x

Petugas Kelurahan Kampung Melayu Jakarta Timur mengecek sekitar 16.500 eKTP yang telah jadi dan diterima dari Kementrian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (30/8). TEMPO/Tony Hartawan

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi e-KTP: Masihkah Kita Membutuhkan Partai?

Korupsi dan suap tak henti-henti melibatkan anggota dan pengurus partai politik. Apa yang dilakukan partai untuk mengatasi persoalan kronis ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Politisi yang dipenjara karena perkara korupsi sudah banyak. Naga-naganya, jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan mulai bergulirnya sidang-sidang pengadilan perkara korupsi proyek KTP elektronik. Rakyat menaruh perhatian besar terhadap persidangan kasus ini mengingat jumlah kerugian negara yang sangat fantastis. Kerugian negara akibat penyelewengan pada perencanaan, pelaksanaan, hingga pasca-proyek diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun (tempo.co, 9 Maret 2017).

Rakyat menaruh perhatian karena banyak ‘nama tenar’ disebut dalam dakwaan. Nama-nama tenar itu sudah disebut oleh surat kabar, televisi, maupun media online, meskipun belum pasti mereka bakal terjerat oleh hukum, karena belum tentu mereka bersalah hingga pengadilan yang adil membuktikannya. Meski begitu, lantaran ada banyak ‘nama tenar’, banyak pihak mengingatkan agar KPK maupun lembaga pengadilan tidak ‘masuk angin’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rakyat juga menaruh perhatian karena mayoritas ‘nama tenar’ itu berasal dari partai politik. Becermin pada kasus-kasus sebelumnya, seperti Hambalang dan impor sapi, mereka yang sudah masuk bui bukanlah anggota partai yang ada di lapis bawah. Mereka orang-orang penting partai, sebagian di antaranya tengah memegang jabatan publik seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, maupun anggota legislatif dan yudikatif seperti hakim konstitusi. Ketika ditahan, beberapa di antaranya sedang menjabat kursi ketua umum—figur tertinggi dalam patai politik.

Mengenaskan? Begitulah realitas yang kita hadapi sekarang. Banyak orang bergabung dengan partai politik karena partailah jalan terpendek untuk sampai kepada simpul-simpul kekuasaan, di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Institusi-institusi ini seakan juga menjadi jalan termudah untuk masuk ke dalam jejaring kekuasaan ekonomi-bisnis. Sebagian orang memilih jadi broker dengan memanfaatkan jabatan dan wewenangnya dan mengatur regulasi agar menguntungkan pihak tertentu, termasuk dirinya sendiri.

Aktivis partai barangkali berkata: tidak semua anggota partai berperilaku korup. Memang benar demikian. Banyak warga partai yang tidak menjalankan praktik suap, korupsi, maupun kolusi. Banyak warga partai yang berjuang dengan sepenuh hati untuk memperbaiki nasib rakyat. Namun agaknya, mereka yang idealis ini tersingkirkan dari gelanggang politik terpenting ataupun memegang peran-peran yang tidak begitu strategis.

Menghadapi anggota/pengurus partai yang ditangkap dan dipenjara, sebagian petinggi partai bersikap acuh tak acuh, sementara sebagian lainnya berusaha memperlihatkan sikap tegas dengan memecat anggota partai yang ditangkap tangan. Sikap ini seolah-olah memperlihatkan bahwa partai tidak mengetahui praktik korup yang dilakukan anggotanya. Namun, rakyat boleh dong bertanya: Benarkah partai politik sungguh-sungguh tidak tahu ataukah memilih untuk menutup mata terhadap perilaku anggota maupun petingginya sepanjang tidak terbongkar oleh aparat hukum?

Seandainya pun partai tidak mengetahui sepak-terjang korup anggota ataupun petingginya, partai seharusnya mau memikul tanggung jawab terhadap perilaku mereka, sebab orang-orang partai yang dibui karena perkara korupsi atau suap umumnya orang penting partai yang duduk di institusi-institusi negara atas persetujuan partai. Mereka tidak bisa melenggang duduk di kursi DPR, menjadi gubernur ataupun jabatan lain, atas kemauan sendiri. Bukankah mereka petugas partai yang dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, yang diseleksi di antara sekian orang yang berpotensi berdasarkan kriteria tertentu?

 Setidaknya, partai perlu mau mengakui tanggung jawab moral atas kegagalan dalam menginternalisasi nilai-nilai positif kepartaian kepada anggotanya, terutama para petinggi yang diserahi amanah untuk memegang jabatan-jabatan publik maupun jabatan-jabatan strategis internal partai namun memanfaatkan jabatannya untuk urusan lain. Bukankah partai yang mengkader sosok-sosok ini, atau setidaknya bukankah partai yang merekrut mereka untuk bergabung dengan partai?

Melihat situasi seperti sekarang, di mana penyalahgunaan jabatan dan wewenang oleh orang-orang partai yang sedang menempati jabatan publik demikian tinggi, partai perlu introspeksi: “Apa sesungguhnya yang sedang kita perjuangkan melalui partai? Benarkah kita berjuang untuk menyejahterakan rakyat dan menguatkan bangsa?” Rasanya tidak cukup bila elit partai hanya berkomentar: “Itu urusan masing-masing individu.” Seolah-olah, korupsi oleh anggota maupun petinggi partai tidak ada sangkut pautnya dengan partai, langsung ataupun tidak langsung.

Bila tidak ada perubahan mendasar dalam cara elite partai memandang peran dan tujuan membangun partai yang tangguh bagi negeri ini, sukar menghapus praktik korup oleh anggota partai. Bila tidak ada perubahan mendasar dalam cara-cara partai merekrut dan mengkaderisasi anggota, menginternalisasi nilai-nilai positif kepartaian kepada warga dan elitenya, maupun perubahan dalam cara memilih anggota yang akan diberi kepercayaan atau mandat untuk menempati jabatan publik, maka niat serta praktik korupsi dan suap akan tetap jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan politik partai.

Bila tidak ada perubahan mendasar, tidakkah rakyat berhak untuk bertanya: “Masihkah kita membutuhkan partai?” **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler