x

Iklan

nina harada

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gaya Asik Anak-anak Jepang Atasi Perbedaan~Cinta dari Jepang

Justru karena berbeda, teman-teman Aini menjadi tertarik dan ingin tahu, kenapa setiap makan siang, punya Aini sendiri yang berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya, Nina Harada, seorang perempuan Indonesia yang menikahi pria Jepang dan sudah bermukim di negeri matahari terbit itu 12 tahun lamanya. Saat ini, kami –saya, suami, dan dua putri kecil saya- tinggal di desa kecil di Desa koyato, Distrik Samukawa,  Kota Kanagawa.  Saya ingin membagi pengalaman keluarga kecil kami sebagai minoritas di Jepang. Barangkali bisa memberikan pencerahan untuk tanah air saya yang saat ini kebhinekaannya tengah tercabik-cabik.

Pada suatu hari saya mengajak teman-teman anak mbarep saya, Aini, 11 tahun,  untuk bermain di hutan kecil yang berada di dekat kebun binatang di daerah Yokohama. Karena rencananya mau main di hutan dari pagi sampai sore, maka saya berpesan pada teman-teman Aini agar membawa bekal makan siang, minuman, juga makanan kecil.

Anak-anak di Jepang memang tidak terbiasa membawa bekal uang. Dan saya sangat berpesan agar mereka tidak membawa uang satu yen pun, meskipun orang tua mereka memaksa.  Hal ini semata untuk menjaga agar dompet ibu Aini ga kedodoran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka, rianglah mereka bermain di hutan dari pagi. Hingga tiba makan siang. Mereka saling memperlihatkan bekal masing-masing. Dan keluarlah komentar-komentar lucu semacam; wah, punyamu kok kayaknya enak sekali sih. Wah, kamu ternyata suka brokoli? Ada yang saling tukar lauk. Tapi tidak ada yang saling tukar sayur. Aini hanya ketawa-ketawa saja melihat teman-temannya saling tukar lauk. Ia kalem saja. Kalau ada yang pengen ayam goreng Aini, ia beri. Aini tidak minta ganti lauk.

Setelah makan bekal makan siang, sambil terus berceloteh tentang apa saja, Aini dan teman-temannya mengeluarkan sangu makanan kecil mereka. Dan mereka hamparkan di depan mereka agar bisa dimakan bersama-sama.

Saya terus perhatikan anak-anak itu. Terus terang, saya penasaran dengan Aini. Makanan kecil apa yang akan ia ambil? Ternyata, anak mbarep saya itu tetap kalem dan teliti dengan makanan yang ia ambil. Ia cek konten makanan sebelum ia makan. Hal ini sangat menarik perhatian teman-temannya.

Yang terjadi selanjutnya adalah saya terharu melihat teman-teman Aini perhatian dengan makanan kecil yang mereka bawa. Mereka tanpa dikomando dengan teliti ikutan mengecek konten yang tertera di label makanan. Jika ada tulisan gelatin atau perasa dari babi, mereka sisihkan, tidak diberikan pada Aini.

Teman-teman Aini mengerti, bahwa Aini berbeda.

Hal yang saya syukuri adalah bahwa kami hidup di desa. Dimana sesuatu yang berbeda itu menjadi menarik. Tapi tidak terus jadi ndesa bin katrok. Tidak karena Aini berbeda,  lalu kepalanya ditoyor oleh teman-temannya.

Aini tidak bisa memilih orangtua seperti apa yang ia mau. Ia tidak bisa menolak ketika harus lahir dari rahim seorang ibu kelahiran Indonesia yang kebetulan beragama Islam. Aini juga tidak bisa memilih negara mana ia mau dilahirkan. Istilah jawanya, tampa dadi.

Sebenarnya, saya juga tidak secara keras mendidik Aini bahwa ia harus Islam. Saya hanya memberitahu bahwa mama berbeda. Mama tidak makan daging babi. Mama tidak sembahyang di kuil Shinto atau Buddha. Mama sembahyangnya di rumah. Kadang-kadang Aini melihat mamanya berkerudung ketika mau pergi pengajian. Kadang-kadang Aini saya bukakan buku Iqra. Yang lebih sering memang bicara. Ketika makan, atau melihat televisi.

Dari bicara-bicara itulah Aini mengerti, bahwa ia berbeda.

Perbedaan Aini ini,  ternyata tidak menjadikannya sasaran ijime ataudirundung dalam bahasa Jepang. Justru karena berbeda, teman-teman Aini menjadi tertarik dan ingin tahu, kenapa setiap makan siang, punya Aini sendiri yang berbeda.

Ketika Aini masih di taman kanak-kanak dan teman-temannya bertanya mengapa makan siangmu berbeda sendiri, Aini menjawab pertanyaan teman-temannya dengan jawaban; karena mamaku orang Indonesia

Setiap hari Aini selalu mendapat pertanyaan yang sama dari teman-temannya. Setiap hari Aini menjawab dengan jawaban yang sama. Dan ia sabar.  

Karena selalu berbeda itu, maka setiap makan siang, teman-teman Aini selalu cepat menemukan makan siang Aini, dan segera memberikan padanya. Ini punya Aini, jangan salah, kata mereka. Demikian menurut laporan guru kelasnya.

Saya ketika mendengar itu, sangat terharu ...

Ketika masuk SD, sebenarnya saya tidak khawatir Aini akan terkena ijime karena untuk makan siangnya, saya memasakkannya di rumah dengan bentuk dan rasa menyerupai makanan siang di sekolah jika mengandung babi. Pihak sekolah juga kooperatif dengan memberikan daftar menu makan siang lengkap dengan kontennya hingga kami bisa cek.

Saya pernah mendengar anak teman juga dari Indonesia yang gara-gara bawa bekal makan siang sendiri ini mengalami ijime. Hal ini sempat membuat saya deg-degan.  Saya hampir selalu minta maaf kepada Aini karena ia harus berbeda dari teman-temannya. Aini selalu menjawab, ga papa mama.

Ada yang ijime ga Aini?

Ia selalu menjawab, enggak ada. Paling pertanyaan yang sama itu kok ma. Ya kujawab sama aja, karena mamaku orang Indonesia

Anakku yang sabar.

Dan teman-temannya yang luar biasa.

Yang mayoritas memperhatikan yang minoritas.

Padahal mereka masih anak-anak.

Haruskah mereka yg intolerans dengan perbedaan berguru pada anak-anak ini?

Ikuti tulisan menarik nina harada lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler