x

Ilustrasi - Konflik dan Kepemimpinan. SHUTTERSTOCK KOMUNIKA ONLINE

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching:Patutkah Anda Merasa Kebal atas Perubahan?

enumbuhkan usaha dengan leadership yang efektif tidak perlu tambah staf.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Behavioral Change for Leadership Growth: Patutkah Anda Merasa Kebal terhadap Perubahan?

Menumbuhkan usaha dengan leadership yang efektif tidak perlu tambah staf.

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Certified Business and Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

Mister Jon galau menghadapi kenyataan di perusahaannya saat ini. Ia mengatakan, kami sudah memiliki visi yang jelas dan sederet values perusahaan sebagai amunisi yang lengkap untuk memperbaiki kinerja tim.  Sebagai  Direktur SDM & Keuangan sebuah perusahaan dengan nilai Rp 1,9 Trilyun  berkantor di kawasan Segitiga Emas Jakarta, Mister Jon layak risau.

Para pemegang kunci kepemimpinan, dari supervisor sampai SPV (Senior Vice President), seperti mengalami hambatan untuk bekerja lebih efektif,  berprestasi,  berdasarkan nilai-nilai perusahaan yang sudah disosialisasikan melalui sejumlah kegiatan dan rapat kerja.

 “Mereka mestinya sudah harus menyesuaikan diri, berubah sesuai dengan rencana-rencana perusahaan,” kata Mister Jon dalam pertemuan sekitar dua pekan silam.  Presiden Direktur sudah melakukan sosialisasi, dalam raker akhir tahun pun sudah ditegaskan lagi tentang nilai-nilai perusahaan yang harus diterapkan untuk menopang prestasi.

Tapi hanya segelintir orang dapat memahaminya, sebagian besar seperti blank.   “Apa yang harus dilakukan?”, tanya Mister Jon.

Dalam situasi tersebut, yang sering juga dialami banyak perusahaan atau lembaga-lembaga pemerintah, ada beberapa hal yang perlu dicermati ulang untuk menentukan kebijakan baru.

Pertama, perubahan adalah proses yang berkesinambungan. Perubahan yang didorong melalui “drama”, peristiwa gawat (misalnya perusahaan merugi, terancam gulung tikar), atau melalui training, motivasi yang menggelegar atau yang membuat haru, kemungkinan membantu, bahkan ada yang secara kualitatif bagus.

Tantangannya adalah bagaimana implementasi untuk jangka panjangnya. Agar perubahan dan perbaikan kinerja dapat berkelanjutan, long lasting, diperlukan pendampingan berbasis metode yang sudah tervalidasi, proven telah membantu mengembangkan ribuan institusi di banyak negara.

Mengawal perubahan untuk meningkatkan efektivitas kerja perlu diselenggarakan secara terukur, dengan tujuan memberikan positive impact bagi perusahaan/institusi plus para stakeholders.   

Kedua, sebagaimana lazim terjadi di banyak institusi, visi dan nilai-nilai perusahaan/lembaga hanya indah terpampang di ruang rapat atau di buku peraturan perusahaan. Kalau pun sering diulang oleh direksi dalam pertemuan bulanan, sebagai upaya sosialisasi, belum ada jaminan implementasinya berjalan dengan baik.

Jarak antara mengetahui dan memahami visi dan nilai-nilai institusi menjadi action, do as supposed to do, sering panjang dan berliku.  Di situlah antara lain peran penting seorang coach, yaitu mengakselerasi  implementasi skills and knowledge menjadi tindakan yang akuntabel.

Ketiga, apakah anggota Board of Director siap berubah juga? Dari banyak kasus dan sesuai dengan hasil survei, bottle neck sering terjadi di pimpinan puncak perusahaan atau institusi lainnya.  “Lho, saya kan bos, masak harus didampingi coach juga untuk lebih berprestasi?,” kata seorang ditektur di perusahaan lain di Indonesia. “Mereka yang perlu.” Maksudnya tim atau para leaders dibawahnya.

Well,  mudah-mudahan kita sepakat, di dunia ini tidak ada yang kebal terhadap perubahan. Benar, bahwa Mr.  E, the Bos, yang memimpin perusahaan di Kebayoran Baru, Jakarta, tersebut berprestasi dan posisi itu dicapainya dengan kepandaian dan kerja kerasnya. Di perusahaan sebelumnya dia juga hebat. Namun,  tidak ada jaminan dia mentally and intellectually  fit 100% di setiap level. Benar?

Atau, siapa berani menjamin cara-cara lama yang dia tempuh untuk sukses dapat dipakai untuk mengatasi tantangan sekarang?

Mereka yang ngotot menolak berubah karena sudah sukses dan jadi bos, oleh Marshall Goldsmith diangggap mengalami success delusion. “It blinds us to the risk and challenges in our work,” katanya. Marshall Goldsmith sudah lebih dari 35 tahun menekuni behavioral change dan berpraktik sebagai coach di perusahaan dan institusi-institusi penting di dunia, termasuk World Bank.

Orang yang sudah sukses cenderung alpa, bahwa  mind set  dan attitude berperan penting untuk meraih prestasi lebih hebat.  Dalam banyak kasus di perusahaan-perusahaan di AS dan di Eropa, atau di negara maju lainnya, para eksekutif yang menolak dibantu untuk berkembang agar lebih efektif dalam kepemimpinan mereka, dengan kata lain menolak untuk tumbuh,  telah dipersilahkan resign.

Pertimbangannya sederhana: memimpin bisnis dengan omset Rp 50 miliar tentu beda dengan bisnis Rp 100 miliar. Perusahaan  Rp 500 miliar tentu juga beda mengelolanya kalau mau dibawa ke Rp 1 trilyun.  Saat perusahaan harus tumbuh, tapi para pemimpinnya ngotot pada pola pikir dan tindakan sama dengan selama ini,  apa yang terjadi sebagaimana kita lihat di sekitar kita? Chaos, bukan?

Atau, menjadi kepala suatu lembaga dengan tantangan lingkungan saat ini, tentu perlu mind set dan perspektif baru untuk meningkatkan prestasi tahun berikut dengan tantangan lingkungan ekonomi, sosial, politik yang berbeda.  

Untuk sukses di jenjang berikutnya, seorang eksekutif wajib mengembangkan diri terus-menerus. Pertumbuhan bisnis  dengan  tim yang bekerja lebih efektif, tak selalu harus tambah pegawai baru.

Dalam 20 tahunan terakhir ini umat manusia telah mengalami perubahan lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi selama sekian abad sebelumnya. Pilihannya jelas: terima tantangan perubahan, melakukan transformasi diri untuk lebih efektif, atau keluar dari arena -- menjadi obsolete.

Pengembangan diri secara berkesinambungan  dan sistematis akan membuat kita makin mahir menafsirkan gerak alam semesta, menikmati rahmat Tuhan di setiap tikungan kehidupan kita.

Sebagaimana dikatakan para filsuf, cendekiawan, dan para alim ulama, manusia itu merupakan proyek Tuhan yang belum selesai. Manusia diberikan keleluasaan memilih meneruskannya,  antara lain dengan mendirikan kota, membangun jembatan, menemukan alat komunikasi yang canggih,  dan  terus melakukan self renewal, untuk meningkatkan kualitas hidup bersama. Melakukan perubahan, mengembangkan diri, menghadapi tantangan-tantangan baru adalah kehendak Alam.

Kapan sebaiknya berubah? “…the only place where true change can occur and where the past can be dissolved is the Now,” kata Eckhart Tolle dalam The Power of Now.

 

*) Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting. Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler