x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Karena Aku Seorang Ibu

Catatan pengalaman advokasi hak-hak anak di Sulawesi Selatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: (Bukan) Karena Aku Seorang Ibu

Penulis: Fadiah Machmud

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Fire Publisher

Tebal: xxix + 291

ISBN: 978-602-1655-44-3

Setiap organisasi yang hebat selalu ada orang-orang hebat di belakangnya. Sebab orang-orang hebat inilah sesungguhnya yang menjadi roh dari organisasi yang hebat. Demikian pun dengan Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, atau lebih dikenal dengan sebutan LPA Sulsel. LPA Sulsel adalah organisasi perlindungan anak pertama di Indonesia. LPA Sulsel bahkan lahir sebelum LPA Nasional ada. Karya LPA Sulsel di bidang perlindungan anak tak hanya bergaung di Sulawesi Selatan, tetapi juga bergema di tingkat nasional. Dan, di belakang organisasi yang luar biasa ini ada orang-orang hebat. Salah satu orang hebat di belakang LPA Sulsel tersebut adalah Fadiah Machmud, selain para penggagas dan pendiri LPA lainnya.

Buku ini menyajikan organisasi hebat yang bernama LPA Sulsel dan salah satu orang hebat di belakangnya. Biografi sang penulis – Fadiah Machmud, dan kisah perjalanan LPA Sulawesi Selatan berjalin erat seperti dua anak tangga RNA yang membentuk DNA. Buku ini dibuka dengan kisah masa kecil Fadiah Machmud yang menjelaskan darimana karakter kepedulian kepada sesama dan kepemimpinannya terbangun. Kisah berlanjut dengan awal berdirinya LPA Sulsel dan kiprah LPA Sulsel.

LPA Sulsel lahir sebagai respon terhadap persoalan hak-hak anak yang terabaikan dan kasus-kasus kekerasan kepada anak. Dipicu oleh penelitian tentang anak jalanan di Kota Makassar oleh Selle KS Dalle dan teman-temannya di Yapta-U (hal. 42), embrio LPA Sulsel mulai disiapkan. Fadiah Machmud adalah orang yang ditugasi untuk menyiapkan rapat-rapat, pertemuan-pertemuan sampai terbentuknya LPA Sulsel. Kerja-kerja yang harus mempertemukan berbagai pihak dengan latar belakang yang beragam ini bukanlah hal yang mudah. Sebab karakter dan gaya kerja orang pemerintah, akademisi dan LSM tentu sangat berbeda. Namun Fadiah Machmud berhasil menjalankan perannya sebagai seorang organizer, meski saat itu ia masihlah seorang junior. Keterlibatannya dalam perjalanan LPA Sulsel yang terus-menerus membuat ia pada tahun 2012 terpilih secara aklamasi menjadi Ketua LPA Sulsel (hal. 57). Ia adalah ketua ketiga bagi LPA Sulsel.

Dalam kepengurusan pertama LPA Sulsel yang lahir pada 7 Desember 1998, Fadiah Machmud mendapat posisi sebagai Office Manager, yang artinya adalah orang yang menjalankan organisasi sehari-hari. Sebab ketua umum dijabat oleh Prof. Dr. H. Mansyur Ramly, MBA., seorang akademisi yang sangat sibuk. Demikain pula dengan wakil ketua, yaitu Christina Joseph, seorang aktivis LSM yang tak banyak memiliki waktu (hal. 47). Mereka berdua tentu tak bisa menjalankan organisasi secara penuh waktu. Jadi memang sejak awal, Fadiah Machmud sudah terlibat secara intens dalam kerja LPA Sulsel.

Karya besar LPA Sulsel adalah saat mengkampanyekan Akta Kelahiran untuk semua anak di Sulsel. Meski pada awalnya lambat, namun sambutan kepala daerah di tingkat kabupaten dan Provinsi Sulsel akhirnya menggelora. Kampanye ini mendapatkan hasil yang sangat baik dan bahkan menjadi program nasional di jaman Megawati sebagai Presiden Indonesia (hal. 51). Fadiah Machmud menguraikan kegiatan advokasi yang dilakukan LPA Sulsel sehingga kampanye Akta Kelahiran gratis ini akhirnya sukses.

Hasil kerja yang juga fenomenal adalah dalam menggarap isu restorative justice (hal. 51). LPA Sulsel berhasil mengkampanyekan pentingnya peradilan anak yang terpisah dari peradilan orang dewasa. LPA Sulsel berhasil mengajak Kapolda Sulsel (yang saat itu dijabat oleh Firman Gani) untuk membentuk Polisi Peduli Anak (PPA) dan Tim Terpadu untuk menangani kasus-kasus anak yang terlibat kejahatan (hal. 120). Penanganan secara khusus kejahatan anak oleh polisi belum pernah ada di Indonesia sebelumnya. LPA Sulsel dan Polda Sulsel adalah pelopornya.

Selain kampanye Akta Kelahiran untuk semua anak dan restorative justice, LPA Sulsel bekerja secara sistematis menangani isu-isu hak-hak anak dan kekerasan terhadap anak. Gaya kerja LPA Sulsel tidaklah reaktif dan hanya merespon isu-isu yang sedang hangat. LPA Sulsel secara sistematis menjaga isu hak anak terus-menerus ada di ranah publik. LPA Sulsel secara simultan menggunakan acara-acara yang berhubungan dengan anak, seperti hari Anak Nasional, Hari Pendidikan Nasional dan even-even lain untuk menjaga supaya isu anak tetap berada di ranah public. LPA Sulsel juga melakukan berbagai roadshow untuk sosialisasi isu hak anak dan kekerasan terhadap anak ke berbagai kabupaten. Saat LPA Sulsel belum dikenal, mereka menggunakan “lembaganya Prof Mansyur Ramly” sebagai pintu masuk untuk mengetuk berbagai pihak (hal. 93). Prof Mansyur Ramly adalah tokoh akademisi yang sangat dikenal di Sulsel yang saat itu menjadi Ketua LPA Sulsel. Networking dengan berbagai pihak dipakai sebagai salah satu strategi untuk membangun aliansi memperjuangkan hak anak dan mencegah kekerasan terhadap anak.

Selain itu, LPA Sulsel secara sadar mengingatkan pemerintah (daerah) untuk mengambil tanggung jawab dalam penanganan masalah anak. LPA Sulsel tak jemu-jemu membawa isu anak dalam pembahasan program-program pembangunan, seperti pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan pembahasan APBD di setiap kabupaten dan di tingkat provinsi di Sulawesi Selatan (hal. 61). LPA Sulsel juag sangat aktif untuk mengadvokasi penyusunan produk hukum yang pro anak.

Meski bekerja secara sistematis dan melalui institusi-institusi yang seharusnya bertanggung jawab terhadap isu anak, LPA Sulsel juga memberi reaksi terhadap kasus-kasus anak yang terjadi di Sulsel (Bagian 4). Isu tentang pembunuhan anak oleh bapaknya sendiri, anak yang dikeluarkan dari sekolah karena memukul guru, pencabulan anak oleh gurunya, PERPPU kebiri adalah beberapa isu yang direspon oleh LPA Sulsel. Respon LPA Sulsel terhadap isu-isu tersebut di atas sangatlah tegas, berdasarkan prinsip tetapi sekaligus santun dan memberi solusi.

 

Menulis sejarah diri sekaligus menulis sejarah organisasi dimana “sang diri” terlibat di dalamnya adalah sebuah proses yang sulit. Meski pada awalnya buku ini terkesan agak lambat, namun sejak masuk di bagian kedua sampai akhir, penuturan kisah pribadi dengan karya organisasi sangatlah baik. Fadiah Machmud tidak terjebak untuk menonjolkan diri sebagai seorang yang “paling” berjasa dalam kerja-kerja LPA Sulsel. Ia juga tidak menjadi rendah diri sehingga perannya dalam LPA Sulsel menjadi menghilang. Fadiah Machmud menguraikan peran masing-masing pihak (dengan menyebutkan nama-nama) dalam membangun dan membuat LPA Sulsel berkarya. Fadiah Machmud berhasil menempatkan diri, sebagai seorang yang belajar dari para seniornya, menghargai kontribusi semua pihak dan mengungkapkan dengan tepat peran dia sendiri.

Di bagian akhir, Fadiah Machmud – yang masa tugasnya sebagai Ketua LPA Sulsel akan segera berakhir, berharap supaya LPA Sulsel menjadi sebuah lembaga yang mandiri secara finansial (hal. 66). Dengan demikian, karya-karya LPA Sulsel ke depan tak lagi direcoki oleh urusan administrasi seperti sewa kantor dan lain-lain.

Pilihan untuk menghibahkan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak anak bukanlah disebabkan karena Fadiah Machmud adalah seorang ibu. Ia memilih untuk kerja sosial karena melihat bahwa seharusnya setiap orang mempunyai kepedulian kepada manusia lain, khususnya mereka yang lemah, seperti anak-anak dan perempuan. Kemampuannya untuk mengorganisir, berkomunikasi secara tegas namun santun telah membawa Fadiah Machmud menjadi “Tokoh Perempuan” yang sangat berjasa bagi anak-anak, kaum perempuan dan pendidikan di Sulawesi Selatan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler