x

Iklan

arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zaman Baru: Era Digital Ekonomi dan Tersisihnya 'Middle Man'

Perkembangan teknologi kini semakin cepat dan dunia saat ini semakin masuk ke dalam proses “digitalisasi”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkembangan teknologi kini semakin cepat dan dunia saat ini semakin masuk ke dalam proses “digitalisasi”. Proses digitalisasi kini semakin merambah ke berbagai sektor kehidupan, mulai dari aktivitas sehari-hari, bersosialisasi, dunia politik, hingga ekonomi dan bisnis. Seakan dunia sedang mengalami migrasi besar-besaran, yakni migrasi dari jagad nyata ke jagad maya. Nyaris, semua aktivitas manusia sedang mengalami pergeseran dari dunia nyata ke dunia maya.

Data Statistik menunjukan ada 132 juta orang Indonesia telah menggunakan internet dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan 75,5 persen usia anak-anak dan remaja (10-24 tahun) di Indonesia sudah mengonsumsi internet (http://databoks.co.id/, 8 Desember 2016). Tak kalah, di Asia Pasifik, masyarakat Indonesia paling gila internet, dimana rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya lebih dari 3 jam (181 menit) didepan layar ponselnya dalam sehari. Angka ini di atas rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penduduk negara-negara kawasan Asia Pasifik untuk memperhatikan layar ponselnya, yakni 2,5 jam dan juga tertinggi dibandingkan dengan 8 negara lainnya (http://databoks.co.id/, 6 Desember 2016).

Perkembangan teknologi inilah yang kemudian mengubah cara kita berbisnis, berbelanja dan bertransaksi. Dengan kata lain, perkembangan teknologi saat ini telah memunculkan sebuah bentuk aktivitas ekonomi baru, yakni “digital ekonomi”. Dan pada 2016 Statistik Indonesia menunjukan sebanyak 8,6 juta orang di Indonesia melakukan transaksi online. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni hanya 7,9 juta orang (http://databoks.co.id/, 15 November 2016).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Data ini menandakan bahwa digital ekonomi mulai bergerak dan tumbuh pesat di Indonesia. Diperkirakan pula dengan populasi penduduk 250 juta dan pengguna internet sebanyak 132 juta, angka transaksi online Indonesia akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dan pergeseran ke arah transaksi digital ini merupakan potensi ekonomi yang besar dan menjanjikan bagi Indonesia.

Potensi itu semakin terlihat dari nilai transaksi Financial Technology (Fintech) Indonesia dimana nilai transaksi Financial technology (Fintech) di Indonesia tahun 2016 diperkirakan mencapai US$ 14,5 miliar setara Rp 190 triliun. Nilai tersebut merupakan 0,6 persen dari nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$ 2.355,9 miliar (http://databoks.co.id/, 4 November 2016).

Bukan hanya itu, transaksi E-Commerce Indonesia naik 500% dalam 5 tahun. Data eMarketer menunjukkan bahwa transaksi e-commerce Indonesia mencapai Rp 69,8 triliun pada 2016. Dan pada 2018, nilai perdagangan digital Indonesia akan terus naik menjadi Rp 144,1 triliun (http://databoks.co.id/, 16 November 2016).

Maka wajar jika riset Google dan Temasek menyebut pasar e-commerce Indonesia akan tumbuh paling tinggi rata-rata 39 persen per tahun. Indonesia diperkirakan akan menjadi pasar e-commerce terbesar di ASEAN dengan proporsi 52 persen terhasap pasar seluruh wilayah. Indonesia pada 2015 menjadi pasar e-commerce terbesar di wilayah Asia Tenggara (ASEAN) dengan nilai transaksi mencapai US$ 1,7 miliar. Jumlah ini melampauai Singapura dan Malaysia yang masing-masing hanya sebesar US$ 1 miliar (http://databoks.co.id/, 7 Oktober 2016).

Dengan pergeseran ini, mau tak mau mendorong pemerintah harus mempersiapkan regulasi untuk menyambut era digital ekonomi. Sehingga Indonesia mampu memanfaatkan potensi yang besar dari adanya pergeseran ini. Terutama regulasi yang perlu dipersiapkan yakni terkait dengan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang mendukung pergerakan digital ekonomi, keamanan siber dan perpajakan.

Pasalnya, dari segi infrastruktur sektor digital Indonesia masih tergolong rendah. Masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok negeri masih sulit menjangkau akses internet dengan baik. Ada sebanyak 22 provinsi di Indonesia dengan indeks pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (IP-TIK) yang masih masuk ke dalam kategori rendah (http://databoks.co.id/, 23 Desember 2016). Artinya, masih banyak provinsi di Indonesia yang pembangunan infrastruktur digitalnya masih rendah.

Bahkan terjadi kesenjangan pembangunan teknologi informasi dan komunikasi antar wilayah di Tanah Air. Terutama wilayah Indonesia bagian Timur jauh tertinggal dibanding Indonesia bagian Barat. Wilayah Indonesia Timur mendominasi IP-TIK 2015 terendah dan berada di bawah rata-rata nasional, yakni 4,83 (http://databoks.co.id/, 23 Desember 2016).

Selain keberadaan infrastruktur fisik, persiapan bersaing di era digital ekonomi juga memerlukan “kecepatan bandwidth” yang tinggi. Dan Indonesia dalam hal kecepatan bandwidth masih kalah dari Singapura dan Thailand. Singapura memiliki bandwidth atau kecepatan transfer data 100 kali lebih baik dibandingkan Indonesia. Bahkan, Thailand pun memiliki bandwidth 10 kali lebih baik dibanding Indonesia (katadata.co.id, 2016).

Tak kalah penting, untuk mendukung perkembangan digital ekonomi pemerintah juga perlu mempersiapkan jaring keamanan siber bagi pengguna dan pelaku pasar digital. Terutama untuk mengantisipasi maraknya cyber crime, fraud dan penyalahgunaan. Hal ini penting mengingat Indonesia termasuk negara dengan angka kekhawatiran yang tinggi terhadap keamanan sistem pembayaran online. Menurut data Veritrans and DailySocial, Indonesia masuk dalam daftar 10 negara yang paling riskan terhadap keamanan bertransaksi. Treat exposure rate (TER) juga mengukur persentase komputer terkena serangan malware di Indonesia mencapai 23,54 persen. Angka ini paling tinggi dibandingkan dengan Cina sebesar 21,36 persen maupun Thailand 20,78 persen (http://databoks.co.id/, 1 Januari 2017).

Angka kerugian akibat tindak penyalahgunaan di Indonesia juga relatif tinggi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melansir penyalahgunaan e-banking selama enam bulan pertama 2015 mencapai Rp 23,3 miliar. Penyalahgunaan terbesar terjadi pada transaksi kartu kredit dengan kerugian mencapai 73,14 persen atau Rp 17,1 miliar. Sementara itu, penyalagunaan transaksi internet banking menempati posisi kedua sebesar 16,91 persen, dan disusul transaksi ATM 8,67 persen (katadata.co.id, 2015). Untuk itu, pemerintah perlu merancang regulasi dan manajemen resiko untuk menghindari peningkatan kerugian dan kemanan bertransaksi.

Persoalan perpajakan juga perlu menjadi sorotan, pasalnya belum banyak peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur soal perpajakan bisnis digital ini. Bahkan beberapa negara anggota Bank Dunia dan IMF mengeluhkan transaksi-transaksi yang sulit dipajaki dalam bentuk perdagangan elektronik atau e-commerce. Pada hakikatnya, semua bisnis haruslah membayar pajak, selama mereka memiliki aktivitas ekonomi dan menciptakan keberadaan objek pajak di Indonesia. Namun yang harus dipersiapkan oleh pemerintah yakni bagaimana skema dan strategi untuk bisa menarik pajak dari aktivitas ekonomi digital ini.

 

Tersisihnya “Middle Man

Istilah “middle man” merujuk kepada mereka pihak yang berada di antara produsen dan konsumen. Peran middle man ini hampir ada di setiap aktivitas ekonomi. Selama ini para middle man meneguk untung dari posisinya sebagai “perantara” antara produsen dan konsumen. Keuntungan middle man diperoleh dari selisih harga yang dibayarkan kepada produsen dan harga yang diterima konsumen. Sehingga seringkali mereka mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan akumulasi keuntungan para produsen itu sendiri.

Hal itu terjadi karena para middle man memiliki akses informasi mengenai kondisi pasar yang jauh lebih baik dibandingkan sang produsen. Bisa dikatakan para middle man memegang kunci akses atas pasar. Mereka menguasai jejaring tata niaga pasokan dan distribusi hingga mengendalikan harga. Bahkan penguasaan para middle man ini terhadap pasar seringkali menciptakan oligopsoni dan persaingan yang tidak fair. Tak heran jika para middle man ini bukanlah pemain kecil, namun pelaku usaha besar.

Dan tingginya margin yang diambil para middle man seringkali mendistorsi pasar dan merugikan sang produsen. Kerugian yang besar yang dialami oleh produsen dapat menurunkan tingkat produktivitas sang produsen itu sendiri.

Namun pertumbuhan digital ekonomi yang pesat diprediksi bakal mengubah wajah sistem ekonomi konvensional. Ke depan, cukup dengan bermodal akun sosial media dan juga rekening bank, setiap orang sudah dapat membuka toko online di media sosial mereka. Dengan berbasis konektivitas melalui sibernet, pertemuan antara produsen dan konsumen tak perlu lagi perantara yang rumit dan panjang. Mereka bisa bertransaksi langsung melalui medium teknologi digital. Semua informasi terkait pasar, baik harga dan kualitas produk bakal semakin transparan. Asimetri informasi akan terkikis dengan sendirinya.

Perkembangan ini dalam bahasa Marshall McLuhan akan memunculkan fenomena “global village”, dimana semua penjuru dunia akan terkoneksi diantara satu sama lain melalui saluran teknologi informasi. Dunia tak lebih dari sebuah dusun karena diringkas secara elektrik, katanya (dalam Cavallaro, 2001: 199). Informasi akan bergerak cepat, tak mengenal jarak dan waktu.

Dari sinilah kemudian muncul tesis bahwa semakin berkembangnnya digital ekonomi, segala bentuk “middle man” lambat laun akan tersisih. Jika semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses informasi dan pasar digital, peran middle man seiring berjalannya waktu sudah tak lagi dibutuhkan. Margin para middle man ini akan semakin menurun sejalan dengan semakin tingginya tingkat direct communication antara produsen dan konsumen. Dengan itu, digital ekonomi dapat menekan biaya produksi dan distribusi, efisiensi dapat dicapai melalui transformasi teknologi. Sehingga perkembangan digital ekonomi ini banyak melahirkan fenomena yang menguntungkan bagi kita, namun perkembangannya sekaligus juga lonceng “senjakala” bagi middle man

Ikuti tulisan menarik arjunaputra aldino lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler