x

Iklan

Erri Subakti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Orang Percaya Hoax?

Menjawab mengapa masih masih tetap mempercayai hoax meski saat ini adalah era keterbukaan informasi dan serba mudahnya mencari kebenaran secara akurat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Untuk menjawab pertanyaan “Mengapa orang percaya hoax?”, saya akan memulai dengan salah 1 unsur penting dalam sebuah berita palsu, yaitu gosip; cerita tentang seseorang yang belum tentu kebenarannya.

Perkembangan modernisasi dan teknologi secara gradual telah mengubah pola perilaku masyarakat di seluruh dunia. Salah satunya adalah pada perilaku menggosip, menggunjingkan seseorang yang ceritanya belum tentu benar.

Di akhir era ’90-an dimana situasi di Indonesia mulai mengalami perubahan, saat stasiun-stasiun TV-TV swasta bermunculan dan semakin membuat riuh saluran informasi hingga sampai ke ruang tidur seseorang, mulai hadir di layar kaca berbagai program acara yang mengemas gossip menjadi hiburan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gosip telah dijadikan merek atas tayangan televisi yang sering disebut gossip show atau infotainment. Berbagai skandal tentang public figure dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Bentuk informasi yang belum tentu kebenarannya, yang awalnya bersumber dari kabar angin atau desas-desus, dikemas sedemikian rupa menjadi paket acara yang memadukan informasi dan hiburan. Singkatnya ini adalah program acara TV yang membahas gunjingan tentang orang-orang ternama.

Paket acara gunjingan mengenai seseorang yang belum tentu kebenarannya ini memiliki nilai komersil yang tinggi. Tiap episode bisa mengeruk iklan sampai + Rp 280 juta. Dengan perhitungan tiap slot iklan (30 detik) nilainya berkisar antara Rp 7-14 jutaan. Sementara pihak stasiun TV membeli putus acara itu dengan nilai + Rp 10 juta per episode.

Perkembangan di atas ini suka tidak suka memberikan dampak bagi masyarakat sehingga menggunjingkan seseorang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Pergunjingan mengenai seseorang yang belum tentu kebenarannya ini dinikmati orang sebagai katup pelepas ketegangan, bahkan dapat memberi bayangan harapan. Apalagi bila gunjingan yang berkembang adalah mengenai para pemimpin atau pemuka masyarakat. Bila seseorang sudah bergunjing maka biasanya dia akan merasa lega dan puas. Seperti mendapat katarsis pelepas dahaga.

Walaupun tidak jelas sumber, motif penyebaran dan pertanggungjawabannya, gunjingan tentang seseorang yang belum tentu kebenarannya, dijadikan pemenuhan atas kehausan sensasi yang selalu dicari oleh publik untuk mencapai perasaan nyaman. Meski gunjingan tersebut cenderung menyerang pribadi seseorang atau mendiskreditkan.

Jadi jelas perilaku keseharian masyarakat Indonesia tanpa terasa sudah bergeser menjadi penikmat informasi yang belum tentu kebenarannya. Ini satu kondisi sosial di masyarakat.

Kondisi sosial di atas mendapatkan padanannya dengan perubahan situasi politik di Indonesia. Persis di saat massifnya penyebaran berita-berita palsu atau hoax viral di masyarakat.

Namun di era keterbukaan informasi dan serba mudahnya mencari kebenaran secara akurat dan sahih, masih banyak orang yang tetap berpegang erat pada sumber berita yang berdasarkan pada kebohongan atau hoax. Kenapa?

Sebagian orang mengatakan itu akibat kesenjangan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih rendah sementara perkembangan teknologi semakin dahsyat. Ada gap sebagian orang dalam menyerap dan mencerna informasi yang didapatkan dari media online, dengan kemampuan pemahaman bacaannya.

Faktor di atas mungkin ada pengaruhnya. Tapi jangan lupa bahwa ada sebuah fakta sosial mengenai perubahan perilaku masyarakat seperti yang saya jelaskan di atas. Banyak orang telah menjadikan pergunjingan yang mendiskreditkan seorang pemimpin masyarakat menjadi sarana untuk memuaskan perasaannya. Meski informasi itu tidak benar bahkan palsu atau sebuah kebohongan/hoax.

Hoax bisa diawali oleh perasaan seseorang/pihak terhadap obyek sasarannya. Perasaan itu bisa berupa kekecewaan, kemarahan, atau apapun yang membuat hati jadi sesak. Dalam hoax, si penyebar dapat mengeluarkan semua agresinya. Semua yang jelek-jelek termasuk mengenai nenek moyangnya bisa ikut disebarkan. Banyak orang akhirnya memilih percaya hoax karena bisa mendapat katarsis -perasaan lega untuk sementara.

Dalam kacamata filsuf besar jerman, Friedrich Nietzche, manusia sesungguhnya makhluk lemah, dan mempunyai kecenderungan yang tak terlihat untuk membiarkan dirinya dibohongi.

Kalau boleh diambil kesimpulan atas pertanyaan ‘mengapa orang mempercayai hoax?’ maka jawabannya adalah karena mereka yang mempercayai berita palsu memang menikmati hoax untuk memberikan perasaan nyaman atas kegelisahannya. Bahkan dengan informasi palsu itu mereka mendapatkan bayangan dari harapan-harapannya.

Akhirnya hoax berikut penyebarannya menjadi sarana yang manjur sebagai pelepas perasaan yang mengganjal. Para penyebarnya tidak mampu untuk menyuguhkan karya-karya yang kreatif bermanfaat karena kemalasan semata. Sehingga persoalan-persoalan substansial yang menyangkut ide/gagasan, pemikiran dan karya yang bisa membawa pencerahan justru terlupakan.

Maka dari itu hoax dapat berkembang hanya pada kelompok masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengatikulasikan gagasan atau idenya secara kostruktif.

Ikuti tulisan menarik Erri Subakti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB