x

Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meyapa warga usai menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Muyassarin, Kebayaroran Lama, Jakarta, 12 Desember 2016. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

Iklan

Acep Iwan Saidi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semiotika Suara AHY ~ Acep Iwan Saidi

AHY adalah anak muda yang dalam politik "baru lahir kemarin sore".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Acep Iwan Saidi

Pemikir Semiotika

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kalah dengan kepala tegak. Ia akui kekalahannya dengan dada membusung. Ia seorang satria. Tutur katanya yang tetap terjaga dan bahasa tubuhnya tetap tenang adalah penanda bahwa AHY tidak sedang mengkonstruksi citra. Sorot matanya berbicara bahwa ia sedang menyampaikan suara hatinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak awal, saya sendiri sudah menduga bahwa AHY akan akan kalah. Saat di babak awal ia tancap gas dan mendulang suara survey yang membuat banyak pihak berdecak, saya tidak tidak terlalu terganggu. Suara nyaring di awal justru adalah penanda yang menegaskan bahwa AHY belum berpengalaman. Saat debat dan setelahnya, AHY sudah kelelahan. Nafasnya terkuras di awal.

Tapi, titik lemah sebenarnya bukan pada AHY, melainkan pada tim kreatifnya. Tim kreatifnya kurang memahami atau lupa: AHY adalah anak muda yang dalam politik "baru lahir kemarin sore". Tim kreatifnya terlalu berambisi "menghabisi" potensi AHY. Ia dipaksa matang besok pagi. Semua pekerjaan terlalu dibebankan pada "Sang Tokoh". Kita nyaris tidak mendengar "gerakan" partai pendukungnya. Mereka tidak bisa bermain tanpa bola. Mereka bahkan tak punya sang juru bicara yang handal, tak punya "second striker". AHY dituntut menyerang dari belakang hingga tiang gawang lawan. Sang pelatih, Susilo Bambang Yudhoyono, yang tidak tahan untuk tidak ikut bermain, di menit-menit terakhir justru banyak berada pada posisi offside. Konprensi pers-nya yang terakhir adalah blunder, jika tidak mau disebut tendangan bunuh diri.

Terkait kelemahan tim kreatif itu, perhatikan dua hal saja. Pertama, salah satu program unggulan yang dibebankan kepada AHY, yakni perumahan terapung, terlalu berat bagi AHY, terlalu mengapung. Jangankan AHY yang belum berpengalaman, untuk yang sudah kawakan pun butuh keringat ekstra. Akibatnya, ketika dalam debat Ahok-Djarot menyerang dari sayap ini, AHY kelimpungan. Alih-alih dapat bertahan, ia lebih banyak menendang bola keluar lapangan. Tiga kali debat, pertanyaan ini terus diulang. Dan AHY pun kalah 3-0. Padahal, jika tim kreatifnya memilihkan program yang sesuai potensi AHY, setidaknya ia bisa melakukan counter attack. AHY itu militer yang memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang terukur. Ia memahami betul teori kepemimpinan. Ini seharusnya bisa dijadikan perspektif untuk menyusun program yang lebih realistik. Dengan hal itu, AHY tidak akan terlalu monolog di hadapan publik.

Kedua, AHY dituntut untuk secara frontal berhadapan dengan petahana. Tampak betul pemosisian ini dalam seluruh debat. Maksudnya bisa dibaca, AHY sedang digiring untuk mengambil hati pihak yang bermasalah dengan Ahok. Ini dangkal dan malah terlalu beresiko.  Dangkal sebab tampaknya tim kreatif tidak berpikir bahwa para pembenci Ahok dengan sendirinya pasti tidak akan memilih Ahok. Oleh sebab itu, tidak perlu diprioritaskan jadi sasaran kampanye. Jurus jitu seharusnya ditujukan pada pendukung Ahok. Mereka mesti digoda untuk pindah kepada AHY.

Posisi bersebrangan secara frontal dengan petahana juga  beresiko karena wawasan teoretik AHY pasti akan mudah dipatahkan oleh pengalaman Ahok. Orang Jakarta pastilah memilih yang konkret daripada yang teoretik. Situasi ini diperparah oleh gestur Sylvi. Calon wakil AHY ini terlalu memasang gestur sang Ibu Rumah Tangga yang sinis, bukan sebagai mantan "teknokrat-birokrat". Kecerdasannya tertutup sikap emosionalnya. Akibatnya fatal. Pada debat kedua, ia terjatuh di daerah pertahanan sendiri. Ia belum lagi menyerang. Ia kehabisan waktu sebab terlalu berambisi menghabisi Basuki. Walhasil, Sylvi menjadi titik lemah paslon ini.

Perolehan Suara dan  Konsistensi

Kini tentu semua sudah berlalu. Harta tersisa adalah 17,7% suara. Kemana  ia akan "dihibahkan"?  Tunggu dulu. Tengoklah, setelah lama menyelam, tiba-tiba empat partai politik pendukung mucul ke permukaan. Mereka mengklaim itu suaranya. Maka di berbagai media dapat kita saksikan bagaimana "gadis cantik"-meminjam istilah Roy Suryo, politisi Partai Demokrat-sedang mereka elus-elus, didandani sedemikian rupa untuk memikat dua pelamar: seolah-olah sedang dikirimkan pesan, siapa ngasih mahar lebih besar ia yang akan naik ke pelaminan. Sementara itu, AHY entah sedang diungsikan ke mana?

Pertanyaannya, betulkah suara itu milik empat partai pendukung tersebut? Secara politik, bisa jadi memang milik partai. Dalam konteks ini, AHY sendiri tidak lain dari duta partai, jika tidak mau dikatakan pegawai partai. Namun, secara empirik, suara tersebut belum tentu berasal dari partai. Pengalaman menunjukkan bahwa publik lebih suka kepada figur daripada kepada partai politik. Jadi, hemat saya, 80% dari suara tersebut dapat dipastikan sebagai milik AHY, bukan milik partai pendukung. Dengan demikian, yang layak "berjualan" seharusnya AHY, bukan partai.

Saya pikir, AHY juga meyakini bahwa itu adalah suaranya. AHY memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai calon pemimpin, dan ini adalah modal yang bagus untuk masa depan karirnya di dunia politik. Dan dengan gestur ini pula, tentu AHY memiliki pertimbangan, harus kemana ia berikan suaranya. Pertimbangan ini sekaligus merupakan ujian baginya. Sebatasmana, misalnya, AHY konsisten dengan sikap yang telah dipilih pada kompetisi kemarin. Publik tahu, dan sangat eksplisit, AHY tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap bersahabat kepada petahana. Di sisi lain, terhadap paslon ketiga AHY lebih memosisikan diri sebagai teman seperjuangan. Di Panggung debat, sikap itu tampak jelas.

Tentu saja analisis tersebut akan terasa tendensius,  terasa sebagai sebuah kampanye untuk paslon ketiga. Saya tidak kenal Anies-Sandy juga calon lain. Oleh sebab itu, tidak ada tendensi apapun. Saya hanya ingin ikut "mendukung AHY", mendorongnya untuk menjadi pemimpin masa depan. Untuk itu, sejak awal ia harus diingatkan, berpolitiklah dengan cerdas sebagaimana kecerdasan yang ditunjukkannya pada pilkada putaran pertama kemarin. Jangan ikut terjebak dalam politik transaksional, politik dagang sapi yang menebar amis. Dalam urusan 17,7% suaranya, AHY harus bicara dan harus diberi ruang untuk itu!***

Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB