x

Iklan

johan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dagang Kebijakan Era Ahok dan Strategi Mengikat Jokowi

Bagi Ahok , menjadi Gubernur DKI di Pilkada 2017 ini adalah suatu keniscayaan jika ia ingin memperoleh berbagai dukungan lebih besar lagi bagi ambisi 2019

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbagai masalah hukum Ahok belum terlalu terkuak dan terjelaskan dengan sederhana ke publik. Pada acara Debat kedua Pilkada DKI yang lalu, Silviana Murni sempat mencecar masalah dana off-budgeter sebagai ganti pelanggaran koefisien luas bangunan (KLB) oleh pengembang. Ahok pun sempat gelagapan dan mengatakan bahwa pembayaran dilakukan dengan kerelaan dsb, karena itu tidak perlu masuk budget sesuai amanat UU keuangan negara, cukup dengan MoU. Tentu logika berpikir Ahok ini jelas merupakan bukti pelanggaran hukum yang serius, karena itu perlu ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum (bila aparat hukum terkesan lamban, harus terus ditekan oleh gerakan masyarakat sipil!).

Yang lebih jelas adalah skema dana off-budgeter pada pengembang reklamasi Teluk Jakarta. Terpidana kasus suap raperda reklamasi Ariesman Widjaya, dirut grup Podomoro, sudah bersaksi di pengadilan bahwa dirinya telah menyetorkan kepada Ahok dana kontribusi sebesar Rp 1,9 triliun. Itu baru dari Podomoro, belum dari para pengembang reklamasi yang lain. Kemana kiranya dana sebesar itu digunakan, bila tidak mampu diawasi oleh DPRD dan publik? Siapa yang menjamin dana ini tidak lari ke kantong keluarga Ahok ataupun timsesnya? Tentu aparat penegak hukum juga harus serius masuk ke soal ini.

Selain itu yang juga harus serius disoroti kembali adalah tentang kasus Sumber Waras. Pernyataan Kartini Mulyadi, ketua yayasan Sumber Waras, yang mengatakan bahwa dirinya mengembalikan dana Rp 400 miliar dari total Rp 755 miliar yang dibayarkan Pemda DKI, adalah pintu masuknya. Siapa yang menampung dana Rp 400 miliar yang dikembalikan tersebut, dan digunakan untuk apa? Belum jelas, karena itu haruslah ditelusuri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila diamati seksama, Ahok memang kerap menggunakan kebijakan yang berhubungan dengan properti dan lahan untuk melakukan tindakan korupsi. Selain kasus dana  off-budgeter kontribusi pengembang properti dan pembelian lahan Sumber Waras, ada juga kasus pembelian lahan Cengkareng. Dalam kasus ini, Ahok terbukti memberikan disposisi untuk membeli lahan di Cengkareng Barat sebesar Rp 668 miliar dari seorang yang bernama Toeti Soekarno. Padahal lahan tersebut masih dalam sengketa dengan pihak Pemda DKI, karena menurut audit BPK ternyata masih merupakan milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI.

Pola yang mirip hampir terjadi pada kasus rencana pembelian lahan Kedubes Inggris di bilangan Thamrin. Ahok ngotot membeli lahan seluas 5000 meter tersebut dengan harga Rp 479 miliar. Sudah dilakukan MoU segala, ternyata belakangan diketahui, bahwa menurut BPN lahan tersebut sebenarnya adalah milik negara. Akhirnya plt Gubernur DKI Soemarsono membatalkan pembeliannya.

Perlu digaris bawahi, Ahok memang terlihat bersih dan terbuka untuk setoran dana kecil. Tapi untuk dana-dana setoran yang besar, seperti setoran dari para pengembang Ahok sangat tertutup. Kabarnya yang mengurusi hal ini adalah adiknya yang bernama Fifi, yang terbukti memiliki perusahaan cangkang di Panama Papers. Jadi kepada para lawan politik Ahok, jangan ragu untuk menghabisi Ahok di masalah hukum tindak pidana korupsi, karena celahnya sangat terbuka.

Kedekatan Ahok dengan Pengembang

Kedekatan Ahok dengan para taipan ini memang bukan isapan jempol. Sempat terlontar oleh Ahok di suatu media, bahwa bila kelak gagal nyagub di DKI sudah ada perusahaan yang siap menggaji Ahok Rp250 juta minus berbagai tunjangan. Adik Ahok, Basuri, sudah menjalankan tradisi ini dengan menjadi pegawai taipan Darmono (pemilik grup Jababeka) selepas gagal nyalon di Babel. Fakta-fakta tentang kedekatan Ahok dengan Aguan dan beberapa konglomerat-konglomerat di Indonesia ini juga bukan isapan jempol belaka. Ahok saat mencalonkan diri di pemilihan gubernur Bangka Belitung dan Sumatera Utara, jelas-jelas disupport penuuh oleh Aguan.

Menurut informasi, beberapa tahun lalu selepas gagal nyagub di Babel dan Sumut dan sebelum menjadi gubernur DKI, Ahok mendekat ke grup Sinar Mas. Saking dekatnya dengan Ahok, grup ini sekarang sedang mencari-cari parpol yang dapat mereka beli untuk dapat calonkan Ahok di Pilpres 2019 (kabarnya mereka sempat tawarkan dana Rp500 miliar untuk beli sebuah parpol kecil non parlemen).

Jadi, bagi Ahok , menjadi Gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2017 ini adalah suatu keniscayaan jika ia ingin memperoleh berbagai dukungan lebih besar lagi bagi ambisi politiknya di 2019. Tentu saja, hal ini akan menjadi kekuatan tawar-menawar ahok di hadapan berbagai kekuatan politik yang ada menuju 2019. Dan tentu saja, Ahok dengan berbagai kebijakan yang sangat menguntungkan bagi para investor tersebut akan menjadi alat untu menekan presiden Jokowi. Salah satu yang telah terbukti adalah dalam kasus Reklamasi Teluk Jakarta, kita dapat melihat bagaimana Ahok melakukan berbagai manuver untuk menekan presiden Jokowi melalui penentangannya terhadap berbagai rekomendasi dan keputusan menteri-menteri Jokowi.

Inilah strategi Ahok untuk menjadikan Jokowi sebagai payung pelindung berbagai kasus yang berpotensi besar mengakhiri karir politik Ahok. 

Ikuti tulisan menarik johan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB