x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Behavioral Change for Leadership Growth, kasus Macbeth

Pidato kematian seperti apa akan mengiringi pemakaman manusia yang caranya berkuasa meniru Macbeth?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Macbeth itu Leader atau Seonggok Tragedi?

Pidato kematian seperti apa akan mengiringi penguburan manusia yang caranya berkuasa meniru Macbeth?

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Certified Business and Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

Macbeth adalah panglima yang gemilang di peperangan, sehingga memperoleh perhatian istimewa dari Raja Duncan. Sebagaimana dikisahkan dalam lakon Willian Shakespeare pada awal Abad 17 (1606), Macbeth oleh para penyihir dinujum akan jadi raja dan Banquo, rekan seperjuangannya, dinubuat akan melahirkan raja.

Malam itu, ketika Raja Duncan menginap di rumah Macbeth sebagai penghargaan atas keberhasilannya di pertempuran, ramalam para penyihir yang muncul dari tengah kabut perbukitan Scotlandia itu telah diterjemahkan dengan cara keji.

Disertai pikiran berkecamuk dan jiwa yang goyah demi memenuhi dorongan Lady Macbeth, istrinya, dan atas nama bayangan kekuasaan serta pancingan para penyihir, Macbeth menghujamkan belatinya ke dada Raja Duncan.

Dua pengawal raja yang terlelap setelah malamnya dibuat mabuk oleh nyonya rumah, dibunuh juga oleh Macbeth. Praktis bakal tidak ada yang berpotensi jadi saksi tentang siapa pembunuh raja. Malcolm, anak Raja Duncan yang mencium gelagat bahaya, pagi itu juga melarikan diri ke Inggris untuk bersembunyi.

Maka Macbeth jadi raja. Dengan jiwa yang sudah dia gadaikan kepada para penujum, Macbeth mengalami kesulitan berpikir jernih, “becomes fatally enmeshed in a web of treachery and deceit.”

Ia menjadi penguasa yang tidak bisa efektif, limbung. Waktu, pikiran, dan resources kerajaan telah dia salahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan, menyingkirkan orang-orang yang dia anggap dapat membahayakan dirinya. Macbeth menyuruh pengawalnya membunuh Banquo. Keluarga pesaing politiknya yang lain juga dia habisi.

Tragedi manusia yang dikisahkan Shakespeare dalam sosok Macbeth menggambarkan kerusakan psikis dan fisik akibat ambisi politik untuk kekuasaan.

Macbeth telah dipentaskan di banyak tempat di dunia oleh para aktor unggulan dan difilemkan oleh sutradara-sutradara top, seperti Orson Welles dan Romans Polanski. Sutradara Akira Kurosawa mengadaptasinya jadi film Kumonosu-jo (The Throne of Blood, 1957, dengan setting Jepang Abad Pertengahan). Pada 2015 muncul film Macbeth, disutradarai Justin Kurzel, menghadirkan visualisasi sebuah kekuasaan yang paranoid dan muram.

Kisah tentang pemegang kekuasaan yang menjadi paranoid, dihantui oleh tindakan mereka sendiri yang diluar adab (bahkan keji) saat meraih jabatan, kelihatannya selalu relevan sampai saat ini.

Para penguasa atau pimpinan lembaga –- bahkan kadang di institusi bisnis -- yang meraih jabatan dengan menggunakan cara-cara Macbeth di zaman ini kelihatannya masih berseliweran. Mereka tentu tidak membunuh Raja Duncan. Sekarang yang mereka bunuh adalah integritas diri mereka sendiri dan public trust.

Kepemimpinan yang diraih dengan cara seperti itu lazimnya memiliki pola tindakan yang mirip. Demi mengamankan posisi, mereka menyingkirkan orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pusat kekuasaan. Atau menggunakan lembaga peradilan untuk menggusur orang-orang tidak sependapat.

Keserakahan terhadap kekuasaan, harta, dan libido telah menjadi pupuk yang baik bagi tumbuhnya “sindrom Macbeth”. Para penujum di zaman ini, yang bermunculan dari balik kabut politik dan ekonomi, mudah menjebak mereka kedalam transaksi yang menguntungkan kelompok usaha besar dan kepentingan asing. Bagi mereka, jabatan adalah komoditas yang bisa diperdagangkan.

Uang dan fasilitas negara akan banyak terpakai untuk melayani semua itu. Saat pemilu, state resources (jaringan birokrasi, dana, kekuasaan, dan teknologi) ada kecenderungan disalahgunakan memanipulasi perhitungan suara. Ini bisa terjadi di negara mana saja, dimana kepentingan publik diperhatikan dan dibahas hanya saat kampanye pemilu.

Apakah Anda merasakan munculnya gejala “Macbeth syndrome” belakangan ini? Apakah Anda menganggap Macbeth itu seorang leader atau manusia gagal yang jadi monster?

Meraih kepemimpinan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara Macbeth menyebabkan institusi tidak memiliki visi jangka panjang. Stakeholders dilupakan. Leadership tanpa visi dan tidak memperhitungkan kepentingan stakeholder adalah tragedi kemanusiaan.

Pada level nasional, kehidupan berbangsa yang beradab bakal dikorbankan. Di level institusi bisnis, para pemegang saham dan karyawan (plus keluarga mereka) dirugikan.

Di dunia bisnis, “Macbeth syndrome” umumnya melanda perusahaan-perusahaan besar, bahkan yang dimiliki investor asing. Contoh kongkrit adalah sebuah perusahaan air minum kemasan, yang melakukan tekanan kepada para pengecernya untuk tidak menerima pasokan air kemasan dari perusahaan lain – yang umumnya baru tumbuh, dimiliki orang atau perusahaan lokal.

Pola sistematis untuk membunuh para pesaing atau berpotensi jadi kompetitor sama dengan Macbeth menghabisi pihak-pihak yang diduga bakal jadi rival. Jika itu merupakan kebijakan top management perusahaan, tentu itu upaya monopoli. Jika dilakukan oleh sales manager dan team demi memperoleh bonus lebih banyak, itu perbuatan khianat bagi orang-orang sebangsa.

Lantas, saat para pemimpin dengan mental dan pola tindakan seperti Macbeth itu meninggal, pidato kematian seperti apa yang bakal disampaikan pada upacara pemakamannya?

Pilihan ada di tangan masing-masing, mau jadi pemimpin sejati menempuh perjalanan menanjak yang kadang-kadang berat, tapi membuat kita punya derajat? Atau jadi penguasa lewat cara pintas demi memuaskan keinginan-keinginan para penujum, tukang sihir, nan sesat.

Pilihan pertama, sebagaimana pernah dikatakan Robert Louis Stevenson, bisa mencapai “To be what we are, and to become what we are capable of becoming, is the only end of life.

Pilihan kedua masuk perangkap corrupt mind, ibarat menggadaikan jiwa kepada para penyihir – sebagaimana Macbeth. Para penyihir sekarang muncul dari balik peraturan perundang-undangan yang abu-abu, multi tafsir, sehingga mudah dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan asing.

Bagi yang percaya adanya hari akhir, masih ada peluang untuk berubah, supaya tidak lagi jadi mahluk yang mudah disetir keinginan pihak lain, menggelinding tanpa arah ditelan waktu.

Without change, there is no progress,” kata Robin Sharma, “Change is essential for our evolution as a civilization and necessary for our survival.” Robin Sharmapenulis buku bestseller The Monk Who Sold His Ferrari.

Perubahan perilaku untuk mengembangkan kepemimpinan agar menjadi lebih efektif dan memberikan manfaat bagi stakeholders sudah merupakan kebutuhan penting, apalagi bagi yang percaya pada rencana-rencana baik Tuhan.

Kepemimpinan yang hanya mengandalkan karisma pribadi dan ego, karena pernah sukses dan merasa dirinya paling benar, akan melahirkan perilaku seperti Hitler, Stalin, atau Mussolini.

Sedangkan pemimpin yang menginginkan jadi lebih efektif galibnya menyadari bahwa konteks kehadirannya di bumi adalah berkembang bersama para stakeholders. Ibarat tenda, pemimpin mengandalkan diri pada semua tiang pasak untuk menjaganya tetap tegak.

 

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting.

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB