x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wina Suatu Masa, Dialog Sains dan Seni

Perbincangan teratur di antara ilmuwan, penulis, dan perupa telah memberi arah perkembangan Eropa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Judul Buku: The Age of Insight
Penulis: Eric Kandel
Penerbit: Random House
Edisi: 1, 2012
Tebal: 500 halaman (e-book)

 

Saya baru saja membaca satu buku menarik tentang topik penting yang jarang ditulis: suatu masa antara 1890 hingga 1918 di Wina. Di ibukota Austria ini berlangsung peristiwa-peristiwa yang memberi arah perkembangan Barat. Bahkan, Eric R. Kandel mengklaim masa itu telah ‘membentuk kultur Barat melampaui yang kita duga’.

Di masa itu, figur-figur dari ‘dua budaya’—humaniora dan sains—bertemu secara teratur di salon Zuckerkandl di Wina. Mereka, perupa, pemusik, penulis, pemikir, biolog, dokter, hingga psikolog berinteraksi dalam diskusi yang intens, mendahului kelompok yang muncul belakangan dan dikenal sebagai Lingkaran Wina. Mereka bertukar gagasan secara bebas perihal isu-isu psikologi, sains tentang otak, sastra, maupun seni lainnya. Kandel membawa kita memasuki dunia Wina, yang ketika itu tumbuh sebagai ‘ibukota budaya’ bagi Eropa, dalam detail yang kaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kandel, seorang Nobelis biologi, melacak jejak-jejak dialog mereka melalui tiga unsur kunci. Pertama, pertukaran wawasan antara seniman dan anggota Sekolah Kedokteran Wina. Kedua, eksplorasi Sekolah Sejarah Seni Wina mengenai interaksi antara seni dan psikologi kognitif. Ketiga, keasyikan neuroestetika emosional yang relatif baru saat itu, yang menjembatani psikologi kognitif dan biologi untuk memelajari respon persepsi, emosional, maupun empatetik manusia terhadap karya seni.

Lewat kajiannya, Kandel menemukan sejenis jembatan yang menghubungkan seni dan sains: keduanya berbagi pertanyaan fundamental yang sama, namun menjawabnya dengan cara yang berbeda. Kajian mengenai otak manusia (brain science), misalnya, menaruh perhatian pada kehidupan mental yang digerakkan oleh aktivitas otak, termasuk bagaimana persepsi dan memori bekerja maupun apa yang disebut kesadaran. Di sisi lain, seni menawarkan wawasan ke dalam kualitas pikiran yang lebih bersifat pengalaman (experiential).

Kandel memelajari apa yang berlangsunng di Wina itu dengan fokus pada seni tertentu, dan kemudian membahas tiga seniman: Gustav Klimt, Oscar Kokoschka, dan Egon Schiele. Ketiga figur ini menekankan bahwa fungsi seniman modern bukanlah menyampaikan keindahan, melainkan menyampaikan apa yang mereka istilahkan ‘kebenaran baru’.  Ketiga seniman ini menekankan pentingnya unconscious feeling, ingatan, dan motif dalam hidup sehari-hari.

Figur lain yang berperan dalam membangun dialog ini ialah Emile Zuckerkandl, guru besar anatomi di Sekolah Kedokteran Wina, bersama isterinya Berta yang mengelola salon mereka. Zuckerkandl-lah yang memerkenalkan Klimt kepada pemikiran Charles Darwin. Klimt terpesona oleh struktur sel, yang kemudian meresap dalam karyanya. Ikonografi kecil dalam karyanya, potret Adele Bloch-Bauer, bukanlah sekedar dekorasi, melainkan menyimbolkan sel-sel lelaki dan perempuan, bentuk-bentuk segiempat mewakili sperma dan oval mewakili sel telor. “Simbol-simbol kesuburan yang terilhami oleh biologi ini,” tulis Kandel, “dirancang agar wajah seduktif Adele seiring dengan kapabilitas reproduksinya.”

Kandel juga menyajikan pemahamannya atas peran Arthur Schnitzler dan Sigmund Freud yang dalam konteks dialog Wina ikut membentuk pemikiran Barat di era modern. Ketika itu, melalui karyanya The Intepretation of Dreams, Freud mengejutkan dunia dengan tawaran wawasannya perihal bagaimana hasrat agresif dan erotis bawah sadar manusia ditekan di tersembunyi dalam simbol-simbol, mimpi-mimpi, maupun perilaku. Schnitzler memberi kontribusi melalui novelnya, Lieutenant Gustl, yang terbit bersamaan dengan karya Freud, 1900.

Karya dengan judul panjang ini, The Age of Insight: The Quest to Understand the Unconscious in Art, Mind, and Brain, from Vienna 1900 to the Present, mengisahkan dialog di antara ‘dua budaya’ dengan fokus pada kelima perintis tadi yang terilhami oleh Sekolah Kedokteran Wina yang didirikan Carl von Rokitansky, pembimbing Zuckerkandl. Mereka kemudian memengaruhi Sekolah Sejarah Seni dalam mengajukan pertanyaan ihwal bagaimana manusia melihat dan memersepsi, berpikir dan merasa, serta merespon dan mencipta karya seni.

Kandel menyingkapkan betapa pemahaman ilmiah mengenai otak dan responsnya dapat membantu kita memahami dengan lebih baik impuls kreatif maupun tujuan kreativitas. Melalui minatnya pada seni, psikoanalisis, sejarah seni, serta brain science, Kandel telah menyingkapkan dialog intens antara seni dan sains yang telah memengaruhi cara Barat memandang dan memahami bagaimana manusia berpikir dan bertautan dengan seni. (Foto: karya Gustav Klimt, potret Adele Bloch-Bauer, pada sampul buku Kandel) **

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB