. Kedewasaan dan kemantangan pemilihlah, yang nantinya diharapkan dapat memaksa para kandidat dan pendukungnya untuk berlaku santun di setiap Pemilu.

Syarifuddin Abdullah | Ahad, 19 Februari 2017 / 23 Jumadil-ula 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler