x

Seorang guru memasang spanduk kampanye lingkungan sekolah bebas iklan dan penjualan rokok di kantin SMPN 7, Bandung, Jawa Barat, 13 November 2015. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

John de Santo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inkonsistensi Larangan Merokok

Industri rokok: remaja saat ini adalah pasar potensial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kontroversi kebijakan tentang rokok di negeri ini masih akan berlangsung lama. Pemerintah dianggap belum serius memedulikan kesehatan rakyat Indonesia karena Presiden Joko Widodo belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Berdasarkan data WHO, 180 negara telah meratifikasi dan mengakses FCTC mewakili 90% populasi dunia, dan Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang belum meratifikasi FCTC.

Ketiadaan peta jalan pengendalian rokok yang komprehensif dianggap mengancam masa depan lebih dari 100 juta rakyat Indonesia yang kecanduan atau yang terpaksa menghirup asap rokok. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data paling sedikit 500 orang Indonesia meninggal dunia setiap hari akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Adakah cara jitu membendung serangan tembakau yang merusak masyarakat terutama kaum muda?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kaum muda jadi target

Sekembalinya Presiden Joko Widodo dari AS pada bulan Oktober 2015, laman Sekretariat Negara merilis komitmen investasi lebih dari 15 miliar dollar AS, termasuk investasi 1,9 miliar dollar AS (lebih dari Rp 25 triliun) Philip Morris, sebuah industri rokok yang menguasai lebih dari 30 persen pangsa pasar rokok dunia.

Dengan komitmen yang kecil terhadap upaya menekan konsumsi rokok, Indonesia diduga akan memiliki populasi perokok terbesar di dunia pada dekade mendatang. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, saat ini ada 61.4 juta perokok aktif di Indonesia dan lebih dari 3,9 juta anak-anak berusia antara 10-14 tahun merokok setiap tahun.

Meskipun secara publik industri tembakau selalu mengklaim tidak pernah menggunakan iklan untuk membujuk perokok muda, berbagai dokumen yang dulunya dirahasiakan namun kini tersingkap menunjukkan bahwa, industri tembakau sebenarnya memandang rekrutmen kelompok di bawah usia 18 tahun sebagai hal yang sangat penting.'Kaum muda adalah satu-satunya sumber untuk menggantikan perokok' - RJ. Reynolds, 1984. 'Remaja saat ini adalah pelanggan rutin yang potensial, dan pola merokok kaum remaja sangat penting' Philip Morris, 1981.

Berbagai strategi inovasi dan taktik pemasaran ditempuh untuk memasarkan produk rokok. Salah satu strategi yang dianggap penting adalah melalui kemasan (packaging). Warna, gambar, kata-kata dan desain yang digunakan setiap bungkus rokok adalah hasil riset yang semuanya diarahkan untuk menarik kaum muda.

Sebagai contoh, kaum muda cenderung menilai rokok di dalam kemasan berwarna emas atau perak sebagai produk yang rendah tar dan tidak merugikan kesehatan. Sedangkan bungkus rokok slim berwarna cerah dan memberi kesan glamor cocok bagi kaum wanita muda.

Jika ini dibiarkan, maka konsumsi rokok di kalangan kaum muda akan berdampak negatif terhadap bonus demografi Indonesia yang diprediksi akan dialami di tahun 2020-2030. Keuntungan ekonomi dari bonus demografi terjadi karena penduduk dengan usia produktif (15 - 64 tahun) sangat besar jumlahnya, sementara penduduk usia muda di bawah 15 tahun semakin kecil dan usia lanjut di atas 65 tahun belum banyak. Jumlah kelompok usia produktif yang besar ini hanya akan memberi dorongan terhadap kemajuan ekonomi Indonesia jika kesehatannya tidak dirusak oleh tembakau.

Larangan Iklan Rokok

Riset mempelihatkan sepertiga pengalaman kaum muda dengan rokok terjadi akibat terpapar iklan, promosi, dan sponsor industri rokok maka larangan terhadap iklan, promosi dan sponsorship rokok merupakan cara paling jitu untuk mengurangi konsumsi rokok. Negara-negara yang melakukan kebijakan ini memperlihatkan rata-rata penurunan konsumsi tembakau sebesar 7 persen.

Dalam konteks Indonesia, sebuah regulasi Kementrian Industri 2015 mengenai peta jalan tembakau yang menargetkan produksi rokok sebessar 524.2 triliun pada tahun 2020, atau 1,900 batang per kapita dari total penduduk yang diproyeksikan sejumlah 270 juta orang, digugat oleh 5 aktivis dengan bantuan sejumlah pengacara dari Solidarity of Public Advocates for Tobacco Control (SAPTA).

Pengadilan menolak karena menganggap peta jalan itu melanggar 5 regulasi yang lebih tinggi, yakni undang-undang tentang kesehatan (No.36/2009), hak asasi manusia (No.39/1999), konvensi internasional tentang ekonomi, hak-hak sosial dan budaya (No.11/2005), perlindungan anak (No.23/2002) dan bea cukai (No.11/1995).

Di satu sisi, pemerintah sudah berupaya melakukan sejumlah langkah untuk mengurangi iklan kampanye tembakau misalnya dengan melarang iklan tembakau di media massa, di transportasi umum dan tempat-tempat umum sejak tahun 2015. Pemerintah juga melarang segala bentuk iklan tembakau yang ditujukan kepada anak-anak kecil.

Namun di lain sisi, pemerintah mendukung industri tembakau menambah produksinya. Sikap tanggung ini terkadang terungkap dalam ironi, ketika iklan susu formula dan obat-obatan untuk kesehatan berdampingan dengan iklan rokok yang berbahaya bagi kesehatan.

Oleh: John de Santo

Pendidik dan pemerhati masalah sosial, menetap di Jogja

Ikuti tulisan menarik John de Santo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler