x

Suasana di luar sidang pengadilan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Jalan Gadjah Mada, Jakarta, 27 Desember 2016. Massa yang datang tak hanya dari Jakarta tetapi dari berbagai daerah seperti Ciamis dan

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agama dan Politik, Tidak Akan Pernah Habis Diperbincangkan

Jika agama dilibatkan dalam kehidupan politik hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat Indonesia saat ini sensitif jika bicara agama

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Boleh jadi sekarang ini banyak orang menjadi pintar mengutak-atik ayat-ayat suci untuk memadu padankan dengan  dogma-dogma politik. Wilayah agama itu di kehidupan moral, iman dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, sedangkan politik adalah masalah kepentingan, kekuasaan, nafsu duniawi, trik dan intrik menghalalkan segala cara, dan linearnya adalah dunia sekuler. Apakah nyaman jika kepentingan moralitas harus disandingkan dengan kepentingan politik yang masuk dalam wilayah abu-abu. Jika agama itu bisa mewakili warna putih, sedangkan politik itu cenderung memilih di area abu-abu, area di mana orang bisa memilih jalan dengan segala cara, tidak pasti dan serba kabur.

Sebagai penulis, mencermati  diskusi ramai yang muncul di media sosial, khususnya melihat orang-orang yang berdebat masalah agama, kadang-kadang penulis tertegun. Bayangkan semua orang berbicara, membenarkan jargonnya, membenarkan ajaran agamanya sendiri, meyakini bahwa merekalah yang paling unggul masalah penguasaan pengetahuan tentang agama. Bahasanya bisa dengan cara halus, menyindir, memprovokasi, dan  menjebak dengan kata-kata. Kadang-kadang bila mengikutinya malah menjadi gila sendiri. Setiap isi kepala komentator berbeda. Ada yang menulis dengan bahasa sopan, ada juga yang mengumpat dengan bahasa pasar, bahkan bahasa comberan yang tidak mendidikpun bisa keluar. Media sosial adalah fenomena di mana masyarakat seperti terkotak-kotak dalam ideologi-ideologi yang berbeda, terus berperang meyakinkan diri merekalah pihak yang terzolimi, teraniaya. Pengidolaan tokoh tertentu membuat mereka seolah-olah terbelah. Padahal mereka mempunyai agama sama, mempunyai etnis sama, mempunyai latar belakang bahasa sama tapi beda pikiran dan beda pandangan menyangkut seorang tokoh.

Sebutlah Sekarang yang ramai dibicarakan adalah Ahok. Basuki Tjahaya Purnama itu benar- benar menjadi magnet di media sosial. Topik tentang Ahok seperti tidak pernah habis dan  banyak orang numpang tenar. Begitu juga lawannya Misalnya Anies Baswedan Menjadi ikut terkerek popularitasnya setelah mengikuti kontestasi PILKADA DKI yang super heboh. Black Campaign terhadap keduanya memunculkan banyak artikel yang tersebar di media sosial dan dishare ribuan kali, dikomentari jutaan kali dan menjadi ajang perang kata-kata yang fenomenal di facebook, twitter, Pad, Line dan portal-portal berita. Hiruk pikuk perang kata-kata itu memberi tanda banyak orang akhirnya mempunyai  satu tuhan, namanya gadget. Bahkan untuk ibadahpun dan berbincang-bincang dengan Tuhan kalau perlu memakai Gadget. Hebat khan manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kembali memaknai pertanyaan inti dari artikel ini kenapa sih agama harus terlibat dalam kehidupan politik?Apa untungnya, apa ruginya. Jika agama dilibatkan dalam kehidupan politik hal ini disebabkan karena  sebagian masyarakat Indonesia saat ini sensitif jika bicara agama. Mayoritas agama di manapun di dunia akan berusaha dominan dalam keterlibatannya meraih kepercayaan rakyat. Dengan berlindung dalam agama,  politikus berusaha mempengaruhi masa dengan dalil-dalil kitab suci. Sementara kedudukan mayoritas strategis, maka akan ada upaya pemberangusan, menyempitan kesempatan bagi yang bernama minoritas. Agama akan menjadi tameng untuk  menentukan kriteria pemimpin. Yang paling penting dan utama tentu agama apa sih pemimpin tersebut. Lepas dari apakah pemimpin itu berkualitas atau hanya karena dirinya dipandang santun, taat beribadah dan menguasai ilmu agama akan mempermudah jutaan orang untuk memilih pemimpin dengan kriteria tersebut. Yang minoritas disingkirkan dulu meskipun punya kualitas dan kehandalan memimpin.  Jika sebuah negara sedang berkembang dengan basis agama tentu kriteria itu mutlak, akan berbeda dengan negara maju yang lebih rasional. Mereka akan mengabaikan faktor agama karena wilayah sekuler  beda dengan ideologi agama.

Bagi negara Indonesia pemimpin itu tentu yang berakhlak baik, sopan, merakyat, mengerti kemauan rakyat dan tentu beragama mayoritas. Jika diluar kriteria itu tentu akan menemui kendala. Tipe masyarakat Indonesia ini masih akan mudah goyah jika di”goreng” dengan isu agama. Mereka akan terbelah. Kaum melek pengetahuan, rasional, toleran, minoritas akan berbeda pandangan dengan mereka yang mempunyai pemikiran radikal, fanatik dan bersumbu pendekMereka akan berusaha keras menggugurkan pendapat kaum liberal, toleran dan berwawasan luas. Di media sosial orang waras bisa menjadi gila sebaliknya orang gila bisa terlihat waras. Intinya jika berdiskusi tentang agama di media sosial apapun dalilnya bisa menjadi mentah sebab setiap orang punya pandangan sendiri terhadap agama meskipun ansich sama agamanya. Dalam Islam ada Islam Wahabi ada Islam Syiah organisasi Massanya ada Muhammadiyah ada Nahdatul Ulama. Dalam agama Nasrani ada Kristen Protestan, ada Katolik Roma, Anglikan,  prebisterian dsb. Agama Hindu dan Budha pun pasti punya paham kiri dan kanan. Agama bisa dipahami dari kacamata radikal tapi juga sangat toleran hingga mereka meyakini bahwa pertanggungjawaban agama adalah lebih kepada antara manusia dan Tuhan, sedangkan di kehidupan sosial mereka sama kedudukannya. Kultur pemahaman pada ajaran-ajaran agama itu sebetulnya sama tapi penafsiran tiap orang itulah yang berbeda-beda. Mengapa ada orang yang berpikiran toleran dan ada yang mempunyai kepercayaan begitu fanatik terhadap agama, itulah fenomena manusia. Seorang Quraish shihab yang mempunyai  mempunyai pengetahuan luas terhadap agamanya bisa jadi kalah populer dengan ulama yang rajin ngetwitt atau mereka yang kebetulan meraih popularitas dengan cepat setelah rajin tampil di televisi. Mereka adalah Ulama Seleb Rohaniwan yang tenar karena media canggih dari internet.

Kalau penulis nimbrung ikut komentar di media sosial, bisa-bisa larut dalam emosi, karena harus menabrak-nabrak argumen yang sering disengaja agar emosi tersulut, akhirnya jika sudah terprovokasi manusia(seperti saya) menjadi lupa diri, terjebak dalam debat-debat seru masalah ideologi, masalah agama dan fatsun politik.

Harapan penulis sih, ngapain sih berdebat untuk masalah yang seharusnya bukan menjadi urusan kita. Manusia itu akan selalu merasa kurang sebaliknya manusia pula selalu menempatkan diri lebih sempurna dari manusia lainnya. Pada dasarnya manusia sudah memiliki bekal kesombongan, hanya ada manusia yang cepat sadar bahwa kesombongan hanyalah upaya bunuh diri. Kalau debat itu hanya menghabiskan waktu percuma mending membuat karya kreatif, yang bisa menghasilkan karya inovatif dari pada olah raga jempol yang menghabiskan energi jasmani dan psikis(ini juga berlalu untuk penulis sendiri). Pesan damai sudah jelas, wilayah agama dan politik itu beda, Bersatu saja meski tiap orang mempunyai rancang bangun pemikiran berbeda. Salam Damai.

 

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler